Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Malam itu, cuaca di kaki gunung terasa dingin dan diselimuti kabut tipis. Di rumah Bibi Maya, Nadia sedang tidur gelisah. Ia baru saja memutuskan untuk kembali ke Jakarta, tetapi ia ingin menunggu hingga pagi tiba untuk menjelaskan rencananya pada sang bibi.
Pukul 02.00 dini hari. Keheningan desa dipecahkan oleh suara mesin mobil yang asing. Suara itu tidak mendekat lewat jalan utama, melainkan dari jalan setapak di belakang kebun teh—rute yang hanya diketahui oleh penduduk lokal.
Bibi Maya, yang tidurnya ringan, terbangun. "Suara apa itu, Nak? Seperti mobil tentara."
Nadia, yang sudah sangat sensitif sejak ia tahu dirinya hamil, langsung merasakan firasat buruk. Ia menatap ke luar jendela, pandangannya terhalang kabut tebal.
"Bibi, jangan keluar!" desis Nadia, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, ini pasti bukan kebetulan. Ini pasti Bramantyo.
Mereka berdua bersembunyi di balik lemari kayu tua, tempat paling tersembunyi di kamar itu.
Tiba-tiba, pintu depan didobrak dengan bunyi keras. Dua sosok pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah, masuk ke dalam rumah. Mereka bergerak cepat, profesional, tanpa suara berlebihan. Mereka membawa senter dan langsung menuju kamar Nadia.
"Cari! Dia tidak boleh lepas!" perintah salah satu suara berat.
Bibi Maya menggenggam tangan Nadia erat-erat, tubuhnya gemetar ketakutan.
Nadia mencoba menahan napas, berdoa agar ia dan janinnya tidak ditemukan. Namun, salah satu pria itu melihat pergerakan kecil di balik lemari.
"Ketemu!"
Dalam hitungan detik, lemari itu didorong, menampakkan Nadia dan Bibi Maya.
"Jangan sentuh dia! Dia hamil!" teriak Bibi Maya, mencoba melindungi Nadia dengan tubuhnya.
Pria itu mengabaikan Bibi Maya. Matanya hanya tertuju pada Nadia. Mereka sangat efisien; seorang pria menahan Bibi Maya dengan cengkeraman kuat, sementara yang lain bergerak cepat mendekati Nadia.
"Nona Nadia, jangan melawan. Kami diutus oleh Tuan B. Anda harus ikut dengan kami," ucap pria itu dengan nada datar, suaranya teredam masker.
Nadia berusaha berteriak, tetapi ia tahu sia-sia. Desa ini jauh dari jangkauan tetangga. Dalam kepanikan, ia mencoba melawan.
"Lepaskan! Aku tidak akan ikut!"
Perlawanan Nadia hanya berlangsung singkat. Pria itu menangkup mulut Nadia dan menyuntikkan sesuatu ke lengannya dengan cepat.
Seketika, pandangan Nadia kabur. Kekuatan di kakinya lenyap. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia sempat melihat Bibi Maya menangis histeris.
"Kalian akan bayar atas ini!" adalah kalimat terakhir yang didengar Nadia sebelum kegelapan menelannya.
Ketika Nadia terbangun, rasa pusing menyerangnya. Ia mencoba menggerakkan tubuh, tetapi tangannya terasa lemas. Matanya mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan cahaya remang-remang.
Ia berada di kamar yang sama sekali berbeda.
Kamar itu besar, bergaya minimalis modern, dengan dinding batu alam dan jendela besar yang tertutup rapat oleh tirai tebal. Aroma pinus dan kelembapan hutan menyeruak, bukan bau kebun teh yang ia kenal.
Nadia memaksakan diri bangkit. Ia mengenakan piyama bersih yang sama sekali bukan miliknya. Di meja samping, ada segelas air dan obat.
Ia berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan menarik tirai dengan tangan gemetar.
Pemandangan di luar membuat darahnya seketika beku.
Bukan kebun teh. Bukan rumah-rumah tetangga. Yang ada hanyalah hutan lebat, pepohonan tinggi menjulang yang menghalangi pandangan sejauh mata memandang. Rumah ini berdiri sendirian, terisolasi, dikelilingi pagar tinggi. Di kejauhan, ia bisa melihat sepotong kecil jalan setapak berlumpur yang baru saja dilalui ban mobil.
Ia dikurung. Di tengah antah berantah.
Saat itu, pintu kamar terbuka. Bukan David, bukan pula penculik bertopeng, melainkan seorang wanita paruh baya berwajah lembut, mengenakan seragam perawat sederhana.
"Anda sudah bangun, Nona Nadia. Syukurlah," kata perawat itu dengan nada profesional yang dingin. "Saya Bu Rina, perawat yang ditugaskan oleh Bapak Bramantyo untuk menjaga dan merawat Anda selama masa kehamilan. Silakan minum obat ini."
Nadia mundur, menatap perawat itu dengan horor. "Bramantyo? Di mana aku? Aku mau pulang!"
"Anda berada di rumah Tuan Bramantyo, Nona. Ini adalah tempat yang sangat aman dan terjamin privasinya. Anda tidak bisa keluar. Dan, Tuan Bramantyo berpesan, Anda tidak perlu khawatir tentang biaya. Segala kebutuhan Anda dan janin sudah terpenuhi."
"Dia... dia menculikku! Aku akan lapor polisi!" teriak Nadia, air mata ketakutan dan frustrasi tumpah.
Perawat itu hanya menghela napas, sama sekali tidak terpengaruh. "Ponsel Anda sudah diambil. Dan di sini tidak ada sambungan eksternal. Kami sudah menjelaskan situasinya kepada keluarga Anda, Nona. Mereka tahu Anda 'pergi bekerja di tempat yang jauh'."
Nadia merasa jiwanya ditarik keluar. Ia mencoba berlari menuju pintu, tetapi perawat itu bergerak cepat, menghalangi jalannya.
"Mohon tenang, Nona. Ingat kondisi kandungan Anda. Jika Anda patuh, masa tinggal Anda di sini akan nyaman. Jika tidak..."
Perawat itu tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi tatapannya cukup menyampaikan ancaman Bramantyo: Kau di sini atas belas kasihku, dan kau akan tetap di sini sampai aku memutuskan apa yang terjadi pada anakku.
Nadia kembali ambruk di kasur, tubuhnya menggigil. Ia telah melarikan diri dari Jakarta, tetapi justru berakhir di penjara yang dibangun oleh ketakutan dan kekuasaan pria itu. Ia terjebak. Sendirian.
Kamar itu adalah ruangan yang akan menjadi peristirahatan nadia. Tempat tidurnya empuk, seprainya terbuat dari satin terbaik, dan kamar mandinya sebesar kamar kos Nadia di Jakarta, lengkap dengan jacuzzi dan perlengkapan mandi bermerek. Namun, di balik kemewahan itu, kamar tersebut adalah penjara.
Setelah menyadari ia tidak bisa melarikan diri, Nadia mulai memberontak. Ia menjerit, memukuli jendela besar yang ternyata terbuat dari kaca tebal anti-pecah, dan mencoba mendobrak pintu yang terkunci otomatis dari luar.
Bu Rina—perawat yang dingin dan tanpa emosi—adalah satu-satunya wajah yang ia lihat.
"Percuma saja, Nona," ujar Bu Rina saat melihat Nadia yang kelelahan dan terisak di lantai marmer kamar. "Dindingnya kedap suara. Rumah ini terletak di tengah lahan seluas sepuluh hektar, hanya ada hutan. Tidak ada yang akan mendengar Anda."
"Kalian menculikku! Ini kejahatan!" teriak Nadia, suaranya serak.
Bu Rina hanya tersenyum tipis, senyuman yang tidak menjangkau matanya. "Saya hanya menjalankan tugas dari Tuan Bramantyo untuk memastikan kesehatan Anda dan janin. Pintu keluar hanya bisa dibuka dari ruang kontrol utama, yang hanya diakses oleh Tuan Bramantyo."
Nadia menolak makan. Ia membiarkan nampan berisi makanan mewah—sup salmon, nasi organik, dan buah-buahan segar—dingin di meja. Ini adalah perlawanan satu-satunya.
"Saya tidak mau makanan ini! Aku akan mogok makan sampai aku keluar dari sini!" ancam Nadia.
Bu Rina mengambil tablet kecilnya dan mencatat sesuatu. "Anda bebas melakukan itu, Nona. Tapi ketahuilah, janin berusia tujuh minggu membutuhkan nutrisi. Jika asupan Anda kurang, saya akan dipaksa untuk memberi Anda asupan melalui infus."
Ancaman itu berhasil. Nadia memang takut pada infus. Lebih dari itu, ia takut pada janin yang tiba-tiba terasa begitu nyata di perutnya. Ia adalah benih Bramantyo, tetapi ia juga adalah darah daging Nadia.
Dengan air mata yang bercampur antara amarah dan kekalahan, Nadia memaksakan dirinya menelan sedikit bubur. Dia mulai memahami aturan main di sini: Tubuhnya adalah kapal, dan janinnya adalah muatan yang harus dilindungi. Bramantyo tidak peduli pada Nadia, ia hanya peduli pada keturunannya.
Di hari ketiga, Nadia mulai menjalani rutinitas yang ditentukan oleh Bu Rina. Bangun, sarapan dengan menu bergizi tinggi, minum vitamin, istirahat, dan 'olahraga ringan' di teras belakang yang berpagar.
Setiap sudut rumah terasa mewah dan mahal, tetapi tak ada satu pun benda di sana yang memiliki sentuhan pribadi—semuanya steril, terukur, dan tanpa jiwa. Ini adalah tempat penahanan, bukan rumah.
Satu-satunya hiburan Nadia adalah radio kecil yang disediakan di kamar.
Itu hanya menyiarkan lagu-lagu klasik yang menenangkan, tanpa berita atau program obrolan. Ini adalah penjara sensorik, dirancang untuk membuatnya tenang dan patuh.
Malam itu, setelah Bu Rina pergi (setelah mengunci pintu dari luar, tentu saja), Nadia berdiri di depan cermin. Ia menyentuh perutnya, yang masih rata.
"Kenapa, Nak?" bisiknya pada pantulan dirinya. "Kenapa kau harus muncul sekarang?"
Ia membenci janin ini.
Itu adalah pengingat konstan akan malam pengkhianatan dan kebrutalan Bramantyo. Namun, ia tidak bisa membunuh kehidupannya sendiri. Naluri keibuan, meskipun baru muncul dan bercampur dengan kebencian, mulai berbisik lebih keras daripada amarahnya.
Jika ia ingin bebas, ia harus bermain cerdas. Bertindak histeris hanya akan membuatnya dianggap sebagai pasien yang 'membutuhkan penanganan'.
Pada hari kelima, Bramantyo menelepon. Bukan menelepon Nadia secara langsung, melainkan menelepon Bu Rina melalui saluran komunikasi internal yang sangat aman. Panggilan itu dilakukan saat Nadia sedang duduk di sofa.
Bu Rina mengangkat telepon, menjaga jarak agar Nadia tidak bisa mendengar percakapan itu sepenuhnya. Namun, suara Bramantyo yang dingin dan dominan terdengar samar-samar.
"...pastikan dia mendapat yang terbaik... tidak ada stres... kesehatannya adalah prioritas, Bu Rina."
Nadia mendengar kata-kata kunci itu: terbaik, tidak ada stres, prioritas.
Ketika Bu Rina menutup telepon, ia menoleh ke Nadia dengan tatapan yang lebih keras dari biasanya. "Tuan Bramantyo berpesan, Nona. Dia tidak akan mengganggu Anda, selama Anda tidak mengganggu dia. Tugas Anda adalah beristirahat dan menjaga kandungan."
Nadia menatap lurus ke mata Bu Rina. Ia tidak berteriak, tidak menangis, dan tidak memohon. Ia mengubah wajahnya menjadi topeng sedingin wajah Bramantyo di hari mereka berpisah.
"Katakan pada Tuan Bramantyo," ucap Nadia, suaranya tenang dan pelan, "Aku mengerti. Aku akan patuh. Aku akan menjaga janin ini. Karena dia adalah satu-satunya kartu as yang aku miliki untuk keluar dari sini."
Bu Rina terlihat sedikit terkejut dengan ketenangan yang tiba-tiba itu.
"Dan pastikan," lanjut Nadia, tatapannya menyala dengan tekad yang baru, "Dia tahu bahwa aku tidak akan lupa, dan aku tidak akan memaafkan apa pun."
Nadia tahu, di balik kemewahan ini, ada satu kebenaran yang tidak bisa dihindari: Bramantyo membutuhkan anak itu lebih dari segalanya. Dan selama anak itu ada di rahimnya, Nadia memiliki kendali.
Ia akan menjadi tawanan yang patuh, menanti saat yang tepat. Ia akan menggunakan anak Bramantyo untuk menghancurkan kerangka emas tempat ia terkurung.