Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Rasa Manis dan Pahit
Matahari sore sudah mulai meredup saat Nayla memarkirkan motornya di halaman sempit rumah kontrakan. Tubuhnya terasa remuk redam. Seharian ini ia harus bolak-balik dari gudang ke kantor admin, mengurus selisih stok barang yang membuat kepalanya pening.
Namun, rasa lelah itu sedikit terangkat saat melihat paper bag berlogo toko kue fancy yang ia cantolkan di gantungan motor. Kue pemberian Adit—atau lebih tepatnya, Bu Rina.
"Assalamualaikum," ucap Nayla sambil membuka pintu.
"Ibuuuu!" Teriakan cempreng Nando langsung menyambutnya. Bocah laki-laki itu berlari dari arah ruang tengah, menabrak kaki Nayla dengan pelukan erat. "Ibu bawa apa? Kok wangi?"
Hidung kecil Nando kembang-kempis mengendus aroma cokelat yang menguar dari bungkusan di tangan ibunya.
Nayla tersenyum, mengacak rambut anaknya. "Ibu bawa rezeki buat Nando. Coba tebak apa?"
Nenek Ijah yang sedang melipat pakaian di sofa menoleh. "Apa itu, Nay? Tumben bungkusnya bagus banget. Beli di mana?"
Nayla duduk di karpet plastik, membuka kotak kue itu. "Bukan beli, Nek. Dikasih orang. Ingat ibu-ibu yang Nayla ceritain semalam? Anaknya tadi ketemu Nayla buat ngasih ini."
Saat tutup kotak dibuka, mata Nando berbinar-binar seperti melihat harta karun. Di dalamnya berjejer rapi lusinan soft cookies cokelat dengan taburan choco chips yang melimpah. Ukurannya besar-besar, jauh lebih besar dari jajanan warung yang biasa Nando makan.
"Wah! Kue cokelat!" Nando bersorak girang. Tangan mungilnya ragu-ragu menjulur. "Boleh makan, Bu?"
"Boleh dong, Sayang. Ini memang buat Nando. Tapi baca bismillah dulu."
Nando membaca doa dengan cepat lalu menggigit kue itu. "Mmm! Enak banget, Bu! Cokelatnya meleleh!"
Nayla memperhatikan putranya makan dengan lahap. Ada lelehan cokelat di sudut bibir Nando. Hati Nayla menghangat, namun di saat yang sama terasa perih. Ia tahu rasa kue ini pasti sangat berbeda dengan biskuit seribuan yang biasa ia belikan. Kemewahan kecil ini membuat Nayla sadar betapa banyak hal yang belum bisa ia berikan untuk anaknya.
"Enak, Nek. Nenek mau?" Nando menyodorkan kue sisa gigitannya ke arah Nenek Ijah.
"Buat Nando aja, Nenek nggak suka manis-manis, nanti gigi Nenek sakit," tolak Nenek halus, padahal matanya berkaca-kaca melihat cucu buyutnya begitu bahagia hanya karena sepotong kue.
Tiba-tiba, suara ketukan keras di pintu depan membuyarkan momen hangat itu.
"Assalamualaikum! Mbak Nayla! Udah pulang belum?" Suara berat seorang wanita terdengar dari luar.
Jantung Nayla mencelos. Ia kenal suara itu. Bu Marni, pemilik kontrakan.
Nayla buru-buru berdiri, merapikan daster yang belum sempat ia ganti. "Sebentar, Bu!"
Nayla membuka pintu. Di sana berdiri Bu Marni dengan kipas tangan dan daster corak macan tutul. Wajahnya masam.
"Eh, Bu Marni. Ada apa, Bu?" tanya Nayla pura-pura tenang, meski tangannya dingin.
"Mbak Nay, ini udah tanggal 25 lho. Katanya kemarin mau bayar tunggakan bulan lalu sama bulan ini sekaligus pas gajian. Udah gajian belum?" tembak Bu Marni tanpa basa-basi.
Nayla menelan ludah. Gajinya memang sudah turun tadi siang, tapi ia harus menyisihkan untuk bayar hutang di koperasi kantor bekas biaya berobat Nando bulan lalu, beli susu, dan listrik. Sisanya hanya cukup untuk bayar satu bulan kontrakan, belum dua.
"Maaf, Bu. Saya baru bisa bayar satu bulan dulu ya hari ini? Sisanya bulan depan saya lunasi. Nando kemarin sakit, jadi..."
"Alasan terus, Mbak!" potong Bu Marni ketus. "Saya juga butuh duit buat bayar arisan. Kalau bulan depan nggak lunas dua-duanya, maaf ya Mbak, mending cari kontrakan lain yang lebih murah aja. Yang ngantri mau nempatin rumah ini banyak!"
"Iya, Bu... saya janji. Ini uangnya." Nayla menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu yang baru ia tarik dari ATM. Uang itu berpindah tangan dengan cepat.
Bu Marni menghitungnya dengan teliti, lalu mendengus. "Ya udah. Awas ya bulan depan."
Wanita itu melengos pergi tanpa pamit. Nayla menutup pintu perlahan, bersandar di baliknya dengan lemas. Kakinya gemetar.
Bayangan amplop cokelat tebal yang disodorkan Adit tadi siang kembali menari-nari di pelupuk matanya.
Kalau tadi aku terima uang itu, mungkin aku nggak perlu dimarahin Bu Marni. Mungkin aku bisa beliin Nando mainan robot yang dia minta. Mungkin aku bisa ganti kacamata Nenek yang gagangnya udah patah.
Setan penyesalan mulai berbisik. Tapi kemudian, suara tawa Nando terdengar lagi.
"Ibu! Kuenya masih banyak! Besok Nando bawa ke sekolah boleh?"
Nayla menghapus air mata yang nyaris jatuh di sudut matanya, lalu berbalik sambil tersenyum lebar. Senyum palsu terbaiknya. "Boleh, Sayang. Boleh banget."
Ia telah memilih harga diri daripada uang. Dan malam ini, ia harus tidur dengan konsekuensi pilihan itu: dompet yang tipis dan kecemasan akan hari esok.
Sementara itu, di ruang makan mewah kediaman keluarga Rahardian.
Lampu kristal menggantung indah di atas meja makan panjang yang penuh dengan hidangan: ayam kodok, sup asparagus, dan salad segar. Namun, hanya ada dua orang yang duduk di sana. Adit dan Bu Rina.
"Jadi dia tolak?" tanya Bu Rina, meletakkan sendok supnya. Matanya membulat tak percaya.
Adit mengangguk sambil memotong ayam di piringnya. "Mentah-mentah, Ma. Adit udah paksa, udah bilang itu amanah dari Mama, tetep nggak mau. Katanya, kalau dia terima uang, ketulusannya jadi ada harganya."
Bu Rina terdiam sejenak, lalu senyum lebar merekah di wajahnya. "Masya Allah... jaman sekarang masih ada orang kayak gitu, Dit? Mama kira cuma ada di sinetron lho."
"Adit juga kaget, Ma. Padahal..." Adit menggantung kalimatnya. Ia teringat pemandangan Nayla makan batagor di pinggir jalan dengan lahap. "Padahal sepertinya dia butuh uang itu. Penampilannya sangat sederhana. Kantornya juga di ruko tua yang... yah, begitulah."
"Itu namanya berprinsip, Mas. Wanita mahal itu," puji Bu Rina semakin antusias. "Terus kuenya? Diterima?"
"Diterima. Itu pun karena Adit bilang buat anaknya. Kalau buat dia sendiri, mungkin ditolak juga."
Bu Rina manggut-manggut. Otaknya yang cerdas—yang dulu turut membangun kerajaan bisnis suaminya—mulai berputar.
"Siapa nama lengkapnya? Kamu tahu?"
Adit merogoh saku, mengeluarkan kartu nama kusam yang sempat ia minta dari resepsionis gedung kantor Nayla sebelum pulang tadi (sebuah tindakan diam-diam yang tidak ia ceritakan pada Nayla).
"Nayla Anindya. Staf Administrasi di PT. Sinar Logistik."
Bu Rina mengambil kartu nama itu, membacanya seolah sedang meneliti proposal bisnis bernilai miliaran.
"Mas Adit," panggil Bu Rina serius.
"Ya, Ma?"
"Mama nggak tenang kalau hutang budi Mama cuma dibayar pakai cookies. Itu nggak sepadan sama nyawa Mama."
"Terus Mama mau apa? Kirim uang lewat rekening? Dia pasti balikin."
"Bukan," Bu Rina menggeleng misterius. "Cara memberi orang yang punya harga diri tinggi itu bukan dengan 'memberi', Mas. Tapi dengan 'memberdayakan'."
Adit mengerutkan kening. "Maksud Mama?"
"Kantor kita, Rahardian Group, lagi butuh staf baru nggak di divisi logistik atau admin?"
Adit berpikir sejenak. "Divisi Logistik sih lagi hectic banget karena proyek apartemen baru. Pak Broto kemarin sempat minta tambahan orang admin yang teliti buat input data material, soalnya staf lama sering salah input."
Mata Bu Rina berbinar licik—dalam artian baik. "Nah! Itu dia. Coba kamu cek latar belakang Nayla ini. Kalau kerjanya bagus, kenapa nggak kita 'bajak' dia? Gaji di tempat kita pasti jauh lebih besar dari rukonya itu, kan? Itu cara menolong yang elegan, Mas. Dia dapat karir lebih baik, kita dapat karyawan jujur. Win-win solution."
Adit tertegun. Ide mamanya brilian. Menawarkan pekerjaan bukanlah sedekah. Itu profesional. Jika Nayla memang kompeten, itu murni karena kemampuannya.
Dan entah kenapa, ide bahwa Nayla akan bekerja di gedung yang sama dengannya, berada dalam jangkauan pandangannya, membuat jantung Adit berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Oke, Ma. Besok Adit suruh HRD buat background check diam-diam. Kalau kualifikasinya masuk, kita panggil dia buat interview."
"Jangan bilang kamu anaknya Mama lho pas interview," peringat Bu Rina. "Biar dia nggak nolak karena sungkan."
Adit tersenyum miring. "Tenang, Ma. Adit tahu cara mainnya."
Malam itu, dua skenario berbeda sedang berjalan. Nayla yang sedang menghitung uang receh untuk bekal Nando besok, dan Adit yang sedang menyusun rencana untuk mengubah nasib wanita penolong ibunya itu—tanpa wanita itu sadari bahwa hidupnya akan segera dijungkir balikkan.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️