Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIMA : PEKAT MALAM
Arun menggaruk kepala yang tak gatal. “Um, bagaimana, ya?” Dia terlihat serba salah.
“Ya, sudah. Kuanggap itu hanya gosip,” ujar Mandala, seraya berbalik hendak kembali ke bedeng.
“Tidak. Ini bukan gosip."
Mandala tertegun, lalu menoleh. “Lalu?”
“Banyak yang sudah tahu tentang gadis itu.”
Mandala tak hanya menoleh. Dia berbalik menghadap Arun, yang terdengar sangat serius. Namun, pria itu tak bertanya apa-apa, demi menutupi rasa penasaran yang berlebihan.
“Bukan hanya satu atau dua orang yang pernah melihatnya.”
“Melihat apa?” Mandala menatap serius. Ada rasa gemas karena Arun terlalu bertele-tele.
“Gita dengan Pak Rais. Banyak yang mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan istimewa,” terang Arun lugas. Membuat Mandala terdiam dengan tatapan aneh.
“Kamu boleh tidak percaya. Apalagi, Gita terlihat sangat lugu. Dia begitu manis dan …. Kamu bisa melihat sendiri,” ujar Arun lagi.
“Kenapa kamu mengatakan semua itu padaku?”
“Jangan salah paham, Man. Aku memang suka melihat gadis secantik Gita. Dia masih segar dan …. Ya. Gita bagai buah ranum yang pasti asyik untuk dinikmati. Kamu harus mengakui itu.”
“Lalu?” Nada bicara serta tatapan Mandala kian aneh. “Kamu tidak berpikir aku memiliki kelainan, kan?”
Arun langsung menggeleng kencang. “Tentu saja tidak,” tegasnya yakin. “Ketika kamu mengatakan tidak tertarik dengan Gita, aku hanya berpikir tentang selera. Tapi ….”
“Tapi apa?” tanya Mandala, dengan nada serta tatapan yang belum berubah.
“Kurasa, Gita tertarik padamu,” jawab Arun lugas.
Mandala terdiam. Sesaat kemudian, dia berbalik tanpa menanggapi ucapan Arun, seolah menganggapnya tidak penting.
“Aku serius, Man!” seru Arun, seraya menyusul Mandala yang kembali ke area proyek.
“Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa kita harus membahas ini,” ujar Mandala, sambil terus berjalan menuju bedeng.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu.”
“Memangnya kenapa?” Mandala berjalan cepat sehingga membuat Arun cukup kewalahan dalam mengimbanginya, bahkan sampai terengah-engah. “Aku takut dia hanya mempermainkanmu.”
“Kamu pikir aku sebodoh itu?” balas Mandala tanpa menoleh.
“Mungkin ... memperalatmu,” ujar Arun makin tak keruan.
Mandala berhenti di depan kamar yang ditempatinya bersama Arun. Dia menoleh, menatap sang rekan sejenak. Tanpa mengatakan apa pun, pria berambut gondrong sebahu itu langsung membuka pintu, kemudian masuk.
“Bagaimana? Kamu tidak curiga sama sekali?” Arun terus membahas Gita, bahkan setelah melihat Mandala duduk bersila di lantai.
“Kenapa aku harus curiga?”
“Kamu tidak takut dipermainkan?” tanya Arun serius, seraya duduk tak jauh dari Mandala.
Mandala yang sudah bersiap hendak makan, seketika terdiam. Entah apa yang pria itu pikirkan. Sepertinya, dia mulai terganggu dengan pertanyaan Arun.
“Wanita cantik adalah racun dunia,” ujar Arun lagi sambil berbaring. Dia melipat tangan di belakang kepala, menjadikannya sebagai bantal.
“Rokok juga beracun,” ujar Mandala menanggapi tenang, kemudian mulai makan.
“Ya, tapi itu merupakan dua hal yang berbeda.”
Arun terdiam beberapa saat, membiarkan Mandala menyelesaikan santap malamnya. Sesekali, pria berambut ikal itu menautkan alis, lalu mengernyitkan kening. Entah apa yang tengah dia pikirkan.
“Aku masih heran akan sesuatu, Man,” ucap Arun, seraya menoleh pada Mandala yang tengah memasukkan kertas nasi bekas ke dalam kantong kresek.
Arun bangkit, lalu duduk bersila. “Apa kepalamu tidak sakit dihantam potongan besi itu?”
“Kenapa masih memikirkannya?” Mandala menoleh sekilas, sebelum berlalu ke dekat tempat sampah. “Kamu lihat aku baik-baik saja.”
“Justru itulah yang jadi pikiranku. Maksudku, kamu seperti seseorang yang sudah sangat terlatih.”
“Terlatih?” Mandala menaikkan sebelah alis. “Aku sayang kepalaku.”
“Ah!" Arun mengeluh pelan. “Inilah yang tidak kusukai dari perbincangan denganmu.”
“Kalau begitu, sebaiknya kamu diam.” Mandala melepas T-shirt, bersiap untuk tidur.
Arun yang awalnya duduk, kembali berbaring di kasur palembang berukuran kecil. Dia menatap langit-langit ruangan, dengan bohlam berukuran 5 watt. “Kamu boleh tidak percaya dengan apa yang kukatakan tadi,” ucapnya.
“Tentang apa?”
“Hubungan Gita dengan Pak Rais.”
“Bukankah Pak Rais sudah berkeluarga?”
“Hm.” Arun menggumam pelan, lalu mengubah posisi jadi berbaring menyamping dan menghadap kepada Mandala. “Siapa yang tidak tergoda dengan gadis muda cantik dan masih lugu? Apalagi, kudengar keluarga Pak Rais berada di luar kota.”
“Kalau begitu, siapa yang beracun?”
Pertanyaan sederhana Mandala membuat Arun tertawa renyah. Entah apa yang lucu, tetapi pria dengan tinggi 169 cm tersebut sepertinya sangat terhibur.
“Sudahlah. Aku mau tidur.” Mandala menyudahi perbincangan. Dia membuka lipatan sarung, kemudian menyelimuti tubuhnya. Mandala tak ingin terlalu mengulik urusan pribadi orang lain. Apalagi untuk sesuatu yang berbau perselingkuhan.
Malam kian larut. Suasana di area proyek pembangunan apartemen begitu sunyi. Sesekali, terdengar deru kendaraan yang melintas d jalan raya yang sudah lengang.
Di saat semua orang telah terlelap demi mengumpulkan tenaga untuk esok hari, Mandala justru terbangun dari tidurnya. Dia selalu begitu dalam beberapa tahun terakhir. Dibangunkan oleh mimpi buruk, yang membuatnya bisa terjaga sampai pagi.
Embusan napas berat meluncur dari bibir Mandala. Pria yang kini sudah menginjak usia 38 tahun tersebut bangkit, lalu duduk sambil bersandar pada dinding. Pikirannya menerawang jauh tak menentu, menghadirkan sejuta sesal yang entah kapan bisa benar-benar menghilang dari ingatan.
Namun, dalam keheningan itu tak mendatangkan ketenangan bagi Mandala. Dengkuran keras Arun mengusik pendengarannya. Benar-benar mengganggu dan tentu saja menyebalkan.
“Ck!” Mandala berdecak kesal, seraya menyibakkan kain sarung yang digunakan sebagai selimut.
Mandala berdiri, lalu mengambil sebatang rokok dari dalam tas kecil yang digantung dekat handuk. Dia beranjak keluar kamar, sekadar mengisi waktu sampai kantuk datang kembali.
Asap tipis mengepul dari rokok yang Mandala isap. Dia termenung sendirian sambil duduk di depan kamar. Padahal, tak ada apa pun yang bisa dinikmati, selain pemandangan gelap gulita. Gemerlap cahaya lampu pun tidak bisa membuat langit pekat jadi terang benderang.
“Mandala …. Sayangku.” Suara lembut seorang wanita terdengar begitu jelas di telinga Mandala, membuat pria dengan tinggi 177 cm tersebut langsung melihat sekeliling, kemudian menatap tanah berpasir yang terhampar di hadapannya.
“Jangan ganggu aku, Irina,” gumam Mandala teramat pelan. Dia terpejam sesaat, lalu membuka mata. “Inilah hidupku sekarang. Kamu tidak berhak datang dan menggangguku lagi.”
Mandala kembali mengisap rokok hingga habis. Setelah itu, barulah kembali ke dalam kamar.
......................
Seperti biasa, setiap pagi sirine berbunyi nyaring. Ia meraung kencang tiga kali dalam sehari, bagai teriakan seorang ibu kepada anak-anaknya.
Hari ini, Herman tak mengganggu Mandala. Entah karena merasa terancam, atau ada alasan lain yang membuat wakil mandor tersebut tidak berani berulah.
“Mau ke mana?” tanya Arun, berhubung melihat Mandala sudah rapi.
“Keluar.”
“Dengan Gita? Astaga."
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua