Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 — Riwayat yang Hilang
Pagi di rumah itu terasa berbeda. Bukan karena matahari yang terlambat muncul di balik awan, atau aroma kopi yang biasanya memenuhi ruang makan. Tapi karena suasana hati yang menggantung—sesuatu yang sejak semalam menempel pada dinding, pada udara, bahkan pada langkah kaki Karina.
Ia bangun lebih cepat dari biasanya. Tidak ada suara Aruna yang berlarian di koridor, tidak ada suara Rendra merapikan dasi sambil bercanda kecil. Yang ada hanya ketegangan tipis yang seperti menyelinap dari balik pintu kamar.
Karina menatap ponselnya lama. Jari-jarinya dingin tapi kepalanya penuh.
Hari ini… ia akan memulai sesuatu yang selama sepuluh tahun selalu ia hindari.
Membuka masa lalu.
Menelusuri apa yang tersembunyi.
Dan menanyakan pertanyaan yang dulu ia takut dengar jawabannya.
Di ruang makan, Rendra sudah duduk sambil menatap koran tanpa benar-benar membacanya. Tatapannya kosong sesaat, sampai Karina menarik kursi.
“Kamu nggak tidur?” tanya Karina pelan.
“Ada beberapa hal yang kupikirkan,” jawab Rendra, menutup koran pelan. “Kamu juga?”
Karina mengangguk. “Sejak tadi malam.”
Rendra menarik napas panjang. “Kalau kamu mau mulai hari ini… aku ikut.”
Kalimat itu membuat Karina berhenti sejenak. Biasanya Rendra selalu menjadi orang yang menunda, orang yang mengalihkan, orang yang menjaga ketenangan rumah dengan menyembunyikan kekhawatirannya.
Tapi pagi ini, wajahnya terlihat berbeda. Ada garis tegang yang sama seperti milik Karina.
“Kita mulai dari mana?” tanya Karina.
Rendra membuka ponselnya. “Klinik di luar negeri. Rumah sakit yang dulu kerja sama sama Dr. Ardi.”
Karina meremas ujung bajunya. Ada perih aneh muncul di dadanya.
Nama itu—Dr. Ardi—sudah menjadi bayangan gelap sejak semalam. Dan sekarang, semuanya terasa lebih dekat, lebih nyata.
“Aku coba telepon,” ucap Karina.
Rendra mengangguk dan berdiri. “Aku ada beberapa kontak pribadi. Aku coba lewat jalur lain.”
Pagi itu, mereka bekerja dalam diam. Aruna sudah berangkat ke sekolah dengan supir, tidak curiga apa pun. Tapi Karina sempat melihat tatapan kecil itu sebelum Aruna masuk mobil—seperti merasakan sesuatu yang berubah.
Karina menunduk.
“Maafkan Mama, Nak…” bisiknya tanpa suara.
Karina duduk di ruang kerja Rendra, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan nomor rumah sakit luar negeri yang dulu menangani fertilisasi Aruna.
Ia menekan tombol panggil.
Nada tunggu terdengar… satu kali, dua kali, tiga kali.
Akhirnya tersambung.
“Hello, this is St. Birleigh Medical Center, how can I help you?”
Karina menelan ludah. “Good morning. I want to ask about a medical record. The procedure was done around ten years ago. The doctor who handled it was a partner from Indonesia.”
Petugas di seberang meminta data. Karina menyebutkan nama Rendra, nama klinik Dr. Ardi, tahun prosedur, dan nomor identitas yang dulu dipakai untuk administrasi.
Beberapa menit kemudian, suara itu kembali.
“I’m sorry, Ma’am. The file you’re looking for… doesn’t exist in our current system.”
Karina membeku. “Tidak ada?”
“We only have the confirmation of partnership with the Indonesian clinic. But the procedure data, embryo records, and delivery documentation… are not available. Some were deleted, some archived, but most—” petugas itu ragu, “—missing.”
Karina mengerutkan kening. “Missing? How bisa hilang?”
“Kami tidak tahu pasti, Ma’am. Tapi ada catatan internal bahwa ada permintaan penghapusan data oleh pihak Indonesia pada tahun yang sama. Atas nama—”
Suara itu berhenti. Karina menegakkan tubuh.
“Atas nama siapa?” desaknya.
Beberapa detik hening.
“—Dr. Adrian Ardi.”
Karina meremas ponselnya begitu kuat sampai sendinya memutih.
“Terima kasih,” ucapnya kering sebelum menutup panggilan.
Ia menunduk, napasnya memburu.
Hilang. Terhapus. Atas permintaan orang yang sama yang selama ini menghindar.
Ini bukan kebetulan.
Tidak mungkin kebetulan.
Rendra duduk di dalam mobil, menunggu seseorang menyambungkan teleponnya. Ia menghubungi kenalan lamanya—mantan klien yang kini bekerja di salah satu bank yang dulu mengurus pembayaran legal klinik Dr. Ardi.
Akhirnya tersambung.
“Ren? Lama banget nggak dengar suara kamu. Ada apa?”
Rendra menjelaskan pelan. Ia tidak mengatakan semuanya, hanya menyebut bahwa ia butuh akses dokumen lama—kontrak klinik, transaksi tahun sepuluh tahun lalu, dan catatan nama pasien.
Temannya terdiam agak lama.
“Aku bisa coba cari… tapi sebelum itu aku mau bilang sesuatu.”
Rendra mengernyit. “Apa?”
“Ada rumor waktu itu. Tentang klinik itu.”
Rendra mengendurkan genggaman pada kemudi. “Rumor apa?”
“Bahwa mereka pernah memanipulasi hasil USG pasien. Dan ada satu kasus yang… ditutup.”
Dada Rendra berdegup cepat. “Kasus apa?”
“Kasus bayi kembar.”
Mobil itu terasa lebih sempit. Udara menipis.
Rendra menutup matanya.
“Ren,” suara temannya menurun, “aku nggak tahu detailnya. Tapi katanya, salah satu bayi tidak tercatat. Dan itu bukan kesalahan teknis… tapi kesengajaan.”
Rendra menatap kaca depan mobil yang berembun.
Satu kalimat dari Karina terngiang di kepalanya:
Aruna bukan satu-satunya… bagaimana?
Tangannya bergetar.
“Terima kasih,” ucap Rendra sebelum menutup telepon dan menunduk, mencoba bernapas.
Karina berdiri di depan jendela, memandangi halaman kosong. Ponselnya masih di genggaman, layar mati tapi hatinya penuh suara.
Pintu ruang kerja terbuka.
Rendra masuk—wajahnya tidak kalah pucat dari Karina.
“Kamu dapat apa?” tanya Karina pelan.
Rendra tidak langsung menjawab. Ia duduk, menatap meja.
“Ada rumor,” ucapnya akhirnya. “Rumor tentang kasus bayi kembar di klinik itu. Sepuluh tahun lalu.”
Karina menutup mulutnya. Air mata langsung naik.
“Ren…”
“Dan katanya salah satu bayi… tidak dicatat.”
Karina menggeleng keras. “Nggak mungkin. Nggak mungkin mereka lakukan itu tanpa kita tahu.”
Rendra memejamkan mata. “Karina… banyak hal yang kita nggak tahu.”
Karina mundur satu langkah, tubuhnya melemah. “Aku dapat telepon dari rumah sakit luar negeri. Semua datanya hilang. Diarsipkan, dihapus… dan permintaan penghapusannya dari orang yang sama.”
“Dr. Ardi,” gumam Rendra.
Karina mengangguk dengan suara patah. “Aku mulai takut, Ren. Semakin kita gali… semakin banyak yang disembunyikan.”
Rendra bangkit dan mendekat, menggenggam bahu istrinya. “Tapi kalau kita berhenti… kita nggak akan pernah tahu siapa Aru sebenarnya. Dan kenapa Nayara pergi.”
Karina menatap mata suaminya. Ada rasa bersalah, takut, dan tekad bercampur jadi satu.
“Kalau ini semua benar… berarti Nayara melahirkan dua bayi. Aruna… dan Aru.”
Rendra mengangguk perlahan. “Dan salah satunya diberikan pada kita. Satunya lagi… dibawa pergi.”
Karina menunduk. Air matanya jatuh, tapi ia cepat menghapusnya.
“Kita harus bicara dengan Nayara,” ucap Karina akhirnya, suaranya tegas tapi bergetar.
“Dia satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Rendra menghela napas dalam, mengingat pertemuan beberapa hari lalu—tatapan Nayara, cara perempuan itu menunduk saat ia menanyakan identitas Aru.
“Aku tahu,” jawab Rendra pelan. “Dia ada di panti itu, Karina. Dia tinggal di sana… bekerja di sana. Kita nggak perlu mencarinya—kita cuma perlu keberanian untuk menemuinya.”
Karina menunduk, jemarinya mengepal.
“Berarti… semua jawaban yang kita takutkan selama ini sebenarnya sudah di depan mata.”
Rendra menatap foto Aru dan Aruna yang mereka ambil dari jendela panti. Dua anak itu berdiri sangat dekat. Terlalu dekat untuk orang yang baru kenal.
“Kalau mereka benar-benar saudara… mereka berhak tahu.”
Karina mengangguk lirih.
Dan untuk pertama kalinya, keduanya sadar:
Bukan masa lalu yang menunggu untuk dibuka—
tapi masa depan Aruna yang mungkin tak akan sama lagi setelah kebenarannya terungkap.
Rendra bersiap pergi, tetapi Karina memanggilnya pelan.
“Ren…”
Rendra menoleh.
“Kalau nanti semua ini… lebih buruk dari yang kita bayangkan,” suara Karina hampir pecah, “jangan tinggalkan aku. Kita sudah terlalu jauh.”
Rendra mendekat, menggenggam bahunya.
“Kita mulai ini sama-sama. Kita selesaikan sama-sama. Apa pun yang terjadi dengan Nayara, atau dengan Aru… aku tetap di sini.”
Karina menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya.