“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 ~ Papa
Dengan napas tersengal-sengal, menahan tangis dan lelah sehabis berlari, berusaha sekuat tenaga menyibak lautan manusia demi mencari suara paling indah di dunia ini … Intan menaiki anak tangga terakhir, dia ingin cepat-cepat mengurung diri di kamar mandi.
Namun langkahnya dihentikan oleh sang paman.
Agam Siddiq, Dzikri Ramadhan, Byakta Nugraha, Hasan – menatap aneh pada gadis kecil berpenampilan acak-acakan. Mereka sedang berada di ruang santai lantai tiga, membahas usaha apa yang kiranya mendatangkan keuntungan halal.
"Intan kenapa, Nak?” Agam menghadang langkah sang keponakan yang ingin lewat menuju kamar hotel sambil terus menunduk menyembunyikan air mata menetes di lantai.
Gelengan kepala itu terlihat lemah, Intan bungkam, air mata terus membasahi pipi. tidak berani mendongak.
Agam menekuk sebelah kaki kiri, memegang bahu ringkih. “Apa sebab anak Ayah menangis sampai terisak-isak macam ini?”
“Tak ada,” katanya terbata-bata disertai sedu sedan. Wajahnya semakin dalam menatap lantai.
Tubuh kecil mulai tinggi itu dipeluk sayang. Agam mengusap punggung keponakannya.
Tangis Intan kembali pecah, dia memeluk erat leher paman, menyembunyikan wajah pada sisi leher.
Dzikri membungkuk, mengelus pucuk kepala yang anak rambutnya keluar dari hijab. Membiarkan gadis kecil ini menumpukan tangis.
Beberapa menit kemudian, Agam melerai pelukan. Menatap penuh perhatian, mengusap lelehan air mata membuat wajah Intan basah dan mata memerah.
“Apa sekarang perasaan Intan mulai nyaman?”
Intan mengangguk, lengan bajunya digunakan mengelap ingus.
“Boleh Ayah besar tahu, apa sebab datangnya tangis ini?”
Bola mata berair dengan bulu mata basah itu tampak ragu, antara jujur atau tetap menyembunyikan.
Dia terbayang-bayang sosok kecil berjalan dengan digandeng oleh wanita dewasa, mereka memanggil Papa kepada pria yang diyakini adalah ayahnya.
Ada rasa amarah, tak terima, itu ayahnya. Tidak boleh ada orang lain memanggil Papa kecuali para sepupunya.
Akhirnya dia memilih jujur, memandang manik hitam sang paman. “Tadi Intan melihat ayah Ikram.”
Kernyitan dalam singgah di kening Byakta, Hasan, tapi mereka tetap diam. Menyimak dan memberikan perhatian penuh pada Intan.
Agam tetap mempertahankan raut tenang, tidak menyela dan menganggap Intan mengada-ada.
“Ayah tengah menolong anak terseret ombak di laut. Intan berdiri tidak jauh darinya, sewaktu Intan panggil – Ayah menoleh sekilas. Kemudian melanjutkan pertolongan.” Dia menelan air liur.
Suaranya semakin lirih. “Tak lama kemudian usahanya berhasil memberi pertolongan. Semua orang berseru senang, Intan mendekati Ayah ingin memeluk melepaskan kerinduan terpendam. Akan tetapi _ ada anak kecil sebesar Gauzan memanggil Papa, papa, papa … hiks, hiks.”
Gadis kecil itu menggeram, menekankan setiap kalimat. “Intan tak suka! Itu ayahku, Ayah Sabiya dan adek Gauzan. Ada juga perempuan dewasa bilang Papa Denis hebat.”
Hasan berdiri, dia menggendong Intan. Menenangkan gadis kecil yang tidak sanggup lagi berkata-kata. Suaranya tertelan oleh isak tangis. Menepuk-nepuk sayang punggungnya.
Agam, Dzikri, Byakta – melangkah tergesa-gesa menuruni tangga. Mereka tidak menganggap Intan berhalusinasi, mempercayai meskipun tidak sepenuhnya.
Ketiga pria hartawan itu berpencar, mencari keberadaan pria yang katanya Ikram.
Mereka sengaja tidak memberi tahu lainnya, tak ingin membuat riuh sementara apa yang diucapkan oleh Intan belum tentu benar.
Area pantai ramai pengunjung ditelusuri, tak ada sosok mirip Ikram.
Dzikri memeriksa kamar mandi umum, menunggu sejenak para pengunjung pria keluar dari sana. Pun, tak ada Ikram.
Byakta Nugraha mencari di sepanjang tepi jalan, hanya ada para pedagang menjajakan dagangannya.
Agam Siddiq berlari menuju area parkiran. Banyaknya pengunjung sedikit menyulitkan langkahnya. Napasnya sedikit terengah-engah, tapi ada satu sosok mencuri perhatiannya.
Dia melangkah pasti, mendekati pria yang memakai topi. Semakin dekat jarak mereka, terdengar lah suara sangat dikenalnya.
“Denis sama Mama dulu ya, Papa mau membuka pintu mobil.”
Pria yang biasanya tenang, hatinya bergejolak dan rasa tak senang pun hinggap disana. Dia dapat memahami perasaan nelangsa Intan Rasyid.
Agam berjalan pelan, sehingga wanita menggendong anak kecil tidak menyadari kehadirannya. Sewaktu sudah berdiri berjarak satu langkah dengan pria berkaos navi, ditepuknya pundak lebar itu.
“Ikram Rasyid!”
Yang dipanggil tidak langsung berbalik badan. Hatinya berdesir hangat, ritme jantung tidak berirama. Dia seperti mendengar nama sama disebut berulang-ulang.
‘Ikram Rasyid!’
‘Ikram Rasyid!’
Tubuh Yunus terhuyung, ujung topi menabrak kaca mobil. Kedua tas dalam genggaman terjatuh di dekat kakinya.
Agam merasa ada sesuatu janggal. Di tariknya lengan atas si pria sampai menghadap dirinya.
“Ikram Rasyid,” rasa cemas mulai merambat. Sosok didepannya seperti orang menggigil, rona pucat singgah pada wajah.
Punggung Yunus sepenuhnya bersandar pada badan mobil. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Dia tidak bisa berpikir jernih – satu nama terus menggema, seperti sesuatu baru dilepaskan dari belenggu kuat.
Tangan lemah itu berusaha menepuk-nepuk dada. Dia kesulitan bernapas, denyut jantungnya terasa menyakitkan. 'Ya Rabb, ya Allah.'
Bertepatan dengan itu, Dzikri dan Byakta tiba di sana. Suaminya Dhien melangkah lebar, lalu sangat sigap menopang tubuh layaknya didera demam tinggi.
“Bawa dia ke klinik kesehatan resort!” titah Agam Siddiq, dirinya mundur memberikan ruang.
Pada saat itulah wanita yang tadi shock, sampai raut wajah pias mulai tersadar. “Siapa kalian? Jangan seenaknya membawa suamiku! Lepaskan!”
Denis mulai meronta-ronta di gendongan sang ibu, tangannya terulur ke depan meminta digendong Yunus.
Dzikri tidak mengindahkan larangan, dengan dibantu penjaga parkir – mereka memapah Yunus yang langkahnya terseok-seok.
Arinta mengejar Yunus, menarik ujung kaos si pria. “Kalian siapa?! Aku bisa melaporkan ke pihak berwajib atas tindakan pemaksaan ini!”
Batita seumuran Gauzan menangis histeris. Dia ketakutan, kebingungan.
Kejadian itu menjadi tontonan gratisan, dikarenakan area parkiran lumayan ramai para pengunjung yang baru tiba dan keluar dari dalam mobil mereka.
“Lepaskan suamiku!” Cengkeraman tangan Arinta mengerat, menahan sekuat tenaga. Dia enggan melepaskan, seolah takut kehilangan.
Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menarik lengan wanita yang terus mempertahankan, dan menghalangi langkah Dzikri.
Tubuh terbalut pakaian tertutup itu terhuyung, dia sampai tidak sadar kalau Denis sudah diambil alih seorang wanita berwajah tegas. Menatap penuh perhitungan kepadanya.
“DIA SUAMIKU! BUKAN MILIKMU!!!”
.
.
Bersambung.