Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Efek Viral Media Sosial
Bab 32: Efek Viral Media Sosial
Malam itu, kamar kos Yuni yang sempit terasa seperti penjara.
Hening.
Hanya suara kipas angin tua yang berputar malas di sudut ruangan, mencoba mengusir udara panas Jakarta yang pengap.
Wuuus... wuuus... wuuus...
Yuni duduk bersila di atas kasur busa tipisnya.
Ponselnya menyala di tangannya. Cahaya biru layar menerangi wajahnya yang pucat.
Dia sudah melakukan kesalahan fatal: mengaktifkan kembali data selulernya.
Dan bom itu meledak.
Ding. Ding. Ding. Ding.
Notifikasi masuk bertubi-tubi. Tanpa henti.
Ponselnya bergetar hebat sampai terasa panas di telapak tangan.
Bukan hanya dari WhatsApp.
Tapi dari Instagram.
Akun Instagram lamanya yang digembok, yang hanya punya 50 followers (sebagian besar teman SD dan akun jualan skincare), tiba-tiba dibanjiri request mengikuti.
Angkanya terus naik di pojok kanan atas, berkedip merah seperti lampu peringatan bahaya.
Seseorang telah menemukan akunnya. Mungkin detektif netizen dari kolom komentar Bella yang kurang kerjaan.
Yuni membuka salah satu Direct Message yang masuk ke folder Request.
@user123_xoxo: Eh cewek kampung, sadar diri dong. Juan itu pantesnya sama yang selevel. Lo cuma ngerusak pemandangan.
Dia membuka yang lain dengan jari gemetar.
@fansjuan_gariskeras: Pelet apa yang lo pake? Dukun mana? Spill dong, gue juga mauet gaet anak orang kaya.
@fashion_police_jkt: Tas lo beli di loak mana mbak? Sumpah malu-maluin keluarga Adhitama. Minta beliin dong sama pacar lo.
Yuni menelan ludah. Tenggorokannya tercekat.
Dia scroll ke bawah. Ke bagian Explore.
Fotonya ada di sana.
Foto screenshot dari story Bella. Wajahnya yang kaku, berminyak, dan ketakutan.
Dijadikan meme.
Foto Yuni disandingkan dengan foto Clarissa yang sedang berpose anggun di Paris Fashion Week.
Caption-nya: Ekspektasi (Clarissa) vs Realita (Yuni).
Atau meme lain: Ketika lo pesen pacar di olshop tapi barangnya zonk.
Yuni melempar ponselnya ke kasur seolah benda itu terbakar.
Bruk.
Dia memeluk lututnya. Menyembunyikan wajahnya.
Matanya panas. Air mata mendesak keluar, tapi dia tahan.
Dia tahu dia dibayar untuk ini.
Dia tahu ini bagian dari risiko kontrak. Pasal Risiko Reputasi.
Tapi rasanya tetap sakit.
Seperti dikuliti hidup-hidup di alun-alun kota, ditonton ribuan orang yang tertawa sambil makan popcorn.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar panjang.
Panggilan masuk.
Drrt... Drrt...
Bukan dari nomor asing.
Nama Juan muncul di layar.
Yuni membiarkannya berdering.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Dia tidak ingin bicara dengan Juan.
Dia tidak ingin mendengar Juan meminta maaf lagi. Permintaan maaf tidak bisa menghapus jejak digital. Tidak bisa menghapus rasa malu.
Ponsel berhenti berdering.
Lalu bergetar lagi. Pendek-pendek.
Pesan WhatsApp.
Juan: Jangan buka IG.
Juan: Aku serius. Jangan buka.
Juan: Aku udah laporin akun-akun yang nyebar info pribadi kamu. Pengacaraku lagi urus.
Juan: Besok aku jemput pagi-pagi. Jangan naik angkot. Bahaya.
Juan: Yuni?
Juan: Please read.
Yuni membaca pesan itu dari notifikasi layar kunci.
Dia tidak membalas.
Dia mematikan lampu kamar.
Berbaring dalam gelap. Menatap langit-langit yang retak.
Mencoba tidur.
Tapi setiap kali dia memejamkan mata, dia melihat komentar-komentar itu berterbangan di kelopak matanya seperti nyamuk yang berdengung.
Pembantu. Dukun. Matre. Gembel. Malu-maluin.
Keesokan paginya.
Selasa.
Yuni bangun dengan mata bengkak dan kepala berat.
Dia tidak tidur nyenyak. Mimpi buruk dikejar-kejar kamera.
Dia bersiap ke kampus dengan gerakan mekanis. Seperti robot yang kehabisan baterai.
Mandi. Pakai baju. Sisir rambut.
Dia menatap tas kulit sintetis cokelatnya yang tergantung di balik pintu.
Tas yang "viral".
Kulitnya yang mengelupas di bagian tali terlihat seperti luka yang menganga.
Dia tidak bisa memakainya lagi. Tas itu sudah jadi simbol kehinaannya. Target bully.
Dia membuka lemari plastik.
Mengeluarkan tote bag kanvas polos warna putih gading.
Tas belanja yang biasa dia pakai ke minimarket atau bawa buku berat. Ada sablon kecil gambar wortel di pojoknya.
"Ini lebih baik," gumamnya. "Setidaknya nggak ada kulit yang ngelupas. Nggak ada pretensi mau kelihatan mahal."
Dia keluar dari gerbang kos.
Sebuah mobil SUV hitam besar—bukan sedan coupe kemarin—sudah menunggu di sana.
Mesinnya menyala halus.
Kaca jendelanya gelap 100 persen.
Pintu penumpang terbuka dari dalam.
"Masuk," perintah suara dari dalam.
Juan.
Yuni ragu sejenak. Dia melihat tetangga kos yang mulai menyapu halaman, melirik-lirik curiga ke arah mobil mewah itu.
Dia masuk cepat-cepat.
Duduk di kursi penumpang.
AC mobil langsung menyergap kulitnya. Dingin.
Juan memakai kemeja hitam. Lengan digulung.
Wajahnya lelah.
Ada lingkaran hitam di bawah matanya, sama seperti Yuni. Rambutnya sedikit berantakan.
"Aku bilang jangan naik angkot," kata Juan datar. Tanpa menoleh. Tangannya mencengkeram setir.
"Angkot lebih aman daripada mobil ini. Di angkot nggak ada yang kenal aku," jawab Yuni ketus.
"Angkot nggak bakal ngelindungin kamu dari kamera HP orang-orang iseng yang mau bikin konten viral."
Juan menjalankan mobilnya. Meluncur pelan keluar dari gang.
"Kamu baca komennya?" tanya Juan setelah hening lama.
"Semuanya."
"Aku bilang jangan."
"Susah kalau notifikasinya muncul tiap detik di layar, Juan. Aku nggak buta."
Juan memukul setir pelan.
"Maaf."
"Udah basi, Juan."
"Aku serius. Aku nggak nyangka bakal secepet ini nyebarnya. Bella..."
"Bella sengaja. Kamu tahu itu. Dia menikmati setiap detiknya."
"Aku udah marahin Bella. Ayah juga udah negur dia keras semalam."
"Terus? Story-nya dihapus?"
"Nggak. Udah di-repost ribuan akun lain. Percuma dihapus sekarang, jejaknya udah di mana-mana."
Mobil berhenti di lampu merah.
Juan menoleh ke Yuni.
Menatap wajah Yuni yang polos tanpa makeup.
Menatap tote bag kanvas bergambar wortel di pangkuan Yuni.
"Tas baru?"
"Tas belanja. Lebih aman dari hinaan 'kulit ngelupas'."
Juan menghela napas kasar.
Dia merogoh kursi belakang.
Mengambil sebuah paper bag besar berwarna oranye tebal.
Warna yang sangat khas. Simbol status tertinggi.
Hermes.
Dia menaruhnya di pangkuan Yuni.
"Apa ini?" tanya Yuni, menatap paper bag itu dengan ngeri.
"Buka."
Yuni membuka paper bag itu.
Di dalamnya, ada sebuah tas tangan kulit berwarna hitam.
Desainnya simpel. Elegan. Tidak ada logo besar yang mencolok.
Tapi baunya... bau kulit asli yang mahal dan baru.
"Ini tas Hermes?" tanya Yuni. "Yang kayak punya Clarissa?"
"Bukan," jawab Juan. "Itu Loewe. Merek Spanyol. Nggak pasaran. Quiet luxury."
"Harganya?"
"Nggak penting."
"Penting buat aku! Berapa? Tiga puluh juta? Lima puluh juta?"
"Ini bukan hadiah," kata Juan tegas.
"Ini properti kerja. Inventaris kantor."
"Aku nggak bisa biarin pacar pura-puraku di-bully satu negara gara-gara tas rusak."
"Pakai ini. Pindahin barang-barangmu sekarang. Buang tas kanvas itu."
Yuni menatap tas mahal di pangkuannya.
Tas itu indah. Sangat indah.
Kulitnya lembut seperti mentega. Jahitannya rapi sempurna.
Tapi rasanya berat.
Berat karena ini adalah simbol kekalahannya.
Simbol bahwa dia harus "didandani" dan "diperbaiki" agar layak bersanding dengan Juan.
Bahwa Yuni yang asli... tidak cukup.
"Aku nggak mau," kata Yuni.
Dia menutup paper bag itu.
Menaruhnya kembali ke kursi belakang.
"Yuni..." suara Juan memperingatkan.
"Aku nggak mau jadi boneka kamu, Juan."
"Kalau mereka mau bully aku karena aku miskin, biarin aja."
"Itu fakta."
"Aku miskin. Tas aku jelek. Baju aku murah. Bapak aku petani."
"Kalau aku pake tas ini, aku cuma jadi penipu yang lebih canggih. Aku membohongi diri sendiri."
"Dan aku nggak mau menyembunyikan siapa aku cuma demi ego kamu."
Lampu hijau menyala.
Mobil di belakang membunyikan klakson. Tin!
Juan tidak langsung jalan.
Dia menatap Yuni.
Tatapannya sulit diartikan.
Marah? Tersinggung?
Atau... kagum?
"Kamu keras kepala," gumam Juan.
"Sama kayak kamu," balas Yuni.
Juan akhirnya menginjak gas. Mobil melaju.
"Oke. Terserah kamu."
"Tapi jangan nangis kalau ada yang ngetawain tas kanvas wortel itu."
"Aku udah kebal," bohong Yuni. "Mental baja."
Mereka sampai di kampus.
Juan tidak menurunkannya di halte depan seperti biasa.
Dia masuk ke area parkir dosen. Area VIP.
"Turun di sini."
"Ini parkiran dosen, Juan. Kita bisa dimarahin satpam."
"Biar deket ke gedung Sastra. Aku anter sampe kelas."
"Nggak usah! Itu makin mancing gosip. Kamu mau bikin aku makin viral?"
"Gosip udah ada, Yuni. Nasi udah jadi bubur."
"Sekarang kita kendalikan narasinya."
Juan mematikan mesin.
Dia turun.
Berjalan memutar. Membukakan pintu untuk Yuni.
Seperti sopir pribadi. Atau pangeran.
Yuni turun, memeluk tas kanvasnya erat-erat.
Juan mengulurkan tangan.
Mengambil tote bag kanvas Yuni dari pelukannya.
"Sini aku bawa."
"Juan, itu tas belanja! Ada gambar wortelnya!"
"Bodo amat."
Juan berjalan tegap.
Memakai kemeja hitam mahalnya, jam tangan Rolex-nya, dan sepatu kulitnya.
Membawa tote bag kanvas kumal bergambar wortel di satu tangan.
Dan menggandeng tangan Yuni di tangan lainnya.
Mereka berjalan melintasi koridor utama kampus.
Dunia seolah berhenti.
Semua mata tertuju pada mereka.
Juan Adhitama. Raja Teknik. Membawa tas belanja.
Pemandangan yang absurd. Konyol.
Tapi entah kenapa... terlihat manis.
Dan sangat berani.
Juan seolah berkata pada dunia: Iya, cewek gue pake tas belanja. Terus kenapa? Masalah buat lo? Gue yang bawain.
Yuni menunduk sedikit.
Wajahnya panas.
Tapi genggaman tangan Juan terasa hangat. Dan kuat. Menopangnya.
Bisik-bisik terdengar. Tapi kali ini nadanya berbeda. Bukan ejekan. Tapi keheranan.
"Itu Juan bawain tasnya?"
"Anjir, so sweet banget."
"Tasnya gambar wortel dong."
Saat mereka sampai di depan pintu kelas Yuni, Juan berhenti.
Dia menyerahkan tas itu.
"Nanti siang aku jemput. Makan di kantin Teknik lagi."
"Lagi? Di kandang macan?"
"Iya. Kita harus tunjukin kalau kita nggak takut sama bully. Kita hadapi mereka."
Juan menatap mata Yuni.
Lalu, dia melakukan sesuatu yang membuat koridor hening seketika.
Dia merapikan kerah kemeja flanel Yuni yang miring.
Dan mencium kening Yuni.
Cepat. Lembut.
Tapi cukup lama untuk difoto oleh sepuluh orang yang lewat.
"Belajar yang bener, Cinderella," bisiknya.
"Jangan dengerin suara-suara sumbang."
Lalu dia berbalik. Pergi.
Meninggalkan Yuni yang mematung di depan pintu kelas.
Jantungnya berdetak kencang.
Bukan karena takut.
Tapi karena... ciuman itu terasa nyaman.
Dan Yuni sadar, viral atau tidak, bully atau tidak...
Dia mulai tidak peduli.
Asal Juan ada di sana, memegang tas belanjanya yang konyol, dia akan baik-baik saja.