Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Malam telah terlewati hingga bertemu pagi, Nesya terbangun dari tidurnya dalam kondisi remuk di sekujur tubuh, rasa perih di bagian inti tubuhnya ketika dia mencoba untuk duduk membuatnya meringis kesakitan. Ketika menoleh ke sisi kiri dia tidak mendapati siapapun disana, ternyata Evan sudah pergi sebelum dirinya terbangun.
“Syukurlah.” Batinnya sedikit lega, karena belum sanggup untuk bertatapan muka lagi dengan lelaki bejad yang sudah menghancurkan masa depannya.
Masih dalam keadaan tanpa busana dan hanya di tutup oleh selimut, Nesya menyandarkan punggungnya lalu mendongakkan wajah dengan tatapan matanya menerawang keatas, teringat kembali kejadian semalam saat kesuciannya di renggut paksa, itu kembali memancing emosi hingga tangisnya pecah.
“Ayah…” Nesya semakin terisak kala wajah mendiang sang ayah terlintas di benaknya, sosok lelaki satu-satunya di dalam keluarganya yang selalu ada untuk membela dirinya, seandainya sang ayah masih ada, mungkin Nesya tidak akan berada di posisi seperti sekarang.
Nesya terus menangis sambil memukul-mukul perutnya, ingin melampiaskan rasa kesal dan marah namun tak tahu kepada siapa. Hingga suara ketukan di pintu terdengar, Nesya terpaksa harus menghentikan tangisnya dan mengelap air mata dengan kasar. Piyama yang sejak semalam teronggok diatas lantai sudah tak utuh lagi bentuknya, ingin segera dia raih untuk menutupi tubuh namun tenaganya seperti telah tersedot habis dari semalam.
“Selamat pagi, Nyonya. Bagaimana kabar Anda?” Ternyata dia adalah Kiki, pelayan senior yang ditugaskan melayani Nesya pagi itu.
Nesya tidak menjawabnya dan hanya memberikan tatapan datar, karena ucapan buruk Kiki semalam masih teringat dengan jelas.
Kiki melirik ke arah bagian leher Nesya yang terbuka hingga bahu, terdapat bekas kemerahan di beberapa bagian dan ada lebih dari satu, sangat terlihat jelas di kulit putihnya dan dia sangat tahu tanda apakah itu. Apalagi ketika itu Nesya dalam keadaan polos dan hanya menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Dia yang berpikir kalau Evan tidak mungkin serius dengan gadis miskin itu, cukup dibuat kecewa dengan pendapatnya.
“Nyonya besar pasti tidak akan menyukai in,”’ ucap Kiki di dalam hati, dia kemudian seperti melihat sesuatu yang berbeda di wajah Nesya.
“Nyonya, mata Anda kenapa berwarna cokelat?”
Nesya cukup di buat terkejut ketika menyadari bahwa dia terlupa memasang kontak lens hitamnya, namun dia dengan cepat menguasai diri. “Aku sedang menggunakan kontak lens,” sahutnya berbohong karena sudah tidak peduli dengan semua orang.
Kiki tersenyum lalu kembali berkata, “Kalau begitu sebaiknya Anda segera bersiap, karena waktu sarapan bersama segera tiba. Dan juga Nyonya besar Rosaline sebentar lagi akan sampai, Anda harus tiba di bawah lebih dulu untuk menyambut beliau. Untuk pakaian dan kebutuhan skin care sudah tersedia di ruang ganti.”
Nesya tak memberikan reaksi apapun setelah Kiki selesai menguraikan semuanya, melihat itu pelayan senior tersebut berniat untuk undur diri saja.
“Jika tidak ada yang ingin Anda tanyakan maka aku permisi, Nyonya.”
Nesya masih memasang wajah datarnya sehingga Kiki tak menunggu jawaban lagi untuk segera meninggalkan ruangan tersebut.
Setelah pelayan menyebalkan itu enyah dari sana barulah Nesya membuang napas kasar, dia lalu memaksa tubuhnya untuk sedikit membungkuk ke bagian bawah tempat tidur lalu meraih piyama yang tergeletak di lantai. Sambil meringis dia berhasil juga menutup tubuhnya meski piyama itu sudah tak memiliki kancing sama sekali.
Dengan tertatih-tatih dia membawa kakinya melangkah menuju ke kamar mandi, ketika bediri di depan sebuah cermin dia pun harus kembali tersakiti saat melihat banyaknya jejak-jejak percintaan yang baginya sangatlah menjijikkan.
Nesya tak ingin berlama-lama, dia harus segera berada di luar villa tersebut secepat mungkin dan berharap sang kakak menepati janjinya. Ketika dia dan Narra sudah bertukar nanti, Nesya berencana untuk pergi meninggalkan keluarganya dan ingin hidup seorang diri saja.
“Memiliki keluarga hanya judulnya saja, tetapi tak ada satupun yang tulus menyayangiku.” Air mata Nesya kembali menetes, namun dia berjanji pada diri sendiri bahwa itu adalah air mata yang terakhir.
“Nesya Nadine tak pernah selemah ini.”
Setelah terus menyemangati diri, dia akhirnya menyelesaikan mandi dan dengan cepat menuju ruang ganti. Pakaian serta perhiasan sudah tersedia di atas sebuah sofa tunggal, seperti memang sudah disiapkan untuk dia kenakan.
“Rupanya pelayan belagu itu sudah menyiapkan ini semua, tapi kapan ya?” Ucapnya, namun tak ingin banyak berpikir lagi karena tak mau membuang waktu.
Nesya kini sudah siap dengan penampilan barunya, mengenakan dress rumahan berwarna biru pastel, sebuah kalung mutiara yang senada dengan antingnya, juga jam tangan mungil yang siap di kenakan. Ketika mencoba mengenakan jam tangan tersebut Nesya melihat cincin putih yang melingkari jari manisnya, kemarin Evan lah yang menyematkannya ketika mereka bertemu di pelaminan.
Nesya sama sekali tak merasakan hal yang manis melainkan hanya kepahitan, setelah apa yang Evan perbuat semalam pada dirinya, hatinya kini di penuhi oleh dendam kesumat pada lelaki tersebut.
***
Saat ini Nesya sudah berada di lantai dasar dekat dengan tangga, mencoba bersabar menahan nyeri di sekujur tubuh karena harus berdiri bersama dengan banyaknya pelayan berseragam sama. Sebuah mobil tampak berhenti di depan pintu utama tersebut, seorang wanita yang cukup tua namun masih sangat cantik terlihat masuk melewati pintu tersebut. Rambutnya di gelung sedemikian rupa, mengenakan semi blazer serta perhiasan di segala bagian, Nesya pun yakin bahwa dia adalah Nyonya Rosaline yang tadi di sebutkan oleh Kiki.
Rosaline berjalan dengan wajah terangkat serta dada yang membusung, sebuah tas jinjing mungil bergelantung di lengan kirinya. Dia masuk lalu mendekati Nesya dengan gayanya, aroma wangi tubuhnya pun langsung dapat tercium oleh indra penciuman Nesya.
“Selamat datang, Nyonya,” sapa Nesya sebaik mungkin, baginya mungkin saja itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir dengan wanita tersebut, sehingga tak ada salahnya memberikan kesan baik.
Nyatanya Rosaline tak sebaik itu, sebab reaksi pertama yang dia berikan adalah wajah ketidaksukaannya ketika harus melihat pemandangan yang ada di leher Nesya, bekas merah yang dia yakini adalah ulah dari Evan.
Rosaline mendelik lalu melengos melewati tubuh Nesya tanpa berkata-kata, hal itu di saksikan oleh Kiki dengan rasa bahagia. Sedangkan Nesya menjadi tak peduli, dia lebih tertarik untuk menunggu kakaknya datang seperti yang telah dijanjikan.
Ketika para pelayan bergerak mengikuti langkah Rosaline, Nesya malah memilih untuk keluar. “Aku harus menunggu Kak Narra,” gumamnya, sambil menengok ke sana dan kemari, berharap bisa menemukan tanda-tanda keberadaan kakaknya yang telah menyebabkan semua ini. Sayang, sepertinya Narra tidak menepati janjinya.
“Dia memang selalu membuat hidupku menderita!” Nesya mulai marah karena tak menemukan Narra dan akhirnya menyerah untuk menunggu, berdiri sambil mengenakan sepasang sepatu dengan tumit yang tinggi sangat membuatnya tak nyaman.
Akan tetapi ketika Nesya sudah memutuskan untuk kembali masuk kedalam lagi, dia pun melihat keberadaan sang kakak dari kejauhan. Benar saja, tampak Narra melambaikan tangannya dari sebuah tempat yang tersembunyi. Nesya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dirinya sudah bertekad untuk melarikan diri dan memilih jalan hidupnya sendiri setelah ini. Ketika langkah kakinya semakin cepat, dia melihat ekspresi wajah Narra yang panik dan itu membuatnya merasa heran namun tak ingin berhenti melangkah. Hingga saat dirinya sudah berada di tengah jalan tiba-tiba saja ada yang menarik lengannya dari belakang, sontak Nesya menengok ke belakang dan apa yang dia lihat sangat membuatnya semakin emosi.
“Lepaskan tanganku!” Teriak Nesya pada Evan yang menahan lengannya sehingga tak bisa bergerak kemana-mana.
“Mau pergi kemana, istriku? Sekarang sudah waktunya sarapan, jangan membuat kami repot.” Suara berat Evan terdengar mengancam.
Nesya tetap pada pendiriannya untuk pergi, tinggal selangkah lagi maka dia dan Narra akan bertukar kembali. Ketika dia masih mencoba memberontak, Evan malah menarik kepalanya lalu menciiummnya dengan paksa, dari kejauhan Narra terbelalak sampai membekap mulutnya.
Nesya semakin tak terima namun Evan jauh lebih keras darinya, ketika ciumann terlepas, lelaki itu semakin kuat menarik lengannya hingga mau tak mau tubuh Nesya juga ikut terbawa. Dia berusaha memberontak namun Evan tak mau berhenti, Nesya lalu menengok ke belakang untuk melihat sang kakak yang hanya diam tak berbuat apa-apa. Sekali lagi Nesya merasa percuma memilik keluarga.
BRAK!
Suara pintu di tutup dengan keras membuat Nesya terlonjak. “lepaskan aku Tuan, Anda salah orang!” Ucapnya sekeras mungkin.
Dengan wajah garangnya, Evan sama sekali tak mau peduli dan berkata dengan penuh penekanan. “Jangan pernah lagi mencoba untuk pergi dariku!”