Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1
Seorang wanita yang mau balap liar dengan musuhnya. Ia terpaksa melakukan ini, demi bisa bertahan hidup yang kejam. Walaupun ia mempunyai pekerjaan sampingan, tapi tidak cukup untuk membeli apa yang diinginkannya. Di tambah lagi, ia seorang yatim-piatu dan tidak memiliki keluarga.
"Wulan!"
"Wulan! Semangat! Aku padamu, sayang!"
"Ayo, kamu pasti bisa! Aku mencintaimu!" teriak seorang pria, melainkan kekasih Wulan sendiri.
Wulan menutup helmnya, mulai bersiap dan menunggu aba-aba wanita di depannya. Sudut matanya melirik ke arah musuhnya, yang tengah mengejeknya kali ini.
Saat kain merah jatuh ke jalanan, Wulan langsung menaikan kecepatan motor sport temannya dan melaju kencang.
Semua orang bersorak-sorai gembira, sambil menyebut nama Wulan yang tidak pernah kalah biasanya.
Wulan merasakan sesuatu yang tidak beres, motornya sulit dikendalikan dan rem tidak berfungsi sama sekali.
"Aaaaaaaa .....!"
Bruaaakkkk ...
Wulan terlempar cukup jauh, tubuhnya terasa berat seperti batu dan nyeri tidak tertahankan menghantam setiap inci tubuh. Motornya menghantam trotoar jalanan setelah ia mencoba menghindari seorang pejalan kaki.
Masih tersadar, Wulan bisa merasakan rasa metal di mulut, darah yang mengalir hangat di lidah, namun tubuhnya mulai lemah.
Musuh mendekat, wajahnya dingin dan senyum sinis terpampang jelas di depan. "Cckckck ... rem motormu tidak berfungsi, ya? Kamu tahu tidak, kekasihmu dan teman-temanmu mengkhianatimu dari belakang? Mereka sengaja melakukan ini agar kamu kecelakaan dan mati!" Suaranya terdengar menusuk, setiap kata yang dia ucapkan seperti belati tajam menusuk jiwa Wulan.
Wulan tidak bisa berkata apa pun, mulutnya terasa terkunci, tetapi telinga ini mendengar jelas ucapannya. "Apakah itu benar? Kekasihku ... teman-temanku? Tidak mungkin! Mereka tidak mungkin tega melakukan ini kepadaku. Tapi kenapa ucapannya begitu yakin? Apa yang sedang terjadi?" batinnya. Pikiran ini berkecamuk di kepala sementara rasa nyeri di tubuhnya semakin menjalar. Seketika pandangan menjadi gelap.
Bagian belakang kepala Wulan sepertinya sudah terbentur cukup parah, menyebabkan suara riuh orang-orang yang mendekat hanya terdengar samar di telinga.
Wulan mulai kehilangan kesadaran, tapi sebelum semuanya benar-benar menghilang, bayangan kekasih dan teman-temannya hadir dalam pikiran. "Apakah mereka benar-benar mengkhianatiku? Atau ini hanyalah kebohongan musuhku? Kenapa aku harus berakhir begini?"
"Wulan! Bangun! Jangan tinggalkan aku, bangun!" kekasihnya itu, langsung memangku Wulan yang sudah tidak bernyawa lagi.
Mereka tidak percaya apa yang terjadi, Wulan sudah tidak ada di dunia ini. Tubuhnya langsung di bawah ambulance untuk ke rumah sakit.
*****
Sedangkan di alam lain, sebuah taman yang luas dan hijau. Hembusan angin sepoi-sepoi menyapu rerumputan yang hijau.
Seorang wanita yang tengah berbaring di atas rerumputan mulai bangun, ia tengah kebingungan dan memegang kepalanya sedikit sakit. "Di mana aku? Apa aku masuk ke surga? Masih ingat aku mengalami kecelakaan tadi, dan .... apa benar, mereka mengkhianatiku?" katanya pelan, mencoba mengingat kembali.
"Kamu tidak di surga saat ini, tapi ada dimensi lain dan tentukan pilihanmu," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang kepadanya.
Wulan menyipitkan bola matanya, bingung darimana dia datang dan barusan tidak ada di belakangnya. "Siapa kamu? Lalu di mana kita?"
"Namaku Livia, dan saat ini kita berada di dimensi lain. Kehidupan yang aku jalani di dunia telah berakhir dengan cara yang menyakitkan, tapi mungkin di sinilah tempat untuk membuat semuanya jelas. Aku tidak bisa melanjutkan dengan semua rasa sakit yang dulu aku tanggung, tapi kamu, Wulan, mungkin bisa menyelesaikan semuanya untukku. Mari kita bekerja sama," katanya dengan nada penuh kepastian. "Aku mati karena bunuh diri." Kalimat itu meluncur dari bibirnya, meski tahu itu mengejutkan bagi Wulan. "Awalnya hanya ingin bercanda, ingin melihat reaksi suamiku, tapi ... malah berakhir sungguhan. Kini aku tidak lagi merasa penyesalan itu menguasai diriku."
Wajah Livia memancarkan ketenangan yang mungkin mengganggunya, seperti badai yang baru saja reda tapi meninggalkan jejak kehancuran.
Wulan menatap Livia dengan mata yang penuh kebingungan, mencoba mencerna semua kata-katanya. "Aku tidak bunuh diri," ucapnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku meninggal karena kecelakaan balap liar. Tapi ada yang mengatakan bahwa motorku sengaja dirusak oleh seseorang—seseorang yang aku anggap dekat denganku. Apa benar itu? Apakah aku telah dikhianati?"
Wulan merunduk dan menggigit bibirnya, duduk di atas rerumputan hijau yang basah oleh embun. Wajahnya tampak penuh dengan kekhawatiran, tapi juga keinginan untuk mencari kebenaran.
Livia menarik napas panjang dan mendekatinya, mencoba menyampaikan rasa simpati. "Wulan, kamu bisa mencaritahu semuanya," katanya dengan penuh keyakinan. "Namun, ada satu hal yang perlu kamu lakukan. Jiwamu harus masuk ke tubuhku, hanya dengan begitu kamu bisa melakukan apa pun di dunia. Tapi tentu ada syaratnya." Ia menyunggingkan senyum, menatap wajahnya yang mulai terlukis rasa penasaran. "Apa kamu mau?"
Wulan tetap terdiam, mungkin merenung. Livia tahu ini keputusan yang besar, yang akan mengubah segalanya. Tapi Livia berharap Wulan bisa melihat kesempatan dalam tawaran ini, seperti lilin kecil yang menerangi kegelapan. Senyum Livia tetap terukir manis, meski dalam hatinya, ada sesuatu yang tetap tidak terungkap.
"Memangnya bisa? Tapi bagaimana denganmu?" tanya Wulan, mengerjapkan kedua matanya.
"Jiwamu bisa masuk ke tubuhku, tai syaratnya buatlah suamiku jatuh cinta padamu. Sebenarnya aku yang salah, mengapa kami sampai menikah?" ucap Livia, menghembuskan napas beratnya. Wajahnya tersirat ada penyesalan yang mendalam.
"Apa? Aku membuat suamimu jatuh cinta? Bagaimana bisa?" Wulan merasa kepala berdenyut seketika saat mendengar perkataan Livia. Kata-katanya terasa seperti duri yang menusuk pikiran, penuh kebingungan dan rasa tidak percaya. Ia mencoba memahami maksud di balik kalimatnya.
"Aku anak orang kaya raya. Dia adalah ada anak teman pamanku. Karena jatuh cinta setengah mati, aku nekat menjebaknya dan mengatakan suamiku memperkaos. Tapi ... semuanya adalah bohong belaka," ucap Livia dengan nada datar, tapi ada sorot kesedihan di matanya. "Aku kira bisa mengambil hatinya, nyatanya tidak sama sekali dan malah membuatku tersiksa."
Wulan terdiam mendengarkan pengakuannya yang penuh keputusasaan. Seorang wanita seperti Livia, dengan semua yang dia miliki, memilih jalan penuh kehancuran seperti ini demi cinta yang tidak membalas. Pikiran itu membuat dada sesak.
"Dia seorang kapten yang bertugas di kapal pesiar dan jarang pulang," lanjut Livia. Ketika ia menatap Wulan, harapannya terasa nyata dalam pandangannya. "Kamu mau kan buat suamiku menyesal? Ini adalah kesempatan ke-duamu untuk hidup dan mengubah semuanya. Buat mereka menyesal sudah mengkhianatimu," katanya dengan nada penuh dorongan, seperti seseorang yang meyakinkan diri sendiri lewat kata-katanya.
Wulan menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. "Bagaimana denganmu?" tanyanya pelan. "Tidak mau hidup lagi?" Ada keraguan yang melingkupi hatinya, rasa bersalah yang samar mulai menyeruak.
Livia tersenyum, tapi senyumnya itu terlihat lebih mirip topeng daripada kebahagiaan yang sebenarnya. "Kita akan bertemu lagi, percayalah kepadaku," bisiknya lembut namun penuh misteri.
Wulan menghela napas panjang. Kepalanya berat, hati penuh dilema. Kata-katanya berputar di benak seperti badai yang tak kunjung reda. Memang pilihan yang berat, tapi ada rasa penasaran yang mendesaknya. Di balik semua ini, ada ketidakpuasan yang menggeliat dalam dirinya ingin tahu, ingin mencoba. "Baiklah," ia berkata akhirnya, hampir seperti sebuah janji. "Aku mau."