NovelToon NovelToon
Jejak Luka Sang Mafia

Jejak Luka Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Cinta Paksa
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Sonata 85

Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Luka dan Amarah

Vanesa berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan Gavin. Matanya panas menahan air mata, namun gengsi dan harga diri tak mengizinkannya runtuh. Ada bara dalam dada, menyala, tapi tak bisa ia padamkan. Ia ingin pergi sejauh mungkin dari pria yang baru saja meremukkan harga dirinya. Gavin. Pria itu bukan hanya menghina, tapi juga mencabik-cabik sisa harapan dalam hatinya.

Kakinya melangkah tanpa arah di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang bising dan tak ramah. Setelah beberapa menit menyusuri trotoar yang padat, Vanesa terhenti di depan sebuah sekolah kejuruan. Nafasnya tersengal. Lelah dan haus menghantamnya bersamaan. Ia duduk di bangku panjang di luar pagar sekolah, di bawah pohon besar yang rindangnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.

Di sekelilingnya, orang-orang berlalu dengan tujuan masing-masing. Namun, Vanesa merasa benar-benar sendirian. Tak ada tempat mengadu. Tak ada bahu untuk bersandar. Di dunia yang semakin penuh kemunafikan, ia tak tahu lagi siapa yang tulus dan siapa yang hanya berpura-pura peduli.

“Aku lelah…” gumamnya lirih. Pandangannya kosong menatap jalanan. Bayangan tentang sang ayah yang terbaring di rumah sakit, Damian yang mengusir dan berselingkuh, hingga Gavin yang dengan dingin merendahkannya, berkecamuk dalam benaknya. Hidupnya terasa seperti serpihan kaca yang tercecer di jalanan. Tak ada yang utuh, tak ada yang selamat.

‘Ini tidak adil untukku…’ batinnya pilu.

Saat ia masih tenggelam dalam keputusasaan, matanya tertumbuk pada kerumunan pelajar SMK yang baru saja masuk membawa kain kerajinan. Rasa penasaran membuat Vanesa berdiri dan menghampiri gerbang sekolah. Dengan sopan ia meminta izin kepada satpam dan guru untuk melihat kegiatan mereka.

Di dalam, Vanesa melihat para siswa merancang kain batik dengan teknik tradisional. Mereka mencetak motif-motif daun dengan tangan, lalu menyatukan warna demi warna hingga menghasilkan pola indah yang begitu khas dan bernilai seni tinggi. Keindahan itu seperti menyentil ingatannya tentang butik kecil yang dulu ia bangun dengan penuh cinta.

Salah seorang guru pengawas menghampirinya. Mereka berbincang hangat, membahas proses produksi hingga peluang bisnis yang bisa dikembangkan dari produk para siswa tersebut. Dalam hati, Vanesa mulai menyusun rencana baru. Mungkin inilah jalannya.

Namun, harapan yang baru tumbuh itu tiba-tiba dihantam oleh kenyataan. Sebuah pesan masuk di ponselnya.

[Waktu yang kamu miliki hampir habis. Segera dapatkan uangnya.]

Tangannya bergetar saat membaca pesan itu. Pria misterius itu kembali mengingatkannya soal utang ayahnya. Dada Vanesa sesak. "Astaga… apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya panik.

Dengan langkah cepat, Vanesa memutuskan kembali ke rumah Damian. Ia harus mengambil barang berharganya—barang yang bisa ia jual untuk menyelamatkan ayahnya.

Rumah itu tampak sepi. Ia masuk melalui pintu belakang, jalan yang biasa ia gunakan saat pulang larut dari toko. Begitu masuk, suara desahan dari kamar utama membuat langkahnya terhenti. Ia tidak kaget. Bahkan tersenyum miring. Ia sudah bisa menebak siapa yang sedang ‘bermain’ di dalam.

“Wanita tidak tahu malu. Apa di luar sana sudah tidak ada pria lain yang bisa kamu dapatkan?” gumamnya penuh kebencian.

Vanesa mengangkat ponselnya, mengaktifkan kamera. "Ayo kita lihat, sejauh mana permainan ini berlangsung," bisiknya pelan.

Ia membuka pintu kamar perlahan. Dan seperti dugaan, Iren kaget setengah mati mencoba menutupi tubuh telanjangnya dengan bantal. Damian pun buru-buru menarik selimut.

“Apa aku mengganggu permainan kalian? Silakan lanjutkan saja…” ujar Vanesa datar, tapi sorot matanya tajam menusuk.

“Dasar wanita gila! Matikan kameranya!” bentak Damian.

“Tenang, aku cuma sebentar. Mau ambil barang yang ketinggalan,” jawabnya santai, menyimpan ponsel ke saku celananya sebelum Damian berhasil merebutnya.

“Apa yang kamu cari? Semua barang di sini milik Damian!” seru Iren sinis.

Vanesa menatap wanita itu dari ujung kepala sampai kaki. Jijik. Sakit hati. Tapi ia menelan semua rasa itu. ‘Kau belum jadi istri sahnya, Iren. Aku tidak akan menyerahkan semuanya dengan mudah,’ batinnya dingin.

Namun ingatannya terpaut. Barang-barangnya disimpan di rumah temannya—ia takkan menemukannya di sini.

Saat ia hendak keluar, pintu depan terbuka. Ibu mertua dan adik iparnya masuk. Wajah wanita tua itu langsung berubah sinis saat melihat Vanesa berdiri di lorong rumah.

“Oh, akhirnya kamu pulang juga! Di mana kamu sembunyikan barang-barang itu?” teriaknya tajam.

“Barang apa, Bu?” tanya Vanesa tenang.

“Kalung itu, semua perhiasaan di lemari Damian. Itu semua milik anakku!”

“Damian tidak pernah memberiku barang berharga, Bu.”

“Jangan bohong! Kalung yang selalu kamu pakai itu mahal!”

Vanesa menahan diri. Ia tahu betul bagaimana jahatnya perempuan itu. Dulu, wanita itu bahkan menyuruh preman memaksanya menandatangani surat cerai. Ia memilih mundur ke teras, berjaga-jaga kalau mereka berniat jahat. Tapi niatnya tak bisa mencegah bencana.

Tangan ibu mertuanya menyentaknya. “Kamu tidak boleh kabur!” bentaknya.

Adik iparnya ikut membantu. Vanesa meronta, namun tubuhnya ditarik masuk lagi ke dalam rumah. Belum sempat berteriak, Iren menutup mulutnya dengan tangan.

“Bungkam dia! Seret ke kamar, kunci dia!” Damian pun ikut memerintah, matanya dipenuhi ketakutan akan kehilangan semuanya.

Mereka ingin menguasai rumah dan mobil yang ternyata atas nama Vanesa. Ketamakan merasuki mereka semua.

“Iren! Apa yang kamu lakukan?” Vanesa menepis tangan Iren, namun wanita itu malah pura-pura terjatuh.

“Sayang, dia dorong aku!” rengek Iren dengan air mata buaya.

Damian kehilangan akal. Tangannya terangkat. Plak!

Tamparan keras itu mendarat di pipi Vanesa. Dunia serasa berputar. Tapi bukan karena sakitnya fisik—melainkan karena pengkhianatan orang yang dulu ia cintai.

“Aku sudah bilang, dia sedang hamil! Apa kamu ingin membunuhnya?!” bentak Damian membela Iren.

Vanesa tak menjawab. Tatapannya tajam penuh dendam. Namun ibu mertuanya datang dengan lebih ganas—memukul dan menyeretnya ke gudang belakang.

“Lepaskan dia!”

Sebuah suara berat dan tajam memecah kekacauan itu. Sosok pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu. Cahaya sore menyinari tubuh kekarnya yang berdiri penuh wibawa.

Damian melotot. Ia mengenal pria itu.

“Siapa kamu?! Berani-beraninya masuk rumah orang!” teriak ibu Damian.

“Saya bisa melaporkan kalian atas tuduhan penganiayaan,” ujar pria itu dingin.

“Siapa kamu?!” teriak wanita itu lagi.

Damian buru-buru menahan ibunya. “Sudah, Bu… berhenti.”

“Siapa dia?!”

“Dia… Pak Gavin. Bos saya,” jawab Damian dengan suara nyaris bergetar.

Tanpa menjawab, Gavin menghampiri Vanesa yang terkulai. Ia menggendong wanita itu seperti tak membawa beban. Damian dan Iren hanya bisa mematung, sementara ibu Damian meradang karena rencananya gagal total.

“Pak Gavin! Apa yang Bapak lakukan dengan istri saya?!” seru Damian panik.

Gavin menatap mereka semua, matanya biru dingin menusuk tulang.

“Kita akan bicara… di kantor,” ucapnya, lalu melirik Vanesa yang kini sedang mengusap darah di hidungnya.

Damian tak bisa menyembunyikan ketakutannya. Sementara Gavin melangkah pergi, membawa Vanesa—dan mungkin juga kehancuran bagi keluarga tamak itu.

 “Kita akan bicara… di kantor.”

Bersambung

1
Bella syaf
capek, tapi mengaduk perasaanku 😭
Bella syaf
aku sedih terus baca ini ya Allah 😭
Bella syaf
sakitnya sampe ke pembaca Thor 😭
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini
Bella syaf
penuh perhitungan, hitung semua Gavin 🤭
Bella syaf
tapi penghinaan mu kejam Gavin, aku bacanya sakit hati
Bella syaf
vanes kamu ngeselin bgt
Bella syaf
kelam banget 🥲
Bella syaf
Thor, kasian vanesha 🥲
Bella syaf
rahasia apakah?
Bella syaf
sedih ngebayangin jadi vanesha
Bella syaf
ini relate ya sama kehidupan asli, kebanyakan begini lelaki skrg
Bella syaf
awal cerita yang bagus, kasihan Gavin dan vanesha 🥲
Hesty
gavin egois thor... punyaistri 2....
Mamanya Raja
lanjut Thor sepertinya ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!