Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Cemburu
Leon meraih jemari Ghea perlahan, membawanya ke atas pahanya sendiri.
Sentuhan itu tidak tergesa. Hangat. Lembut. Seolah bukan sekadar aksi, tapi pesan diam:
"Tenang. Aku tahu siapa kau. Aku di pihakmu."
Ghea terpaku.
Ada denyut asing di dadanya. Ia tak suka saat Leon menatap Tessa seperti itu.
Tak masuk akal. Tapi entah kenapa… ia juga tak suka jika pria itu berpaling darinya.
Tangannya tak ia tarik. Jemarinya bahkan seperti tersedot oleh hangatnya sentuhan Leon—seperti tubuhnya ingin bertahan, meski pikirannya menolak.
Matanya mengarah ke David.
Pria itu mencuri pandang ke arah Tessa. Tapi ekspresinya bukan lagi santai. Matanya menyipit. Rahangnya mengeras.
Cemburu.
Bukan pada Ghea, istrinya. Tapi pada wanita lain yang bahkan tak punya status.
Ghea tersenyum tipis. Ironis.
"Lucu. Saat dia menyentuh wanita lain yang bukan istrinya, itu hak. Tapi saat wanita itu disentuh pria lain, dia cemburu. Ia bahkan lebih memerhatikan selingkuhannya daripada aku."
Leon menoleh perlahan pada David.
Santai. Dingin. Mengancam tanpa berkata.
Lalu kembali bersandar, seolah tak terjadi apa pun. Tapi tangannya masih menggenggam tangan Ghea—erat, pasti.
Kontras. Bertolak belakang. Dan begitu menggetarkan.
David masih tenggelam dalam pikirannya, menimbang-nimbang.
"Apakah ajakan makan malam Leon sekadar basa-basi… atau niat sesungguhnya?"
Sorot matanya gelap. Dagunya mengeras. Satu tangannya mencengkeram gelas anggur terlalu erat, sampai nadinya menonjol tajam.
Tessa, duduk anggun dengan rok mini dan blus ketatnya, tak bisa menyembunyikan binar matanya saat menatap Leon.
Ia sudah membayangkan makan malam itu—restoran eksklusif, wine mahal, dan tatapan Leon yang hanya padanya.
"Ya Tuhan… semoga itu bukan cuma basa-basi diplomatis."
Sementara itu, Ghea menahan napas.
Ia mencoba menarik kembali tangannya dari atas paha Leon. Pelan. Halus. Tak ingin mencolok.
Tapi Leon… tentu saja tak melepaskannya.
Cengkeraman itu tak kasar—tapi punya kuasa. Teguh dan penuh kendali.
Leon bahkan tak menoleh padanya. Matanya tetap pada David dan Tessa. Tapi jemarinya bergerak. Mengusap punggung tangan Ghea perlahan, berulang.
Bukan sekadar sentuhan. Tapi pesan diam: "Tetap. Di. Sini. Aku di pihakmu."
Ghea menelan ludah. Ia ingin marah. Ingin menarik tangannya dengan paksa. Tapi tubuhnya tak mau diajak kompromi.
Tangannya tetap di sana. Tertawan. Dan dadanya berdetak—terlalu keras untuk disebut gugup.
"Apa yang terjadi padaku?"
Leon tersenyum samar. “Sepertinya ajakan makan malam saya terlalu mendadak.”
David tertawa. Hambar. Terpaksa.
“Kalau soal makan malam, Tuan Leon, saya rasa Anda harus bersabar. Tessa cukup selektif dalam urusan pergaulan.”
Nadanya ringan. Tapi Ghea mengenal pria itu. Dan ia menangkap nada getir yang nyaris tersembunyi—seperti ancaman halus yang dibalut sarkasme.
Leon hanya mengangguk. Tenang.
“Saya percaya Tessa cukup profesional dalam segala urusan… termasuk makan malam bisnis.”
Sekilas, ia melirik Tessa. Cukup satu detik. Tapi cukup membuat pipi wanita itu merona.
Ghea menyaksikan semua itu. Dan entah kenapa, ada perasaan tak nyaman merambat ke hatinya.
Bukan karena Leon melirik wanita lain.
Tapi karena ia peduli.
Peduli pada pria yang awalnya ia pikir hanya brengsek berwajah tampan yang mau dibayar untuk menghamilinya.
Peduli pada pria yang kini memegang tangannya lebih erat dari suaminya sendiri.
"Aku tak rela jika Leon terjerat wanita murahan seperti Tessa. Wanita yang bahkan sudah menjerat David."
Dan Leon…
Tanpa suara, tanpa lirikan, masih menggenggam jemarinya seolah tahu semuanya.
Dan berkata tanpa kata:
"Tenang. Aku tak akan ke mana-mana."
“Wilayah timur punya potensi besar dalam dua tahun ke depan,” ucap Leon tenang.
Nada suaranya datar. Tak ada jeda gugup, tak ada tekanan. Seolah tak terjadi apa-apa.
“Kami sudah mengamankan jalur distribusi primer. Jika kerja sama ini jadi, Mahardika Group bisa membantu membuka akses yang sebelumnya tertutup.”
Suaranya tetap dalam, stabil, penuh wibawa. Tapi tangannya masih di sana—mengusap punggung tangan Ghea di atas pahanya.
Hangat. Berat. Bergeming.
Dan anehnya… memberi rasa nyaman yang pahit.
Ghea menggigit bibir. Di hadapannya, suaminya sendiri—David—menatap sekretarisnya seperti lupa siapa yang duduk di sebelahnya. Istri sahnya. Ia.
Untuk sesaat, ia nyaris lupa mereka masih duduk di ruangan yang sama.
Leon tak menoleh padanya. Tatapannya tetap pada David. Tapi jari-jarinya... tetap mengusap punggung tangan Ghea dengan tenang.
Dan tiap sentuhan itu mengirimkan getaran halus ke dada Ghea.
"Tolong... jangan lakukan ini..." pikirnya.
Tapi tubuhnya menolak bergerak.
Seolah genggaman itu bukan hanya fisik. Tapi ikatan.
"Kenapa tanganku bahkan enggan ditarik? Aku sudah gila."
Tessa mencondongkan tubuh ke meja. Pura-pura ingin mencatat. Tapi matanya tak lepas dari Leon.
Bibirnya setengah terbuka, seolah menahan decak kagum.
"Pria ini... terlalu sempurna untuk diabaikan."
David melirik. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat rahangnya mengencang.
"Tatapan miliki Tessa itu… dulu untukku. Sekarang... bukan lagi."
Ia meneguk wine-nya cepat. Seolah ingin menenggelamkan perasaannya dalam cairan merah itu.
“Mahardika Group,” gumam David, mencoba terdengar santai,
“Benar-benar tahu cara... mencuri perhatian.”
Leon menoleh sedikit. Tersenyum kecil. Bukan senyum ramah. Tapi senyum seorang pria yang tahu betul siapa yang memegang kendali.
“Kami lebih suka membiarkan hasil yang bicara. Tapi jika perlu, saya bisa jelaskan lebih detail… langsung pada sekretaris Anda. Saat makan malam, mungkin.”
Tessa tersenyum. Hampir malu-malu.
David mengerutkan kening. “Ah. Makan malam.” Kalimat itu kembali menganggu David.
Suaranya turun satu oktaf. Hanya sedikit. Tapi Ghea mendengarnya.
Ada luka dalam gengsi itu.
Leon menatap David. Matanya tajam.
“Saya yakin dia profesional. Saya tidak akan membahas hal-hal pribadi. Hanya strategi.”
Ghea melirik suaminya. Rahangnya kaku. Bahunya tegang. Ia tak berkata apa-apa. Tapi… sorot matanya menusuk.
Dia cemburu.
Dan sekarang… Ghea melihat itu semakin jelas..
David cemburu.
"Apa karena wanita yang biasa ia kendalikan… kini justru dikendalikan oleh pria lain?"
"Apa karena ia tak bisa lagi mengontrol sesuatu yang dulu ia anggap miliknya?"
Ghea menahan tawa getir. Tawa yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
"Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali dia cemburu padaku.
Apa karena aku terlalu percaya padanya? Atau terlalu bodoh untuk menyadari dia sudah berubah?"
Dan di saat yang sama…
Leon—masih seolah tak sadar—menggenggam tangannya sedikit lebih erat.
Bukan mencengkeram. Tapi merangkul.
Lembut. Tegas. Penuh arti.
"Aku tahu apa yang kulakukan, Ghea.
Dan sekarang… kau pun tahu siapa pria itu sebenarnya."
Ghea menelan ludah. Rasa bersalah, getir, dan ketertarikan bercampur jadi satu. Tubuhnya masih gemetar. Tapi kali ini bukan karena takut.
Ghea menarik napas panjang.
Tapi napas itu tak mampu menenangkan dadanya yang bergolak.
David cemburu.
Tessa mabuk pesona.
Dan di tengah semuanya, tangan pria asing—yang baru ia kenal beberapa hari ini—masih menggenggamnya. Tak memaksa. Tapi juga tak memberi pilihan.
"Ngomong-ngomong, kalung itu sangat cocok dengan istri Anda," ucap Leon tenang, menggeser pembicaraan seolah membelai sisi rapuh malam itu.
Suara itu mengambang di udara seperti kabut tipis yang dingin tapi mengandung bara.
Ia menoleh sebentar ke arah Ghea. Hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat tubuh Ghea makin kaku.
"Apa maksud semua ini?"
Ghea tak tahu harus marah, takut, atau... tersentuh.
Ia ingin menarik tangannya. Tapi jari-jarinya hanya bergerak sedikit, sebelum akhirnya menyerah.
"Kenapa aku begitu tak berdaya di hadapannya?"
Pertanyaan itu mengganggu, menyelinap seperti desis di telinganya.
Tapi sebelum ia bisa menjawabnya sendiri, Leon melepaskan genggaman itu perlahan.
Hangatnya lenyap seketika, tapi sentuhannya membekas, seperti nyala lilin yang padam tapi asapnya masih menggantung.
Ghea refleks menoleh.
Matanya mencari, dan tanpa sadar, ekspresi wajahnya bertanya,
“Kenapa? Kenapa tiba-tiba dia melepaskannya?”
Tapi Leon tidak melihat ke arahnya.
Ia tetap tenang, seperti tak terjadi apa-apa.
Justru ketenangan itulah yang membuat Ghea makin goyah.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.