Fitri terpaksa bersedia ikut tuan Tama sebagai jaminan hutang kedua orang tuanya yang tak mampu mwmbayar 100 juta. Dia rela meski bandit tua itu membawanya ke kota asalkan kedua orang tuanya terbebas dari jeratan hutang, dan bahkan pak Hasan di berikan uang lebih dari nominal hutang yang di pinjam, jika mereka bersedia menyerahkan Fitri kepada sang tuan tanah, si bandit tua yang beristri tiga. apakah Fitri di bawa ke kota untuk di jadikan istri yang ke 4 atau justru ada motif lain yang di inginkan oleh tuan Tama? yuk kepoin...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Ajak Ke Mall
"Fitri...!!" panggil Tasya dengan nada suara yang keras.
Fitri yang sedang mencuci piring di dapur jadi terlonjak kaget.
"nyonya Tasya memanggilmu, nduk!" kata bu Lastri.
"ada apa lagi, mbok? kok suaranya keras betul? apa memang seperti itu ya kalau para majikan sedang memanggil pekerjanya?" tanya Fitri keheranan.
"namanya juga majikan, ya suka suka dia lah mau ngomong dengan gaya bagaimana." timpal Susan.
"buruan ke sana, sebelum dia tambah makin marah. nyonya Tasya itu, nyonya yang paling galak di antara nyonya yang lainnya." bu Lastri memperingatkan Fitri.
"iya, mbok." Fitri pun lekas berlari pergi ke depan menuju di mana sang majikan memanggilnya.
"iya, nyonya." sahut Fitri dengan tertunduk.
"ikut gue! gue mau ke mall." kata Tasya.
"baik nyonya." sahut Fitri.
"kak, mau kemana?" tanya Tio tiba-tiba muncul.
"mau ke mall." sahut Tasya.
"ngajakin dia?" Tio menunjuk ke arah fitri dengan bahasa isyarat.
"iya, kenapa?"
"kakak gak malu jalan sama dia? penampilan buluk gitu. Apa kata teman teman kakak nantinya?" Tio berbicara dengan nada mengejek, tatapannya mengarah ke arah Fitri yang berdiri tertunduk di depannya.
"kakak ngajakin dia supaya ada yang bisa bawain barang belanjaan milik kakak. kakak ajakin dia juga mau kakak perkenalkan sama teman teman kakak bahwa sekarang kakak punya budak baru. Kan lumayan bisa buat disuruh suruh."
"kalau gitu, biar aku antar." Tio menawarkan diri.
"emang kamu gak kuliah hari ini?"
"lagi malas saja. Boleh ikut?" tanya Tio lagi.
"Terserah kamu sajalah." sahut Tasya.
Tasya dan Tio pun berangkat dengan di ikuti Fitri dari belakang.
"mau di bawa kemana pembantu baru itu?" Hera (istri kedua tuan Wira) berdiri di depan pintu. Menatap pada Tasya dan Tio.
"bukan urusan lo." sahut Tasya acuh.
"Gak bisa gitu, dong. Fitri bukan budak pribadi lo. Jadi lo gak berhak membawa dia pergi. Tugas Fitri menjadi budak di rumah ini, bukan melayani kepentingan pribadi lo, tapi semua orang yang ada di rumah ini." tukas Hera.
"terserah gue lah. Daripada di rumah ini hanya di minta untuk menjadi pelayan si lumpuh tak berguna itu, mending jadi budak gue, bisa healing di luar, jalan jalan dan menikmati udara bebas, gak pengap dan bau kayak si lumpuh itu." kata Tasya.
Tio tersenyum saat melihat kakaknya begitu berani saat berbicara dengan istri kedua tuan Tama.
"Fitri, kamu jangan ikut. Kecuali atas ijin dari tuan besar. Ingat! yang membawa kamu kemari adalah beliau. Jadi, jika kamu mau keluar dari rumah ini maka kamu harus ijin dulu sama tuanmu." Hera melotot memberi peringatan.
"iya, nyonya." sahut Fitri tertunduk. Dalam hati, Fitri tampak kebingungan, mana yang harus ia turuti. Kedua nonya ini sama sama istri tuan Tama yang tentu sama sama memiliki peran penting.
"masuk! di rumah ini banyak pekerjaan!" titah Hera.
Fitri hendak memutar badan untuk masuk, akan tetapi lengannya di cegat oleh Tasya. "tidak bisa, lo harus ikut gue!" pekik Tasya.
Fitri tampak kebingungan, ia sendiri tidak tau harus nurut sama siapa. Tiba-tiba dalam situasi yang tegang itu, muncul tuan besar Wiratama.
"ada apa ini? kenapa kalian ribut sekali?" tanyanya.
"honey, itu loh. Mbak Hera ngelarang aku bawa Fitri. Aku kan mau belanja ke mall. Aku mau Fitri temenin aku untuk bawain barang barang belanja aku, boleh ya.., honey?" kata Tasya merengek.
"ya sudah, bawa saja." kata kakek wira. Kalau sudah berhadapan dengan Tasya, istri mudanya, segalak galaknya tuan Tama, maka dia akan selalu luluh dengan sikap manja dari istri mudanya ini. usia yang terpaut cukup jauh, kisaran 25 tahun di bawahnya, membuat Wira Tama selalu tunduk dan cinta buta sama istri mudanya ini.
"ya sudah, pergilah. Hati hati di jalan." kata Wira Tama setelah mendapat kecupan manja di kedua pipinya.
"tuh kan, mbak? mas Tama aja ngebolehin,!!" Tasya tersenyum mengejek ke arah Hera yang kalah berdebat.
"Ayo Fitri, kita jalan." kata Tasya.
Fitri pun patuh, ia mengikuti kemana Tasya mengajaknya.
Setelah ketiganya pergi, Hera menatap ke arah Wira Tama dengan tatapan tajam.
"Mas, kenapa mas terlalu memanjakan dia? Apa apa yang dia inginkan selalu saja di turutin. Mas Tama selalu berlaku tidak adil pada istri mas yang lain." Hera menggugat ketidak adilan sikap suaminya terhadap ketiga istrinya.
"itu hanya perasaan kamu saja, Hera." sahut Wira Tama.
"itu kenyataannya, mas."
"Sebenarnya aku memanjakan dia, hanya untuk menstabilkan emosinya, kamu tau, kan kata dokter? Tasya rentan dalam emosi. Dan itu akan berpengaruh pada kesuburan rahimnya. usiaku sudah 60 tahun, tapi di antara ke tiga istriku masih belum ada yang bisa memberiku keturunan. Sedangkan Devan, satu satunya penerus ku, malah kekurangan mental. Karena itulah aku berharap kamu dan Tasya bisa memberiku anak. waktuku Sudah tak banyak lagi Hera. Atau jika kalian berdua tidak bisa memberiku keturunan, maka aku akan membuang salah satu dari kalian? atau jika perlu aku akan menikah lagi." kata Wira Tama.
"kenapa sih, mas itu saja alasan mas. Daripada mas Tama membuang aku atau Tasya, mending buang aja mbak Arumi. Dia kan yang paling tua di antara istri mas. Dia sudah jelas tak akan pernah bisa hamil." kata Hera.
"cukup Hera! jangan pernah menyamakan kalian dengan Arumi. Dia istri pertama ku, dan tentu kalian tak akan pernah bisa menyamai kedudukannya di hati aku." Pekik Tama sembari melangkah meninggalkan Hera yang merasa kesal.
"itu itu aja alasannya. Bosan aku dengernya." gerutu Hera bermonolog.
Sementara di luar, Fitri membawa beberapa kantong belanjaan milik Tasya dengan kerepotan. Kedua tangannya berat dengan beberapa barang milik Tasya, sedangkan Tio tersenyum saat menatap Fitri tampak kerepotan, bukannya membantu justru ia haya menertawakan.
"Fitri, umurmu berapa sih?" tanya Tio.
"18 tahun, tuan." sahut Fitri.
"sayang sekali, ya? masih muda kamu sudah jadi jongos." gumam Tio.
"sudah punya pacar, belum?" tanya Tio lagi.
"belum, tuan. kata ibu tidak boleh pacaran. Pacaran itu dosa, tuan." sahut Fitri dengan polosnya.
Tio sangat menyukai gaya Fitri yang polos itu. Dalam diam, Tio selalu mencuri pandang terhadap Fitri. Dalam hati rupanya Tio mengagumi gadis itu, akan kecantikan nya. Meski kecantikan dan keindahan tubuhnya yang Fitri miliki sudah di sembunyikan di balik hijab dan gamis longgar yang selalu ia kenakan, akan tetapi Tio masih bisa melihat semua itu.
Tio memandang Fitri dengan pandangan berbeda, "Fit, ikut aku yuk...!!" kata Tio.
"kemana, tuan?" tanya Fitri.
"ke kamar mandi!" sahut Tio dengan seringaian yang mencurigakan