Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
Ternyata dipukuli tidak lebih buruk daripada melihat nenek sihir bermuram durja. Naren tidak suka. Vibes di rumah jadi ikutan tidak enak—suram, seperti habis ada yang meninggal.
Sehabis makan malam, perempuan itu pamit naik duluan, mengurung diri selama lebih dari setengah jam, lalu keluar dengan keadaan berantakan. Matanya sembab, hidungnya memerah, baju tidurnya kucel dan rambutnya acak-acakan. Entah apa yang dia tangisi sampai sebegitunya.
Karena tangannya masih perih jika terlalu banyak bergerak, malam ini terpaksa tidak ada agenda main game. Naren duduk di ujung sofa ruang keluarga, membolak-balik komik Detective Conan yang sudah berkali-kali dia baca—mungkin sudah delapan kali. Eric duduk gelesotan di dekat kakinya, asyik menggulir layar ponsel, mengikuti berita perselingkuhan Benny Blanco dengan sahabat Selena Gomez. Umpatannya beberapa kali terdengar, mengatai Benny jelek dan banyak tingkah.
Di ujung sofa yang lain, Kayanara duduk dengan pandangan kosong tertuju ke depan, pada layar televisi yang padam. Embusan napas beratnya berkali-kali mengudara. Membawa hawa tidak enak yang menyebar ke seluruh penjuru.
“Kacamata aneh lo hilang?” celetuk Naren. Hanya itu yang terlintas di kepalanya untuk memecahkan keheningan yang mencekam.
Kayanara tidak menjawab. Perempuan itu malah menatapnya sendu, seperti belum tuntas tangisnya diperas.
“Ck!” Naren berdecak keras. Komik ditutup dengan gerakan sewot, dibiarkan jatuh mengenai kepala Eric hingga anak itu meringis. “Kenapa sih muka lo kayak begitu? Nggak enak dilihat tahu nggak?” omelnya.
Yang kali ini pun Kayanara tidak menyahut. Seperti hilang sudah jiwa nenek sihirnya, lenyap, entah disedot oleh entitas apa.
Naren tidak senang. Dia tidak suka terlihat seperti villain yang hobi menindas pemeran utama yang hidupnya selalu didera pilu dan derita.
“Sumpah ya nenek sihir, lo nyebelin to the max.”
Sudah marah-marah begitu pun, Naren tetap tidak mendapatkan perlawanan. Tatapan Kayanara malah semakin sendu. Terlihat jelas bulir-bulir bening berkumpul di sudut matanya, siap untuk kembali tumpah.
Naren frustrasi sendiri dibuatnya. Otaknya berputar lebih cepat, mencari cara untuk membangunkan singa di dalam diri Kayanara.
Ditimbang berkali-kali, tak ada yang terasa lebih tepat daripada ide yang barusan lewat. Maka, dia segera merealisasikannya sebelum kepalanya semakin berat.
“Daripada sedih mulu, mending bikinin gue jus sana. Gue lagi pengen jus apel.” Dia memerintah, nadanya angkuh bak Baginda Raja.
“Jus apel sama apa?” tanya Kayanara. Suaranya sengau. Tak terbayang sudah sebanyak apa air mata yang dia kuras sebelumnya.
“Nggak ada, itu aja.”
Tak disangka-tak diduga, Kayanara bangkit tanpa perlu diminta dua kali. Langkahnya gontai, bahunya merosot. Tubuh langsingnya perlahan-lahan mengecil, lalu hilang sempurna—habis dimakan tangga.
“Macan lagi sedih malah lo suruh-suruh.” Eric menginterupsi.
Naren mendelik. “Udah tahu sedih bukannya lo hibur kek, apa kek, malah dibiarin aja!” kesalnya. Kepala Eric hampir digetok menggunakan ponsel. Beruntung pengendalian dirinya tiba di detik-detik terakhir.
“Macan kan sedihnya gara-gara lo luka,” gumam Eric, nyaris tak sampai ke telinga Naren.
“Bukan sedih karena gue luka.” Naren menyanggah. Tangannya terlipat di depan dada, pandangannya terlempar ke arah tangga. “Dia cuma takut diomelin sama Ayah karena lalai jagain gue.”
“Jelek banget pikiran lo.”
Kepala Naren menoleh cepat kepada Eric. “Jelek apaan, emang itu kenyataannya. Yang dia peduliin emang cuma Ayah. Mau gue ketabrak kereta juga dia mana peduli sih, kalau kejadiannya bukan pas gue lagi dititipin ke dia?”
Eric speechless. Tak menyangka Naren ternyata masih trust issue sampai sekarang. Padahal yang jahat hanya satu orang, tapi Naren jadi kesal dan tidak mau lagi percaya pada semua perempuan yang ayahnya kenalkan.
Semuanya bermula ketika usia Naren sebelas. Ayahnya mengenalkan seorang perempuan untuk pertama kali. Seseorang yang baik, bertutur kata lembut, tampak cerdas dan bijaksana. Segalanya berjalan lancar pada awalnya. Ayahnya senang, Mahen senang, Naren pun tidak terlalu menunjukkan penolakan. Sampai suatu ketika alerginya kambuh karena tidak sengaja memakan makanan olahan yang mengandung susu. Dia hampir mati waktu itu. Terpaksa rawat inap hampir seminggu.
Semua orang mengira insiden itu murni kecelakaan yang tidak disengaja. Sampai suatu hari, Naren mendengar sendiri bahwa perempuan itu memang tidak menyukai dirinya dan Mahen. Ia hanya peduli pada ayahnya.
Naren terluka, dia kecewa. Dan sejak saat itu, dia tidak lagi percaya bahwa ada seseorang yang akan bisa mengisi ruang kosong yang ditinggalkan ibunya tanpa berniat menggantikan posisinya. Dia tidak percaya ada orang yang tulus mencintai ayahnya sebagai duda beranak dua, yang bisa menerima dirinya dan Mahen, mencintai mereka setulus hatinya.
Tak berapa lama, di tengah hening dan ketegangan yang merayap, Kayanara muncul dengan segelas jus apel di tangannya. Naren menerima gelasnya, membaui permukaannya selama beberapa saat, lalu menyeruput jus tersebut sedikit.
“Nggak enak.” Yang sudah terlanjur ada di mulut tetap Naren telan, sedangkan yang tersisa di gelas dia kembalikan lagi kepada Kayanara. “Lo aja yang minum.”
Kayanara tidak menolak. Dia tidak mereog. Tidak berapi-api seperti hendak mengirim Naren ke neraka.
Lagi-lagi, reaksi itu tidak memenuhi ekspektasi Naren.
“Pegel nih kaki gue, tolong pijitin dong.”
Kayanara meletakkan gelas di meja, lalu hendak bersimpuh di kaki Naren.
Namun, Eric dengan cepat menahan lengannya. “Nggak usah diladenin, Macan. Masuk kamar aja, istirahat.”
Mereka berdua—Eric dan Kayanara—saling pandang. Tatapan Eric tegas, sementara Kayanara tampak rapuh dan penuh keragu-raguan. Tapi pada akhirnya, Kayanara tetap mengangguk kecil. Dia berbalik, berjalan gontai menuju kamarnya. Pintu ditutup pelan, dibiarkan tak terkunci.
“Nggak semua orang punya niat jelek kayak yang lo pikirin, Ren,” ujar Eric pelan, menatap Naren lekat-lekat.
“Lo tahu apa sih, Met? Udah berapa lama lo kenal sama dia, sampai belain dia segitunya?” Naren membalas dengan suara dingin.
“Gue nggak belain Macan!” sergah Eric, nada suaranya naik satu oktaf, kelepasan merilis emosi yang tertahan.
Ia terdiam sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Gue nggak mau lo rusak diri lo sendiri dengan prasangka-prasangka buruk itu. Gue nggak mau lihat lo makin menderita karena lebih milih nurutin ego dan gengsi daripada dengerin kata hati lo sendiri.”
Di tempatnya, Naren bungkam. Tatapannya beradu dengan milik Eric, berkejaran seperti kuda-kuda perang.
“Lo sibuk bangun tembok setinggi-tingginya karena takut terluka, tapi nggak sadar kalau ternyata luka itu justru datang dari diri lo sendiri.”
Hening.
Angin dari pendingin ruangan mendesis pelan, menyapu anak-anak rambut halus di dahi Naren. Komik Detective Conan masih terbuka di lantai, terbengkalai seperti perasaannya yang mendadak berantakan.
Eric bangkit. Ia menepuk-nepuk bagian belakang celananya, menatap Naren sekali lagi, lebih dalam dan lekat.
“Coba deh sesekali lihat sesuatu dari sisi yang lain, biar pikiran lo terbuka, nggak terjebak di situ-situ aja.”
Tanpa menunggu respons, Eric berbalik, melangkah lebar masuk ke kamar.
Sementara itu, Naren membeku di tempatnya. Pandangannya kosong, tertuju pada jus apel yang ditinggalkan begitu saja. Setitik embun di gelas mengalir perlahan ke bawah, jatuh membentuk noda kecil di meja kaca—seperti perasaan bersalah yang perlahan menggerayangi dadanya.
Bersambung...