"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tembakan
Motor tossa itu akhirnya berhenti, rodanya mengerem perlahan di sebuah area datar yang menjadi titik peralihan jalan. Di depan mereka, jalanan yang tadinya cukup lebar kini tampak mengecil, hanya berupa jalan setapak tanah berdebu yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor saja.
Di pinggir jalan itu, berdiri sebuah bangunan kecil seperti pos sederhana. Lima orang pria terlihat duduk santai dan bercengkrama, dengan bersandar pada motor masing-masing, sembari menunggu penumpang.
Murni dan keluarga Kaan pun turun dari tossa.
Kaan segera merogoh sakunya dan menyerahkan dua lembar uang seratus ribu kepada sang pengemudi tossa.
"Alamak, banyak amat, bang. Empat puluh ribu aja ongkosnya." Ujar pemuda itu, dengan ekspresi yang terlihat sedikit panik ketika menatap uang yang disodorkan Kaan.
"Tidak apa-apa, ambil saja." Balas Kaan.
Pemuda yang kerap di sapa Ujang itu tampak ragu. Tatapannya yang awalnya menatap lembaran merah itu tiba-tiba beralih melirik kearah Murni, seolah meminta bantuannya.
"Ndak apa bang Ujang. Ambil saja." Ujar Murni sambil tersenyum lembut.
"Yeah, saya ikhlas. Terima kasih sudah mengantar kami." Sambung Kaan, menekankan ketulusannya.
Ujang masih berdiri canggung beberapa detik, seolah bertarung dengan rasa tidak enaknya, sebelum akhirnya mengulurkan tangan dan menerima uang itu.
"Makasih banyak-banyak, Bang... Murni... Bu," ucapnya penuh hormat, sembari menyunggingkan senyum malu-malu.
"Sama-sama. Hati-hati di jalan, Bang," balas Murni.
"Iya, makasih. Kalau begitu, saya balik dulu. Assalamualaikum." Pamit Ujang sebelum pada akhirnya memutar tossa nya dan berbaik kembali ke kampung.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." sambut Murni, Kaan, dan Leyla serempak.
Tak lama setelah Ujang pergi, Jonathan kembali selepas berbicara dengan para tukang ojek.
"Ayo, kita berangkat." Ajaknya, memberi isyarat.
Mereka pun segera bergerak. Masing-masing menaiki motor ojek yang telah disiapkan dan melanjutkan perjalanan melewati jalan kecil berliku.
Murni duduk di boncengan motor, sembari memeluk erat tas kecil di pangkuannya. Angin berembus membawa aroma tanah kering dan wangi dedaunan dari semak belukar di kanan kiri jalan.
Sesekali ia memalingkan wajahnya ke belakang, sembari memandangi kampungnya yang perlahan menghilang di balik lekukan jalan.
Matanya bergerak ke sekeliling menatap jalanan yang belum pernah ia lewati. Biasanya, hidupnya hanya berkutat di sekitar kampung kecil itu, seperti ladang, sungai kecil, ataupun pasar mingguan.
Kini, semua itu menjauh, berganti dengan jalan setapak yang terus melilit dan membelah hutan kecil. Ada rasa asing dan gugup yang menyeruak, tapi juga ada sedikit rasa penasaran yang perlahan tumbuh di dadanya.
.
.
.
Setengah jam telah berlalu. Sampai akhirnya, motor-motor mereka keluar dari jalan sempit dan memasuki jalanan berbatu yang lebih besar.
Dari kejauhan Murni bisa sudah bisa melihat sebuah mobil hitam yang besar terparkir di samping sebuah kedai sederhana yang berdiri di tengah-tengah hutan lebat itu.
Perlahan, motor para tukang ojek yang membawa mereka pun berhenti. Murni dan keluarga barunya pun segera turun. Dan saat itu juga, Kaan langsung mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku celananya, sebuah remote keyless dan menekannya.
Bip!
Lampu mobil itu berkedip singkat, menandakan bahwa kunci mobil telah dibuka.
Murni yang menatap itu tampak takjub. Selama ini ia hanya pernah melihat mobil dari kejauhan, itupun biasanya milik orang kaya di kampung saja. Ia tidak pernah membayangkan akan menaiki satu, apalagi milik suaminya sendiri.
Kaan mendekati mobil itu, lalu membuka pintu penumpang dengan tenang.
Sementara itu, para tukang ojek yang mengantar mereka tadi sempat mengobrol sebentar, memastikan semuanya baik-baik saja, sebelum akhirnya mereka berbalik arah, kembali ke pangkalan mereka di ujung kampung.
Murni, Leyla, dan Jonathan berdiri di dekat mobil, menunggu Kaan selesai mengecek keadaan mobilnya, menyetel kursi dan memasukkan barang-barang bawaan mereka ke dalam bagasi.
Murni memandang sekeliling. Di depan sana hanya ada sebuah kedai kecil dengan papan bertuliskan 'Tutup', tampak sepi dan usang.
Selain itu, hanya hamparan hutan lebat yang luas mengurung tempat ini, membuat udara terasa berat, seolah ada mata-mata tak kasat mata yang mengintai dari balik pepohonan.
Seketika, suara Kaan memanggil, memecah lamunan.
"Ayo masuk." Katanya sambil melambaikan tangan.
Murni, Leyla, dan Jonathan pun bergerak mendekati pintu mobil. Namun baru beberapa langkah mereka bergerak-
DOR!
"Ahhh!"
Murni menjerit, dengan spontan ia berjongkok dan menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Begitupun dengan Leyla dan Jonathan yang dengan cepat ikut menjatuhkan diri ke tanah, dan melindungi tubuh mereka dari suara tembakan yang terdengar jauh tapi masih bisa didengarkan dengan jelas.
Suara keras itu bergema nyaring serta menggetarkan tanah di bawah kaki mereka.
Dengan sigap, Leyla langsung bangkit, matanya menatap tajam menyisir barisan pepohonan yang mengelilingi mereka. Ada kecemasan yang melintas di wajahnya, tapi juga ketenangan yang berusaha ia jaga.
DOR!
"Astagfirullah!"
Sekali lagi suara keras itu menggelegar, membuat Murni menjerit ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat.
"Murni, ayo bangun! Cepat masuk ke dalam!" Seru Leyla, dengan suara yang terdengar mendesak.
Tangannya dengan sigap meraih dan melindungi tubuh Murni.
Namun Murni merasa tubuhnya seperti membeku, ia merasa kesulitan menggerakkan lututnya yang terasa lemas seketika. Bersamaan dengan berbagai pikiran buruk yang melintas di benaknya.
Sementara Jonathan yang sudah berhasil berdiri, menoleh ke arah mereka.
"Masuk! Cepat masuk ke mobil!" Suara Jonathan yang keras, membawa perintah yang tidak bisa dibantah.
Sementara Kaan yang sudah masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin ikut berteriak,
"Cepat masuk!"
Dengan lutut gemetar, Murni berusaha berdiri.
Dibantu dengan Leyla yang menopang tubuhnya, dan menyeretnya masuk ke dalam mobil.
Ketika melihat istrinya dan menantunya sudah masuk ke dalam, Jonathan pun segera ikut menyusul masuk.
DOR! DOR!
Dua letusan lagi terdengar lebih dekat, dan memekakkan telinga.
PRANG!
Sebuah peluru sempat menghantam sisi pintu mobil, tepat di belakang Jonathan saat ia melompat masuk. Benturan itu membuat body mobil tampak sedikit penyok, di susul dengan suara dentuman logam yang terdengar keras di dalam kabin mobil.
Murni terperanjat, dan menjerit kecil ketika suara-suara tembakan itu semakin nyaring, seolah pelaku penembak semakin mendekat. Tangannya otomatis mencari pegangan, berusaha menemukan rasa aman di tengah kekacauan.
Dengan sigap, Kaan segera melajukan mobilnya dengan cepat, meninggalkan suara tembakan yang perlahan menjauh.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣