Menikah?
Setelah mengajaknya berpacaran secara tiba-tiba, kini Tama mengajak Embun menikah.
"Pak Tama ngomong apa sih? nggak usah aneh-aneh deh Pak," ujar Embun.
"Aku serius, Embun. Ayo kita menikah!"
Sebenarnya tidak seharusnya Embun heran dengan ajakan menikah yang Tama layangkan. Terlepas dari status Dosen dan Mahasiswi yang ada diantara mereka, tapi tetap saja saat ini mereka berpacaran. Jadi, apa yang salah dengan menikah?
Apakah Embun akan menerima ajakan menikah Tama? entahlah, karena sejujurnya saat ini Embun belum siap untuk menikah.
Ditambah ada mantan kekasih Tama yang belum move on.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Tega
Begitu rapat selesai, Tama langsung kembali ke ruangan kerjanya. Dan begitu sendiri, pikirannya langsung tertuju pada Embun. Padahal sejak tadi dia benar-benar fokus dengan pekerjaannya.
"Nah kan, jadi mikirin Embun lagi. Emang ya itu anak ngangenin banget," gumam Tama seraya mengulum senyum.
Memikirkan Embun memang selalu berhasil membuat senyum langsung tersungging dibibir Tama. Padahal Tama sendiri bukan tipe orang yang selalu tersenyum saat memikirkan pasangannya. Tapi bersama Embun rasanya benar-benar berbeda.
"Kayanya gue udah kecintaan banget deh sama Embun," gumamnya lagi.
Katakanlah Tama sekarang sudah bucin kepada Embun, dan dia tidak akan menyangkalnya. Justru Tama dengan tegas akan mengakui kalau dia memang bucin kepada Embun.
"Enggak ada yang salah kan kalau bucin sama pasangan sendiri? kan sekarang Embun udah jadi pasangan gue. Kecuali Embun pasangan orang lain, baru deh itu artinya gue udah gila karena bucin sama pasangan orang."
Senyum cerah masih tersungging dibibir Tama.
Tama melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Saat ini jam baru menunjukkan pukul setengah 10.
Tama menghela nafas.
"Ini mah Embun baru masuk kelas setengah jam. Udah pasti sekarang enggak bisa ditelfon," gumamnya.
Padahal kalau saja saat ini Embun sedang istirahat, niatnya Tama ingin menelfon Embun untuk mengobati rasa kangennya. Tapi karena saat ini tidak bisa, jadi ya sudahlah lebih baik dia kembali fokus dengan kerjaannya. Toh memang masih banyak pekerjaan yang hari ini harus dia selesaikan.
Sementara itu, saat ini kelas Embun dan Amara baru selesai. Saat ini mereka sedang ada di kantin kampus untuk makan siang.
"Kamu bawa bekal? kok aku enggak dibawain si?" tanya Amara kepada Embun.
Embun terdiam, jujur dia benar-benar lupa.
"Maaf, aku lupa banget, Ra," jawab Embun, "ya udah, kalau kamu mau ini bekalnya buat kamu aja deh," tambahnya lagi.
Mendengar ucapan Embun, senyum cerah langsung tersungging dibibir Amara.
"Beneran?" tanyanya.
Embun menganggukkan kepala.
"Iya dong, masa bohongan. Aku mana pernah bohong," jawab Embun.
Amara mengambil kotak bekal milik Embun. Kemudian menggeser nasi goreng ayam miliknya kepada Embun.
"Kalau gitu, kamu makan punya aku ya," ujarnya.
Embun tertawa kecil.
"Iya lah, aku makan punya kamu. Kalau enggak, aku kelaperan nanti," jawab Embun.
Embun sendiri tidak masalah makan makanan miliknya atau milik Amara. Terlebih tadi pagi juga Embun sudah sarapan menu yang sama dengan bekal yang dia bawa. Justru dengan Amara mengganti bekalnya dengan makanan miliknya, Embun malah senang.
Sementara Amara, dia itu suka sekali makan masakan Embun. Dibandingkan harus jajan di luar, Amara akan lebih memilih makan masakan Embun jikalau sahabatnya itu sudah masak. Pokoknya masakan Embun adalah makanan yang tidak mungkin bisa Amara tolak.
\-*Kalau Embun nikah sama Bang Tama, Bang Tama enak banget dong bisa makan masakan Embun setiap hari*.-
Iri? jujur ada rasa agak sedikit iri kalau memikirkan hal itu. Tapi Amara bahagia kalau seandainya Tama benar-benar menikah dengan Embun. Justru sebenarnya ini juga keuntungan untuk Amara. Karena kalau mereka menikah, dia mungkin akan semakin sering merasakan masakan Embun. Bukankah begitu?
"Heemm, enak bangettt," gumam Amara setelah menyuapkan masakan Embun kedalam mulutnya.
"Padahal cuma tumis labu Siam sama ayam goreng doang, Ra," ujar Embun.
"Tapi tetep aja enak, pokoknya apapun makanan yang kamu masak pasti selalu enak," jawab Amara.
Embun tersenyum tipis mendengar itu.
"Makasih loh," ujar Embun.
Embun dan Amara kembali makan, tiba-tiba terdengar suara denting ponsel. Refleks keduanya menoleh kearah sumber suara.
Bang Tama
"Cie Bang Tama," goda Amara.
Dari notifikasinya, Embun dan Amara bisa melihat nama Tama sebagai si pengirim pesan.
Dengan malu-malu Embun mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Tama.
***from: Bang Tama***
*Lagi apa, Mbun? kelas pertama udah selesai kan*?
Membaca pesan itu, tanpa sadar Embun tersenyum tipis. Hal itu tentu saja tidak luput dari pengamatan Amara.
***to: Bang Tama***
*Udah Bang, ini aku sama Amara lagi makan di kantin*.
*Abang sendiri lagi apa*?
Sembari menyuapkan makanan kedalam mulutnya, Embun menunggu pesan balasan dari Tama.
***from: Bang Tama***
*Aku lagi kerja aja sih.*
*Kamu makan sama apa*?
***to: Bang Tama***
*Aku makan sama nasi goreng ayam punya Amara. Soalnya bekal aku dimakan sama Amara*.
Dan tau apa? membaca pesan itu membuat Tama merasa iri. Seperti Amara, dia juga suka sekali dengan masakan Embun. Dan sekarang Amara lah yang beruntung bisa makan masakan Embun.
***from: Bang Tama***
*Aku juga pengen makan masakan kamu*:)
Lagi-lagi Embun tersenyum.
***to: Bang Tama***
*Datang aja ke rumah kalau pengen makan masakan aku. Tapi jangan sendiri ya, ajak Amara juga :D*
Biar bagaimanapun Embun tidak ingin ada omongan buruk tentang dirinya. Ya walaupun sejauh ini aman, tapi tetap saja dia harus menghindari kemungkinan itu terjadi kan?
***from: Bang Tama***
*Beneran ya? nanti malam aku ke rumah kamu*.
Ke rumah? heii, itu sudah pasti tidak mungkin. Karena dari sore hingga malam, Embun harus bekerja di cafe.
***to: Bang Tama***
*Kalau malam ini jangan, Bang. Aku baru pulang kerja jam 11*.
Setelah pesan terkirim dan terbaca, tidak ada pesan balasan apapun dari Tama. Dan itu membuat Embun jadi bertanya-tanya.
\-*Kenapa enggak bales lagi ya? apa aku ada salah ngomong*?-
Embun jadi bertanya-tanya dalam hati. Beberapa kali dia tampak menghela nafa.
"Kenapa Mbun?" tanya Amara kepada Embun.
Lagi-lagi Amara langsung menyadari perubahan ekspresi Embun.
Embun tersenyum tipis.
"Enggak kenapa-napa, Ra. Emangnya kenapa?" ujar Embun balik bertanya.
Amara menggelengkan kepala.
"Enggak papa kok," jawabnya.
Amara tidak ingin memaksa Embun untuk memberitahu dirinya kalau memang dia belum ingin memberitahu.
Sementara itu...
\-*Mungkin Bang Tama tiba-tiba sibuk sama kerjaannya kali ya*.-
Tadi Tama bilang kalau dia sedang bekerja kan?
Baiklah, Embun anggap Tama memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Disisi lain, Tama langsung kehilangan moodnya saat membaca pesan balasan dari Embun yang mengatakan kalau nanti dia harus bekerja.
"Gue baru inget kalau selama ini Embun emang kerja," gumamnya.
Jujur ada rasa tidak suka saat mengingat fakta kalau Embun harus bekerja. Bukan apa-apa, itu karena Tama merasa dia sangat sanggup sekali kalau harus menghidupi Embun.
"Kalau gue minta supaya dia enggak kerja lagi. Kira-kira dia mau enggak ya?" gumam Tama.
Jujur saja, Tama tidak tega kalau Embun harus bekerja. Kuliah saja sudah sangat melelahkan, tapi setelah selesai kuliah Embun masih harus bekerja.