NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: Tidak ada pilihan

Matahari mulai meredup di ufuk barat, menandakan bahwa hari telah menjelang senja. Suara riuh para mahasiswa yang berlalu-lalang perlahan memudar, meninggalkan keheningan di lorong-lorong kampus. Semua orang tampak terburu-buru pulang, ingin segera melepas lelah setelah menjalani hari yang panjang.

Namun, di sebuah kelas yang kini hampir kosong, seorang gadis masih duduk terpaku di bangkunya. Raya, gadis berusia 23 tahun itu, tampak diam mematung. Tangannya menggenggam erat ujung meja, sementara tatapan matanya tertuju ke lantai tanpa fokus. Pikirannya kalut, tubuhnya terasa kaku.

Pikiran tentang pertemuan dengan kakak tingkatnya terus menghantui. Haruskah dia pergi ke belakang kampus dan menghadapi mereka? Atau melawan dengan meninggalkan kampus dan berharap ancaman mereka hanyalah gertakan belaka? Pilihan itu berputar-putar di benaknya, membuat dadanya terasa semakin sesak.

“Hei, kenapa diam saja? Lo nggak pulang?” Suara tiba-tiba memecah keheningan. Raya tersentak. Seorang wanita teman sekelasnya yang jarang berbicara dengannya berdiri di depan meja, menatapnya dengan ekspresi heran.

“Aku... masih ada yang harus aku lakukan,” jawab Raya pelan. Suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah dia takut kata-katanya akan membuat suasana makin buruk.

“Ouwh... ya udah, gue duluan, ya!” sahut wanita itu dengan nada ceria yang terasa palsu. Dia melambaikan tangan dan bergegas keluar dari ruangan.

Raya hanya diam, menatap punggung wanita itu yang menjauh. Sejenak dia bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba semua orang bersikap lebih ramah padanya? Tapi dia tahu jawabannya. Semua ini pasti karena uang, karena kuasa. Uang selalu bisa mengubah orang bahkan yang paling keras hati sekalipun.

Setelah ruangan benar-benar sunyi, Raya kembali terjebak dalam pikirannya. Duduk sendirian, dia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mengusir rasa dingin yang entah berasal dari udara atau hatinya.

“Kenapa aku harus mengalami ini?, Apa salahku?” bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca.

Dia menunduk, meremas-remas jemari tangannya yang dingin. Perutnya terasa mual, namun bukan karena lapar. Ini adalah perasaan takut, campuran rasa cemas dan putus asa yang perlahan menggerogoti keberaniannya. Lima belas menit berlalu. Keheningan di ruangan semakin menekan. Raya akhirnya bangkit dari kursinya. Dengan langkah berat, dia menatap pantulan dirinya di jendela.

“Baiklah, ayo, Raya... Kau sudah biasa diperlakukan seperti ini. Ini bukan hal baru, selama kehormatanmu tetap baik-baik saja, semuanya akan aman. Kau pasti bisa melewati ini," katanya, mencoba menguatkan dirinya.

Dia menghela napas panjang, memeluk erat tasnya, lalu melangkah keluar dari kelas. Setiap langkah terasa seperti membawa beban berat, namun dia tahu, berhenti atau berbalik bukanlah pilihan.

Udara di luar terasa dingin, angin sore menerpa wajahnya yang penuh luka. Raya menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai menggenang. Dia tidak ingin terlihat lemah, bahkan di saat seperti ini. Bagaimanapun, dia harus bertahan.

"Ini hanya awal, aku harus kuat." Pikir nya . Dengan hati yang bergetar, Raya melangkah menuju belakang kampus, tempat di mana para kakak tingkat itu menunggunya. Setiap langkahnya seperti menuju ke jurang yang tak berujung, tetapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Ini satu-satunya pilihan yang dia miliki.

.........

Raya keluar dari kelasnya dan berjalan menuju halaman belakang kampus. Rasa ragu mengiringi setiap langkahnya. Ada keinginan besar untuk berteriak, meminta tolong pada semua orang, namun ia cukup sadar diri. Dirinya tidak seberharga wanita lain. Kehadirannya tak lebih dari beban yang tak pernah diinginkan oleh siapapun. Itulah kalimat yang selalu muncul ketika ia merasa butuh bantuan orang lain. Kalimat yang terus mengingatkannya bahwa ia harus bisa bertahan sendiri, tanpa mengandalkan siapapun.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di halaman belakang kampus yang Raya tuju. Langkahnya terhenti begitu mendengar percakapan para kakak tingkatnya.

"Dia nggak akan pernah datang, Ar... Gue bilang juga apa, dia nggak akan tepati janjinya!" Arif berbicara dengan nada kesal, matanya menatap tajam ke arah Arka.

"Gue kan udah bilang, jangan percaya sama manusia manapun di dunia ini. Sekarang, pasti wanita sialan itu lagi ngadu ke kantor polisi," ujar Anna, kesal, menyuarakan kekesalannya dengan keras.

"Akh... Arka sih, susah kalau udah kasih tau, selalu seenaknya aja!" timpal Citra dengan nada tak kalah kesal.

"Udah, cukup!" Arka angkat bicara, suaranya lebih tenang, berusaha menenangkan teman-temannya yang masih emosi "Bisa nggak kalian sabar dan diam dulu? Mungkin dia masih ada urusan di kelasnya. Gue yakin dia nggak akan bisa ngelak dari kita. Kalau dia nekat ngelakuin apa yang kalian bilang barusan, kita cari dia kemanapun dan beri pelajaran yang berharga buat dia." Ujar Arka yang merasa geram, karena keputusan nya seolah di pertanyakan oleh teman - teman nya itu .

"Eh, kelas apa sih sore-sore gini? Semua orang udah pulang ke rumah masing-masing kali," jawab Anna, masih kesal, meremehkan ucapan Arka.

"Yaudah, kita lihat aja. Jangan sampai lo ngambil keputusan sepihak lagi kayak tadi pagi," ujar Arif, berusaha menunjukkan rasa percaya pada Arka, meskipun keraguan masih terbersit.

Raya yang berdiri di tempat, sedikit menghela napas lega. Keputusan yang ia ambil ternyata benar. Andai saja ia memilih pergi tadi, mungkin hal yang lebih buruk akan terjadi. Dengan sedikit keberanian, Raya memberanikan diri untuk mendekati sekumpulan kakak tingkatnya itu.

"Maaf, aku terlambat," Ujar Raya sedikit ragu - ragu.

Ucapan Raya berhasil membuat semua orang menoleh ke arahnya. Arka, yang sedari tadi terdiam, akhirnya menghela napas panjang, terlihat lega dan sedikit senang dengan kehadiran Raya.

"Lo dari mana aja sih, hah?!" bentak seorang wanita dari kelompok itu, nada suaranya penuh amarah. Raut wajahnya mencerminkan kekesalan yang sudah memuncak sejak tadi.

"Maaf, Kak. Tadi ada pelajaran yang belum selesai aku kerjakan," ujar Raya, mencoba menjelaskan dengan suara yang pelan, meskipun hatinya berdebar takut.

"Hahhhhhh.... Sudah lah, dasar wanita sialan," ujar Citra, yang sudah dibuat kesal sejak tadi. Ucapan itu keluar dengan nada tinggi, penuh kebencian. Setelah Arka merasa bahwa teman-temannya itu puas mencaci Raya, akhirnya dia angkat bicara untuk meredakan ketegangan.

"Baiklah, cukup! Sekarang giliran gue yang ngomong," ujar Arka, suaranya tegas dan berhasil membuat teman-temannya diam seketika. Semua mata kini tertuju padanya.

"Dan Lo..." Arka menunjuk ke arah Raya, "Perkenalkan dulu nama Lo sama kita," katanya dengan nada yang lebih tenang, meskipun aura kekuasaannya tetap terasa.

"Aku Raya," jawab Raya dengan suara pelan, menghindari kontak mata dengan siapa pun.

"Oke... Gue Arka, dia Anna," ujar Arka sambil menunjuk ke arah wanita yang duduk di sampingnya, "Dia Arif," tambahnya dengan menunjuk pada teman pria satu-satunya di sana, "Dan yang itu Citra," lanjutnya, menunjuk ke arah wanita yang duduk dekat Arif. Raya hanya mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh Arka.

"Lo disini akan jadi pesuruh kami semua. Apapun yang kami katakan, harus Lo lakuin tanpa bantahan apapun. Gue dan mereka nggak akan terima apapun kesalahan yang Lo lakukan. Satu kesalahan, satu hukuman. Itu yang akan selalu terjadi..." ujar Arka menjelaskan dengan jelas dan tegas, menegaskan kekuasaannya atas keputusan ini.

"Oh ya, Lo juga harus hormat sama kita," ujar Anna menambahkan ucapan Arka, suaranya terdengar dingin dan penuh peringatan.

"Anggap aja ini semua sebagai balasan dari kebaikan kami yang udah bebasin Lo. Jadilah orang yang tahu cara membalas budi. Jangan jadi kacang yang lupa akan kulitnya," ujar Citra dengan nada sinis, ikut menimpali.

Raya yang mendengar hal itu langsung mengangguk lantas berkata, "Kak, sampai kapan aku harus melakukannya?"

"Tiada batas waktu. Semua itu sampai kami bosan liat muka Lo," ujar Arif dengan nada datar, seolah tidak peduli dengan perasaan Raya.

"Gue udah bosen duluan," ujar Citra kepada Arif dengan nada penuh kebosanan. Anna yang mendengar hal itu hanya bisa terkekeh geli.

"Udah lah diem, ayo pulang. Ini udah hampir sore," ujar Arka, mencoba untuk mengajak semua teman-temannya untuk segera kembali ke rumah masing-masing.

"Kita udah lama nggak party, semenjak keluarga gue balik ke Indonesia, gue nggak bisa sebebas sebelumnya. Gue mau minum-minum lagi," ujar Citra dengan semangat, tampaknya sudah melupakan situasi tegang tadi.

"Heiii... Lo ini mau sebebas apa lagi? Lo ini masih belum terlalu dewasa, Citra. Kebebasan kayak apa lagi yang Lo mau?" ujar Anna, dengan nada serius, mencoba menegur Citra.

"Hahaha, iya juga ya. Oh ya, Citra, Lo pernah 'Ninu-ninu' sama pacar Lo itu?" tanya Arif dengan nada santainya, tampak penasaran.

"Gue nggak inget, tapi kayaknya belum deh," ujar Citra dengan santainya, tidak merasa malu sedikitpun. Semua orang yang ada di sana ikut tertawa kecuali Arka dan Raya. Anna kembali berkata, seolah bangga dengan dirinya sendiri.

"Itu artinya Lo belum dewasa, Citra. Gue aja pernah," ujar Anna, dengan percaya diri, seolah-olah apa yang dia katakan adalah hal yang wajar dan biasa.

"Hah serius?" tanya Citra, seolah terkejut dengan penuturan Anna. Anna dan Arif hanya mengangguk mengiyakan, tampak bangga dengan apa yang telah mereka lakukan.

"Udahlah, gue pulang duluan," ujar Arka yang sudah mulai bosan dengan percakapan teman-temannya itu. Wajahnya terlihat jenuh.

"Tunggu Ar... Tapi Lo bakal datang kan? Terus cewek itu gimana?" tanya Anna, masih penasaran. Arka kembali menghentikan langkahnya, lantas berkata, tanpa menoleh sedikit pun ke arah ketiga sahabatnya itu.

"Dia punya mata, kaki, apalagi yang kalian pikirin? Biarkan aja," ujar Arka dengan nada datar. Setelah mengatakan itu, dia kembali melanjutkan langkahnya. Arif hanya mengangguk saja, semua orang di sana sudah paham dengan sifat Arka yang memang terkenal tegas dan tidak suka berbasa-basi.

"Udahlah, ayo pulang. Dia pasti datang. Tenang aja," ujar Arif, mencoba menenangkan teman-temannya. Ketiga orang itu berlalu pergi meninggalkan Raya yang masih tertunduk diam di sana. Setelah semuanya pergi, Raya baru bisa menghela nafas lega. Lantas, dia berkata pada dirinya sendiri.

"Akhirnya semuanya selesai. Tunggu, ini bukan selesai, Raya, tapi ini adalah awal dari penderitaanmu. Lihat saja apa yang akan mereka lakukan selanjutnya," ujar Raya pada dirinya sendiri, menghela nafas panjang, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ini belum berakhir.

Raya pun ikut meninggalkan halaman belakang kampus itu, untuk segera kembali ke rumahnya. Dia biasa membantu sang ayah untuk melakukan pekerjaannya.

"Neng Raya..." sapa satpam kampus yang memang selalu menyapa Raya setiap kali mereka bertemu.

"Iya, Mang," ujar Raya sembari menghentikan langkahnya, memberi perhatian pada satpam yang sudah cukup mengenalnya.

"Neng baru pulang? Ini sudah jauh dari waktu pulang mahasiswa lain," ujar satpam tersebut, dengan nada yang seolah bertanya-tanya.

"Raya ada urusan tadi, Mang, jadi Raya selesain dulu," ujar Raya sembari tersenyum, berusaha terlihat santai meski dalam hati masih terasa cemas.

"Owalah... Pantas saja kalau begitu. Oh iya, Neng, tadi Mamang dapat titipan dari anak pemilik sekolah ini, Neng," ujar satpam tersebut. Raya mengernyitkan keningnya bingung, lalu berkata.

"Iya... lalu apa hubungannya dengan aku, Mang?" Raya tahu jika anak pemilik universitas itu hanyalah Arka, oleh sebab itu dia merasa cuek saja. Tidak ingin terlibat dengan pria itu lebih jauh lagi.

"Dia menitipkan kotak ini, katanya ini untuk Eneng," ujar satpam tersebut, sembari menyodorkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang pada Raya.

"Ah, gitu. Tapi maaf sebelumnya, aku tidak bisa menerimanya. Itu bukan milikku. Dan aku juga tidak mengenal dia," ujar Raya, pura-pura tidak mengerti dengan ucapan satpam tersebut. Dia tidak ingin menerima apapun lagi dari pria seperti Arka yang jelas-jelas sudah menyakiti hati Raya, bersama para sahabatnya itu.

Menurut Raya, cukup baju saja yang dia terima, karena memang dia membutuhkan waktu itu untuk mengganti bajunya yang kotor akibat ulah mereka.

"Masa nggak kenal, Neng? Itu loh yang namanya Arka, dia terkenal sekali di sini. Masa Neng nggak kenal sama sekali?" ujar satpam tersebut, tampak terkejut.

"Aku nggak kenal, Mang, maaf. Tolong kembalikan saja pada orang yang Mamang maksudkan. Lagi pula, Raya sedang tidak membutuhkan hadiah atau apapun dari siapapun," ujar Raya sambil meletakkan kembali kotak yang tadi diberikan oleh satpam itu ke atas meja.

"Tapi, Neng..." Raya kembali memotong ucapan satpam tersebut.

"Maaf, Mang, Raya permisi dulu," ujar Raya sembari berlalu pergi, tanpa menghiraukan ucapan satpam tersebut lagi.

"Ya ampun, Neng..." ujar satpam tersebut, merasa tidak habis pikir dengan tingkah Raya yang menurutnya terlalu polos. Di saat semua orang sedang jungkir balik mencari perhatian dari Arka, justru Raya malah dengan sengaja menolak pemberian dari Arka.

Tanpa Raya ketahui, Arka memperhatikan interaksi tersebut dari balik layar ponsel, yang langsung terhubung dengan CCTV yang terpasang di pos satpam itu.

"Oh... Gak kenal sama gue ternyata? Oke, Raya, akan gue buat Lo kenal sama gue," ujar Arka dengan senyum dingin yang menakutkan, seolah merencanakan sesuatu yang tidak baik.

Tanpa Raya sadari, pria itu terus memperhatikan setiap langkahnya, dari balik ponsel yang terhubung pada CCTV di pos satpam tersebut.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!