Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengungkap Sosok Para Pembunuh
Layaknya seorang lelaki sejati, Dewa sengaja datang ke kontrakan petak keluarga Pak Rohman pada malam hari. Belum begitu larut, sekitar sehabis magrib sebelum isya ia datang ke sana. Kedatangannya tentu saja disambut baik oleh Bu Lela yang pertama kali membukakan pintu.
"Bu," sapa Dewa disertai seulas senyum canggung di bibirnya.
"Lu ... elu, kan, bocah yang bantuin Mina di kantor polisi, ya?" tanya Bu Lela sembari mengingat-ingat sosok Dewa.
"Iya, Bu," jawab Dewa menyengir.
Mendengar suara yang dikenalnya, Pak Rohman yang sedang duduk-duduk sambil menyantap camilan, berdiri dan melangkah menuju tempat istrinya menyambut tamu. Ia menyingkirkan Bu Lela, sambil celingukan di ambang pintu.
"Lu temennya Mina, ya? Yang pernah Babe pijitin waktu pulang dari rumah Bang Jupri?" tanya Pak Rohman tak mau ketinggalan.
"Hehe ... Iya, Beh. Babe masih inget, ya," jawab Dewa terkekeh-kekeh.
"Iya dong. Sini masuk dulu, Tong! Ikut makan keripik singkong sama Babe," ajak Pak Rohman.
"Lain kali aja, Be. Saya ada perlu dulu sama Mina. Mina-nya ada?"
"Ada, ada." Pak Rohman mengangguk, lalu menoleh pada Bu Lela yang masih berdiri di dekatnya, "Panggilin si Mina, gih! Suruh dia ke sini!"
Dengan suara cemprengnya, Bu Lela memanggil Karmina. Anak gadisnya itu bergegas melepas mukena tatkala sang ibu memanggil berkali-kali.
Sementara itu, Pak Rohman melangkah ke teras kontrakan, mengobrol sebentar dengan Dewa. Pria itu menyampaikan rasa prihatin atas nasib Dewa yang kini hidup sebatang kara tanpa kehadiran orang tua. Kendati demikian, ia tak lupa untuk menasihati anak muda itu agar tetap menjaga batasan dalam pergaulan.
Beberapa menit kemudian, Karmina datang menghampiri Dewa dan ayahnya. Dalam saku celananya, ia menyimpan botol racun, sesuai perjanjian dengan Dewa tadi siang.
"Yuk, pergi sekarang!" ajak Karmina menatap Dewa.
"Kalian mau pada pergi ke mana?" tanya Pak Rohman celingukan.
"Mau beli buku paket dulu, Beh," jawab Karmina.
"Beli buku paket ke mana? Jangan lama-lama!" Bu Lela tiba-tiba datang menyela obrolan.
"Iya, Nyak. Bentaran doang kok," ucap Karmina, lalu mencium tangan Bu Lela dan Pak Rohman.
"Kami pergi dulu, ya, Bu, Beh," pamit Dewa, beranjak dari teras kontrakan Pak Rohman.
"Inget, Tong! Lu jaga si Mina baik-baik, ya. Jangan ngelakuin yang aneh-aneh! Kalau sampe si Mina pulang-pulang bunting, lu bakal Babe damprat! Paham lu?" kata Pak Rohman memperingatkan.
"Iya, Be. Tenang aja. Kami nggak bakal ngapa-ngapain, kok," sahut Dewa menepuk pundak Pak Rohman.
"Lagian, si Babe ada-ada aja ih. Mina cuma pergi beli buku paket doang, bukan mau bikin anak," tegas Karmina.
"Awas aja kalau lu kagak bisa jaga diri!" ancam Bu Lela menunjuk Karmina.
"Nyak sama Babe ini pada kenapa, sih? Belum juga berangkat udah pada suuzon duluan. Sebenernya kalian tuh ngizinin Mina pergi sama Dewa nggak, sih?" gerutu Karmina sambil memberengut.
"Nyak sama Babe ngizinin, kok. Cuma, kalian harus inget batasan! Kagak boleh pegang-pegangan tangan!" jelas Pak Rohman.
"Iya, iya. Mina sama Dewa ngerti kok. Mina pergi dulu. Assalamualaikum," pamit Karmina, lalu berbalik badan meninggalkan kedua orang tuanya.
"Wa alaikum salam," sahut Pak Rohman dan Bu Lela.
Selepas Karmina pergi bersama Dewa, Pak Rohman masuk ke kontrakannya. Adapun Bu Lela, termenung sambil menatap sang suami yang tuna netra. Kepergian Karmina bersama seorang lelaki, menyadarkannya bahwa si sulung bukanlah anak kecil lagi.
"Bang, si Mina udah dijemput aja sama cowok. Entar kalau abis lulus sekolah ada yang narik dia kawin, kita kawinin aja, ye," ucap Bu Lela memandang Pak Rohman dengan lesu.
"Itu mah balik lagi sama si Mina. Tuh anak mau apa kagak dikawinin cepet-cepet," sanggah Pak Rohman.
"Masalahnya, kita sanggup nggak nanggung biaya hidup si Mina sampe nikah? Kalau si Mina kawin sama laki yang mapan dan kaya, seenggaknya hati aye tenang, Bang."
"Jadi, bener, lu mau kawinin si Mina sama duda kaya?"
"Iya, Bang. Haji Jamal lagi nyari istri baru tuh."
"Buset! Apa gua kagak salah denger? Lu mau ngawinin anak kita yang perawan sama aki-aki bangkotan, La?!"
"I-Iya ... kan enak buat Mina. Dia tinggal nungguin Haji Jamal meninggal aja, terus dapet banyak warisan dari tuh aki-aki."
"Argh! Kagak, kagak! Daripada dikawinin sama aki-aki, gua lebih setuju ngawinin Mina sama si Dewa. Gua suka punya mantu yang muda, gagah, dan kekar. Bukan aki-aki reyot yang umurnya lebih tua dari gua," bantah Pak Rohman, lalu meraba-raba toples dan mengambil segenggam keripik singkong.
"Hidup ini harus realistis, Bang! Rumah tangga nggak bakal jalan kalau kagak ada duit! Lagian, tuh bocah belum tentu masa depannya bagus dan kaya raya. Mau makan apa si Mina entar?"
Pak Rohman melahap keripik singkong seraya berkata, "Seenggaknya si Dewa masih kuat kerja keras buat biayain hidupnya sama anak kita. Gua lebih percaya, tuh bocah bisa ngelindungin si Mina daripada Haji Jamal."
Sementara itu, dengan menggunakan motor matic-nya Dewa membelah jalanan kota sambil membonceng Karmina. Gadis bertubuh mungil itu terpaksa harus berpegangan erat ke pinggang sang ketos, mengingat laju kendaraannya begitu kencang. Angin malam menerpa keduanya, sehingga membuat Karmina menggigil.
"Lo bisa pelanin motornya nggak, sih?" tuntut Karmina.
Dewa perlahan menurunkan kecepatan sepeda motor tatkala memasuki gang menuju rumahnya. Karmina mengerutkan dahi, sambil melihat kanan-kiri. Ditepuknya pundak Dewa, sampai lelaki itu menyahut.
"Apa?"
"Kok lo ngajakin gue ke rumah lo?"
"Nggak usah banyak tanya."
Setibanya di depan halaman rumah Dewa, keduanya turun dari motor. Karmina masih tak mengerti dengan tujuan Dewa membawanya ke sana. Alih-alih bertanya, gadis itu mengikuti sang ketos masuk ke rumah.
Dewa membuka pintu kamarnya seraya berujar, "Ayo, masuk!"
"Mau ngapain lo ngajakin gue masuk ke kamar?" Karmina memandang waspada.
"Katanya lo mau bantuin gue. Gimana, sih?"
"Gue mau bantuin ngehukum para pelaku, bukan yang lain!"
"Tenang aja, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo. Gue cuma mau nunjukin sesuatu sama lo," tegas Dewa.
Dengan sungkan, Karmina memasuki kamar Dewa yang temaram dengan sedikit cahaya dari lampu bohlam. Ia menyapukan pandangan ke sekitarnya, melihat-lihat poster besar seorang bintang rock yang sedang memegang gitar di salah satu dinding kamar, serta lemari kayu dengan cermin di sampingnya.
Adapun Dewa, mengambil sebuah papan besar yang terbuat dari busa gabus dari kolong ranjang. Ditaruhnya papan besar berisi foto serta catatan-catatan penting yang ditempel olehnya ke tempat tidur. Selanjutnya, ia menepuk pundak Karmina, sampai gadis itu menoleh dan tercengang mendapati papan yang biasa dipakai untuk mading sekolah.
"Apaan nih?"
"Para bedebah. Mereka dalang di balik pembunuhan sadis bokap gue."
Ternganga Karmina mendengar jawaban Dewa. Ditatapnya dengan saksama kumpulan foto, catatan, serta benang yang saling sambung menyambung pada setiap jarum pin. Sejenak, Karmina teringat pada adegan sebuah film yang pernah ditontonnya. Film tentang pembalasan dendam dan obsesi seseorang.
Sambil mengangguk takzim, gadis itu menatap setiap foto yang terdapat pada papan besar itu. Empat pria, satu wanita. Salah satu foto pria ditandai silang merah, yakni potret Sahar Muzakir. Karmina menduga, foto yang diberi tanda silang tidak lagi menjadi incaran Dewa karena sudah meregang nyawa.
"Mereka semua adalah orang yang pernah datang ke persidangan dan menjadi terduga dalang pembunuhan bokap gue," jelas Dewa, lalu menunjuk foto wanita dengan riasan tebal. "Ini Melinda Alicia Pasaribu, seorang anggota dewan yang sudah nyaman menjabat di Senayan. Nggak banyak orang tau kalau dia itu lintah darat sekaligus germo besar di Jakarta."
"Apa? Germo? Nggak mungkin! Gimana bisa negara sampai nggak tau sama bisnis gelapnya itu?"
"Lo pasti paham kekuatan uang, kan? Dia salah satu yang manfaatin itu."
Karmina mengangguk pelan.
Selanjutnya, Dewa menunjuk seorang pria berbadan gemuk dengan kepala setengah plontos. "Dia Karsa Darmawijaya. Salah satu investor rokok sekaligus pengusaha properti di negeri ini. Selain itu, dia juga melakukan perdagangan ilegal dengan menjual hewan endemik langka. Nggak heran kalau duitnya nggak abis-abis. Bisnis haram."
"Apa pihak bea cukai nggak nyelidikin orang ini? Maksud gue, perdagangan ke luar negeri tuh pasti diketahui sama petugas di perbatasan negara," tanya Karmina menoleh pada Dewa sambil mengernyitkan kening.
"Ini soal duit dan relasi. Semakin lo menjalin erat hubungan dengan orang terkuat, apa pun bisa berjalan dengan mulus. Termasuk melakukan bisnis ilegal."
Karmina mengembuskan napas sambil berkacak pinggang.
Telunjuk Dewa kali ini mengarah pada seorang pria memakai kemeja santai dengan corak daun dan bunga. Memiliki mata sipit dan kulit lebih cerah dari yang lain, seakan menegaskan bahwa ia merupakan keturunan Tionghoa. "Ini Jackson Lim. Pengusaha dunia malam yang mengelola beberapa diskotek di Jakarta. Dia juga merupakan bandar judi sekaligus penyebar miras ilegal ke luar tempat hiburan biar tambah untung."
"Polisi nggak tahu soal ini? Dia jualan barang ilegal loh!"
Dewa mengedikkan bahu. "Bisnis beginian dilakuin sembunyi-sembunyi. Nasib buruk buat mereka kalau sampai ketemu sama polisi teladan. Tapi sayangnya, kebanyakan aparat lebih mentingin duit tutup mulut daripada kemajuan generasi muda."
"Oke." Karmina mengangguk, lalu menunjuk pria bertampang kalem dengan kumis tebal dan memakai udeng khas Bali. Senyum lebar serta sorot mata yang teduh, seakan menunjukkan keramahtamahan dari pria itu. "Terus, ini siapa? Kayaknya dia bukan orang jahat."
"Jangan terkecoh sama tampangnya yang adem! Dia lebih jahat dari orang-orang yang gue tunjukin tadi," ujar Dewa melipat kedua tangannya.
Seketika, Karmina tercengang dan menoleh pada Dewa. "Apa? Mana mungkin!"
Dewa terkekeh-kekeh seraya berkata, "Inilah sebabnya kenapa gue ragu-ragu buat nerima bantuan lo. Lo tuh gampang terkecoh cuma gara-gara tampang."
Karmina memberengut.
"Tapi, nggak apa-apa. Bakal gue jelasin." Dewa menunjuk potret pria terakhir yang dipasang paling atas dari empat orang lainnya itu. "Namanya I Wayan Winata, politikus asal Bali yang sekarang punya jabatan di Senayan. Dia sering melakukan penjualan barang haram dan orang ke luar negeri."
"Apa?! Orang? Yang bener aja? Maksud lo perdagangan--"
"Iya, yang kayak di film-film kriminal itu," tegas Dewa memotong ucapan Karmina.
Semakin terperangah gadis itu mendengar penjelasan Dewa. Sambil menggeleng pelan, ia berpikir keras memandangi satu per satu orang incaran Dewa.
"Dari mana lo tahu kalau orang-orang ini melakukan bisnis gelap? Lo baca berita?" tanya Karmina dengan mata membulat.
Dewa terbahak-bahak. "Jurnalis mana yang berani meliput kelakuan busuk orang-orang ini? Sebelum disiarkan di TV, pasti mereka udah dibikin mati duluan kayak bokap gue."
"Terus ... lo dapet semua informasi ini dari mana? Sosmed atau apa, gitu?"
"Deep web. Gue berusaha menyelam lebih dalam buat dapetin informasi mengenai orang-orang busuk ini. Sayangnya, semua kabar yang gue dapat masih belum cukup buat menjerat mereka. Bahkan, kalaupun gue ngelaporin mereka berempat, gue merasa sangsi sama keputusan kepolisian sama pengadilan. Kita nggak pernah tahu, hakim dan jaksa mana yang gampang tergoda sama uang."
"Jadi, kira-kira ke depannya lo mau ngapain orang-orang ini? Mau dihabisi aja sekalian?"
"Iya. Kalau negara nggak bisa ngasih mereka hukuman, maka gue akan menghabisi mereka kayak yang selama ini gue sama temen-temen lakuin ke pejabat zalim di belakang layar."
"Apa nggak ada cara lain?"
Dewa menoleh pada Karmina sambil mengerutkan dahi dan menatap tajam. "Kenapa lo ngomongnya gitu? Lo ngerasa nggak tega kalau mereka dihabisi?"