100% fiktif belaka, tidak ada kaitan dengan siapapun di dunia nyata atau di mana pun!!
"Gue nggak mau tau, kita menikah pokoknya. Lo, suami gue!"
Aria, gadis tengil 20 tahun, asal nyelonong masuk ke kamar hotel setelah mabuk di pesta temannya. Dengan penuh percaya diri, ia menodong pria di dalam kamar untuk menikah dengannya. Masalahnya? Pria itu adalah Jenderal Teddy Wilson, duda tampan 35 tahun yang dikenal dingin dan tak tersentuh. Yang lebih mengejutkan? Teddy tidak menolak.
Gimana kelanjutan ceritanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Rencana Terburuk
...****************...
Gue ngerasa tenggorokan gue kering. Kepala gue masih cenat-cenut efek mabuk, tapi sekarang ditambah kepanikan luar biasa.
"Lo… Lo nggak bakal beneran nyebarin video itu, kan?" tanya gue, suara gue sedikit gemetar.
Dia masih santai, muter-muterin ponselnya di tangannya. "Tergantung."
"Tergantung apaan?" tanya gue lagi, mengernyit.
"Tergantung jawaban lo," jawabnya santai.
"Anjir, lo ngancem gue?" seru gue, langsung melotot.
Dia hanya angkat bahu. "Gue cuma ngasih pilihan," jawabnya tanpa peduli.
Gue mencengkeram rambut sendiri, frustrasi. "Gila… Ini gila! Gue cuma pemetik cabai di ladang orang, bro! Gaji gue aja nggak cukup buat bayar kos-kosan, apalagi buat sogok polisi kalau lo beneran ngelaporin gue!"
Dia tetap tenang. "Bukan urusan gue," katanya tanpa ekspresi.
Gue menggigit bibir, ngerasa makin panik.
"Terus, kalau video itu nyebar…" Gue nelen ludah. "Gila! GUE BISA VIRAL!"
Gue udah bisa ngebayangin judul-judul berita di media sosial:
"WANITA TENGIL GONCANG PANGKUAN JENDERAL, PELECEHAN ATAU CINTA?"
"PEMETIK CABAI BERAKSI, VIDEO PEMERSATU BANGSA?"
"INI SUDAH PANGKU KE BERAPA?!"
GUE NGGAK MAU!
Gue langsung nengok ke dia. "Tunggu, lo seriusan jenderal?"
Dia mengangguk pelan.
Gue semakin lemas.
Bukan cuma sekadar pria biasa, ternyata gue udah ngelakuin hal nggak sopan ke pejabat negara?!
Gue nutup muka. "Ya Tuhan, hidup gue hancur."
"Jadi?"
Gue nengok ke dia, yang masih dengan wajah datarnya, tapi matanya tajam mengunci gue.
"Lo terima atau nggak?" tanyanya lagi.
Gue nelen ludah, berkecamuk dalam dilema terbesar sepanjang hidup gue.
Gue ngerasa semua energi di tubuh gue tersedot habis. Gue nyorot mata ke pria di depan gue, lalu ke layar ponselnya yang masih gelap, tapi tetap bikin gue paranoid.
Gue udah nggak punya pilihan.
Gue bukan orang kaya, bukan anak orang berpengaruh, apalagi punya kenalan yang bisa bantuin gue keluar dari masalah ini. Gue cuma pemetik cabai di ladang orang, gaji gue nggak cukup buat nyogok polisi, dan gue juga nggak mau video absurd gue masuk ke sosmed jadi bahan hiburan netizen.
Dengan napas berat, gue merosot duduk di ujung ranjang.
"Oke," gumam gue pelan.
Pria itu masih diem. "Apa?"
Gue mendongak, melotot ke arahnya. "GUE BILANG OKE! Gue setuju nikah!"
Dia nggak bereaksi. Mukanya tetap datar, seolah ini bukan masalah besar buat dia.
Gue menghela napas panjang, terus ngelirik ke sofa di ujung kamar. Di situ ada seragam militer yang rapi banget, lengkap sama tanda pangkat di dadanya. Baru sekarang otak gue bener-bener nyambung.
"Jadi… lo beneran jenderal?" tanya gue sekali lagi.
Dia mengangguk pelan.
Gue menyipitkan mata, memerhatikan wajahnya yang… kalau dilihat-lihat, lumayan juga. Tegas, bersih, rapi. Umurnya mungkin 30-an, tapi masih keliatan muda.
Gue melipat tangan di dada. "Nama lo siapa?"
"Teddy Wilson."
Gue mengerjap. "Wilson? Kok kayak nama merk sepatu?"
Akhirnya, ada sedikit perubahan di wajahnya. Dia mengernyit, lalu menghela napas seolah baru sadar kalau gue ini bakal jadi beban hidupnya.
"Nama lo?" tanyanya gantian.
"Aira Samantha. Lo bisa panggil gue Aira."
Dia mengangguk, tetap tanpa ekspresi.
Gue menghela napas panjang, lalu menatap dia dengan wajah lelah. "Jadi… kita bakal nikah minggu depan?"
Dia mengangguk.
Gue menelan ludah. Hidup gue bener-bener berubah dalam semalam.
"Seriusan, lo nggak punya cara lain buat ngomong selain ngancem?" tanya gue, nyorot mata ke dia.
Teddy cuma angkat bahu, muka tetap datar. "Cara ini lebih efektif," jawabnya santai.
Gue menghela napas panjang, ngerasa harga diri gue diinjak-injak. Mau nggak mau, gue akhirnya ngeluarin ponsel dari saku dan nyodorin ke dia. "Udah, sini tukeran nomor."
Teddy ngambil ponsel gue, masukin nomornya, lalu ngetes dengan nelepon ponselnya sendiri. Setelah itu, dia balikin ke gue.
"Besok gue jemput. Kita ketemu keluarga gue," katanya, seolah itu hal biasa.
"Buat apa?" gue langsung melotot.
"Ngomong soal pernikahan kita," jawabnya singkat.
Gue masih kaget, tapi terus ketawa sinis. "Gue aja nggak punya keluarga. Gue hidup sendirian."
Teddy berhenti sebentar, tapi reaksinya cuma satu: anggukan kecil. Seolah dia nggak kaget atau peduli. "Kalau gitu, minta izin ke keluarga gue aja. Mereka harus percaya kita ini pasangan beneran."
"HAH?!"
"Dan lo harus berperan sebagai cewek yang beneran cinta sama gue." sambungnya.
Gue refleks mundur satu langkah. "Geli banget! Ogah!"
Teddy akhirnya nyengir tipis, tapi malah bikin gue makin takut. "Terserah kalau nggak mau. Ya, terpaksa video—"
"FUCK! IYA! GUE BAKAL AKTING!" Gue langsung teriak, frustasi. "Alay banget lo, dikit-dikit ngancem orang!"
Teddy akhirnya mengambil kunci mobilnya dan berjalan ke arah pintu. "Bagus. Sekarang gue anter lo pulang."
Gue cuma bisa mendengus kesal, tapi akhirnya ngikut juga. Hidup gue bener-bener berubah dalam semalam, dan gue nggak yakin ini bakal berakhir baik.
Mobil berhenti tepat di depan kosan gue yang kecil dan sederhana. Gue buru-buru ngelepas seatbelt, siap-siap kabur sebelum laki-laki ini makin nyebelin.
"Jangan macem-macem blokir nomor gue," kata Teddy santai, tapi ada nada peringatan di situ.
"Iya, iya, jelek," dengus gue malas.
Teddy tiba-tiba menoleh, bibirnya melengkung licik. "Lucu ya, lo manggil gue jelek sekarang. Padahal semalam lo teriak-teriak suamiku, suamiku," ucapnya dengan nada menggoda.
Gue langsung ngerasa urat di leher gue ketarik. "GUE MABUK KEMARIN! GILA LO! Gak usah dibahas!" seru gue dengan emosi.
Teddy masih kalem, tapi matanya ada kilatan jahil. "Mabuk, tapi sempet-sempetnya nulis perjanjian, tanda tangan, sampe goyang pangkuan?" katanya sambil menyeringai puas.
Gue hampir nepuk jidat sendiri saking stresnya.
"GUE KAN GAK SADAR!" teriak gue frustasi.
Teddy mengangkat alis, pura-pura berpikir. "Berarti kalau nggak sadar, lo bisa ngulang hal yang sama kalau mabuk lagi?" tanyanya dengan santai.
Muka gue merah padam. "Sumpah, kalo gue sekaya lo, yang gue beli pertama kali adalah otak biar bisa ngerti situasi!" omelku kesal.
Teddy akhirnya ngakak kecil, pertama kalinya dia bereaksi normal sejak ketemu gue. "Lusa gue jemput. Jangan macem-macem," ujarnya masih menahan tawa.
Gue ngelotot sekali lagi sebelum turun dari mobil dan membanting pintu keras-keras. Dari kaca mobil, gue bisa lihat dia masih senyum kecil, seolah ngeledek gue.
Sial. Gue baru sadar, jenderal ini nggak cuma posesif, tapi juga nyebelin.
.
.
.
Next 👉🏻
suka banget bahkan
ayo lanjut lagi.....
biar semakin seru.......