"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Jarak
Setelah Clara pergi, Rita kembali ke sisi tempat tidur Ziyo. Ia menatap Ziyo yang terbaring diam, tubuhnya tampak tak bergerak, tapi pikirannya penuh dengan kekacauan. Suara Rita memenuhi ruangan, meresap ke dalam benaknya, setiap kata membekas seperti luka baru.
Rita menggenggam tangannya erat, jemarinya yang hangat menyentuh kulitnya yang dingin. “Maafkan Clara... maafkan dia, Ziyo... Dia tidak tahu apa yang dia lakukan,” bisiknya penuh iba.
Di dalam hati, Ziyo ingin tertawa pahit. "Dia tahu, Tante. Clara tahu persis apa yang dia lakukan. Dia hanya tak peduli." Namun, bibirnya tetap terkatup rapat, tak ada kata yang keluar, hanya kebisuan yang menemaninya.
Rita kembali berbicara, suaranya bergetar menahan air mata. “Kamu sudah terlalu banyak berkorban untuk kami... untuk Clara... Tante bahkan tidak tahu bagaimana cara kami membalas semuanya.”
Kata-kata itu membuat hati Ziyo semakin perih. "Pengorbanan? Itu bukan karena Clara, Tante. Itu semua karena Anda dan Om, yang selalu memperlakukan saya seperti anak sendiri." Dia memejamkan mata lebih erat, berusaha mengusir rasa sakit yang menyusup ke setiap sudut jiwanya.
Ia tak pernah benar-benar mencintai Clara sejak awal. Pertunangan itu hanyalah bentuk rasa terima kasihnya kepada orang tua Clara, terutama Rita, yang selalu menganggapnya bagian dari keluarga. Ketika ibunya tiada, Rita adalah sosok ibu yang hadir mengisi kekosongan itu. Tapi sekarang, semua pengorbanannya terasa sia-sia.
"Clara tak pernah memintaku. Dan aku pun tak pernah meminta Clara. Semua ini hanyalah permainan takdir yang kejam."
Air mata Rita menetes ke punggung tangannya, menciptakan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hatinya saat ini. “Ziyo, Tante tidak akan pernah bisa membalas semua yang sudah kamu lakukan. Tapi tolong... bertahanlah. Jangan menyerah.”
Ziyo ingin menjawab, ingin memberitahu Rita bahwa ia mendengar semuanya, bahwa ia tahu ketulusannya lebih nyata daripada apa pun yang pernah Clara berikan. Tapi ia tetap diam.
Kata-kata terakhir Rita sebelum ia terisak kecil, "Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, Ziyo," menggema di telinganya.
"Yang terbaik?" pikir Ziyo, pahit. "Aku bahkan tak tahu apa itu lagi."
Namun, di balik semua luka yang menganga, satu hal tetap jelas: cinta Clara mungkin hanya semu, tapi kasih tulus Rita adalah satu-satunya hal yang memberinya alasan untuk tetap bertahan.
***
Sementara itu, Clara melangkah cepat di lorong rumah sakit, sepatu hak tingginya berderap keras, memantul di dinding putih yang sunyi. Wajahnya menyiratkan kejengkelan, tetapi ada jejak kebimbangan yang samar di matanya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan dengan cepat.
"Bryan, aku ingin bertemu. Aku butuh bicara denganmu."
Setelah pesan terkirim, Clara berhenti di dekat jendela besar yang menghadap taman rumah sakit. Matanya menatap kosong ke luar. Kata-kata ibunya terus berputar di kepalanya.
"Dia sudah banyak berkorban untuk keluarga kita."
Clara menghela napas panjang, lalu menggeleng keras. "Tidak, ini bukan salahku. Dia yang terlalu menuntut. Dia yang membuatku merasa terkungkung. Ini bukan hidup yang kuinginkan."
***
Diva berjalan masuk ke ruangan Ziyo dengan langkah ringan, wajahnya tampak lelah namun tetap berusaha tersenyum ketika melihat Rita duduk di samping ranjang. Tadi, saat Rita dan Clara datang, ia meninggalkan Ziyo untuk mengisi perutnya.
“Oh, Nyonya Rita. Anda di sini?" tanya Diva dengan nada hangat, meskipun ada sedikit keletihan yang tersirat.
Rita bangkit dari kursinya, memberikan senyum tipis. “Tentu, bagaimana pun Ziyo adalah tunangan Clara. Saya harus memastikan keadaannya.”
Diva berjalan ke sisi ranjang Ziyo, menatap pria muda itu dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Ia lalu menoleh ke Rita. “Ziyo masih belum sadar, tapi dokter bilang kondisinya sudah stabil. Saya harap dia segera membaik.”
Rita mengangguk kecil, menatap Ziyo sejenak sebelum kembali memandang Diva. “Iya, saya sudah mendengarnya dari dokter.”
Diva menghela napas. “Saya sudah di sini sejak malam kecelakaan. Rasanya... sulit membayangkan dia melalui ini semua sendirian.”
Rita mengangkat alis sedikit, menatap Diva dengan tatapan penuh perhatian. “Itu pasti berat. Tapi, terima kasih sudah merawatnya."
"Ini sudah menjadi tanggung jawab saya," sahut Diva terlihat sedih menatap Ziyo.
Sejenak, ada keheningan di antara mereka, hanya suara detak monitor dan napas teratur Ziyo yang terdengar. Diva akhirnya memecah keheningan, memandang Rita dengan lembut. “Ngomong-ngomong, saya tidak melihat Clara ada di sini. Di mana dia?”
Wajah Rita berubah sedikit canggung, tapi ia segera menguasai diri. “Clara... baru saja pergi. Dia merasa lelah dan... ingin pulang lebih dulu.”
Diva mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan ekspresi di wajahnya. “Ah, begitu. Ziyo pasti ingin melihatnya begitu dia sadar nanti.”
Rita tersenyum kaku. “Ya, tentu saja.”
Diva menatap Rita sejenak, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut, “Terima kasih, Nyonya Rita, sudah menyempatkan waktu untuk datang. Saya tahu ini bukan situasi yang mudah untuk siapa pun.”
Rita balas menatap Diva, menyadari nada tulus yang disampaikan wanita itu meskipun hubungan mereka tak pernah benar-benar akrab. “Tidak masalah. Saya hanya ingin memastikan Ziyo baik-baik saja.”
Diva tersenyum, kali ini lebih tulus. “Saya benar-benar menghargai itu. Ziyo pasti juga begitu, meskipun dia belum sadar.”
Setelah percakapan singkat itu, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Diva tetap di sisi Ziyo, menatap wajahnya yang tenang meski penuh luka. Sementara Rita berdiri dengan sedikit canggung, merasa seperti tamu di tempat yang tadinya terasa akrab baginya.
Mata Diva yang berbingkai rapi menatap wajah Ziyo yang sebagian tertutup perban. “Kasihan sekali anak ini,” katanya pelan, tangannya terulur seolah ingin menyentuh tangan Ziyo, tapi kemudian ia menariknya kembali.
Rita mengamati gerakan itu, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk kecil. “Dia kuat. Saya yakin dia akan melewati ini.”
Diva mengangguk pelan, lalu mengambil kursi dan duduk di sisi ranjang. Ada jeda hening sebelum ia berbicara lagi. “Zian sangat khawatir pada kakaknya. Tapi saya tak bisa membawanya ke sini. Dia masih terlalu kecil untuk melihat Ziyo dalam keadaan seperti ini.”
Rita mengangguk lagi, kali ini sedikit lebih tegas. “Itu keputusan yang bijak," ujarnya kembali duduk.
Ada jeda lagi, lalu Diva berkata dengan nada hati-hati, “Nyonya Rita... saya tahu saya tidak pernah bisa menggantikan posisi ibu Ziyo. Tapi saya selalu berusaha yang terbaik untuknya.”
Rita menoleh, tatapannya lurus ke mata Diva. “Tentu saja, saya tidak pernah meragukan usaha Anda, Nyonya Diva. Tapi Ziyo anak yang cukup mandiri. Dia tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri.”
Senyum kecil muncul di wajah Diva, tapi kali ini ada sesuatu yang samar, entah luka atau kepedihan yang terpendam. “Terkadang saya berharap dia tidak terlalu mandiri. Sulit mendekatinya. Saya hanya ingin... diterima sebagai bagian dari hidupnya.”
Rita diam sejenak, memandang Ziyo yang terbaring tanpa bergerak. “Ziyo mungkin bukan tipe anak yang mudah membuka diri. Tapi saya yakin, di dalam hatinya, dia tahu siapa yang peduli padanya.”
Ziyo yang mendengar percakapan itu hanya bisa berdiam diri, meskipun batinnya bergolak. "Diterima? Aku sudah mencoba, Tante Diva. Tapi ada sesuatu yang menghalangi. Bukan karena aku membencimu, tapi karena aku tidak tahu bagaimana caranya."
Diva menundukkan kepalanya, jari-jarinya meremas ujung bajunya. “Saya mengerti... mungkin saya butuh lebih banyak waktu.”
Rita tidak menanggapi, hanya mengangguk tipis. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Diva memang tidak pernah benar-benar akrab. Ada jarak yang sulit dijembatani, meski mereka saling berusaha menjaga sopan santun.
Rita akhirnya beranjak dari duduknya, merapikan gaunnya, lalu mengambil tasnya di atas nakas. “Saya harus pergi. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Tapi tolong, Nyonya Diva, kabari saya jika ada perkembangan tentang Ziyo.”
Diva mengangguk. “Tentu.”
Rita melangkah pergi, tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Ziyo. “Cepat sembuh, Ziyo. Kami semua menunggumu.”
Diva menatap Rita yang menghilang di balik pintu. Senyuman samar tersungging di bibirnya, seolah memikirkan sesuatu. ‘Clara…’ gumamnya nyaris tak terdengar.
...🍁💦🍁 ...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....