Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - MENCARI JAWABAN TENTANG ZAINE (7)
Pagi harinya, Revan datang ke sekolah dengan mata panda yang makin parah. Rasanya semalaman ia nggak tidur sama sekali. Bukan cuma karena lelah fisik, tapi pikiran yang muter terus tanpa henti.
Dan seperti yang sudah ia duga, Riko langsung menghampirinya di gerbang, pakaian Riko jas hitam formal.
"Lo janji kita bakal ngomong," kata Riko dengan nada serius.
Revan hanya mengangguk pelan. "Gue inget."
Mereka nggak banyak bicara lagi sampai istirahat datang. Saat itu, mereka duduk berdua di belakang sekolah, di bangku kecil dekat lapangan basket yang sepi.
Riko nyender ke tembok, tangannya bersilang di dada. "Oke, Van. Gue nggak bodoh. Malam itu lo jelas lagi ngelakuin sesuatu yang berbahaya. Dan sekarang, lo makin diem, makin tertutup."
Revan menghela napas, lalu menatap langit. "Gue nggak bisa cerita semuanya."
"Kenapa?"
"Karena ini bukan hal yang bisa lo tangani. Bahkan gue aja keseret terlalu jauh," jawab Revan pelan.
Riko menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan kesal. "Lo pikir gue bakal tinggal diam liat lo tenggelam sendirian?"
Revan menunduk. "Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa, Rik."
Hening.
Lalu Riko berdiri. "Lo bisa nggak percaya sama gue, tapi satu hal yang pasti—kalau lo terus-terusan nutupin semuanya, lo bakal ngadepin ini sendirian. Dan itu jauh lebih bahaya."
Revan menatap Riko lama. Dalam hati, ia tahu Riko benar. Tapi kenyataannya... ia nggak punya pilihan.
"Maaf," cuma itu yang bisa ia ucapkan.
Riko menghela napas panjang. "Gue bakal nunggu lo siap. Tapi jangan terlalu lama."
Riko pun pergi, meninggalkan Revan sendiri.
Dan saat Revan membuka ponselnya, satu pesan baru muncul dari nomor Leonard.
Revan menatap pesan itu dalam diam dan menghela nafas.
Revan membaca pesan itu berulang kali. Kata-katanya singkat, tapi nadanya jelas: ini bukan sekadar "tes kesetiaan" lagi. Ini sudah masuk ke tahap yang lebih dalam—dan lebih berbahaya.
Sore itu, Revan langsung menghubungi Riko lewat pesan WhatsApp.
Revan bergegas keluar rumah dan menyelinap ke markas kecil tempat mereka biasa bertemu. Saat ia tiba, Riko sudah duduk di pojokan, mengenakan hoodie gelap, matanya mengawasi sekitar.
Revan duduk tanpa basa-basi. "Leonard ngasih gue tugas baru."
Riko menatapnya tajam. "Apa?"
"Lo."
Riko mendecak pelan, tapi ekspresinya tetap tenang. "Gue udah duga."
Riko mengangguk pelan. "Oke. Kita manfaatin ini."
"Maksud lo?"
"Lo kasih dia info... tapi yang gue siapin. Info palsu."
Revan mengerutkan alis. "Kita mainin dia?"
"Udah waktunya," ujar Riko. "Tapi kita harus hati-hati. Sekali aja info lo bocor atau salah, kita semua habis."
Revan menarik napas panjang. Taruhannya sekarang makin tinggi. Tapi satu hal yang ia tahu...
Kalau mereka mau menjatuhkan Robert dan Leonard, ini saatnya mulai balik nyerang.
...***...
Beberapa hari berikutnya, Revan mulai jalankan rencananya. Di sekolah, dia tetap terlihat seperti biasa—siswa pendiam yang sering bengong, nilai rata-rata, nggak banyak bicara. Tapi di balik itu, semuanya mulai bergerak.
Leonard, yang diam-diam masih jadi bayangan dari Robert, mulai menaruh perhatian. Ia menghubungi Revan lebih sering, kadang tiba-tiba muncul di tempat-tempat yang Revan lewati, seolah mengawasi.
Revan menggertakkan giginya. Ancaman itu serius.
Malam itu, ia langsung bertemu lagi dengan Riko dan Emma di markas kecil mereka.
"Dia makin neken gue," kata Revan dengan suara pelan, nada gugup terselip di baliknya. "Gue dikasih waktu tiga hari. Habis itu—"
"Tenang," potong Emma cepat. "Gue udah siapin dokumen-dokumen palsu. Riwayat chat, log lokasi, rekaman suara—semua palsu tapi cukup meyakinkan buat Leonard."
Revan mengangguk pelan. "Tapi kalau dia tahu itu palsu—"
"Makanya kita harus make timing yang pas."
Emma membuka map lusuh dari ranselnya dan menggelar isi dokumen di meja kayu. “Besok malam, gue bakal pura-pura ketemu sama orang yang katanya agen rahasia dari pihak lawan Robert. Lo pura-pura ngikutin gue dan ngerekam pembicaraan. Kita bikin seolah-olah gue ngelawan Robert secara diam-diam."
Revan memelototi dokumen-dokumen itu. Semua terlihat asli—surat perintah palsu, bukti transfer, koordinat lokasi.
"Ini gila," bisiknya.
"Emang," jawab Riko datar. "Tapi ini satu-satunya cara buat ngebalik keadaan. Kita gak bisa terus disetir."
Revan menatap Riko dan Emma lama. Di wajah itu, nggak ada lagi keraguan. Hanya tekad. Dan itu menular.
Kalau rencana ini berhasil, mereka bisa masuk ke jantung Robert lewat Leonard. Tapi kalau gagal... bisa jadi itu hari terakhir mereka berdua.
---
Malam itu datang lebih cepat dari yang Revan harapkan.
Ia mengenakan hoodie hitam, wajahnya sebagian tertutup masker. Di tangannya, ponsel yang sudah dimodifikasi untuk merekam dari jarak jauh. Ia bersembunyi di balik tembok tua di area kosong dekat rel kereta—lokasi yang sudah disepakati. Suasananya sepi, hanya ada suara jangkrik dan sesekali angin menerbangkan debu.
Beberapa meter di depannya, Riko berdiri sendiri. Ia menunggu ‘agen rahasia’ yang mereka sengaja rekayasa—seorang aktor bayaran yang sudah dilatih untuk mainkan peran dengan meyakinkan.
Revan mengaktifkan perekam, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
Tak lama kemudian, pria bertubuh tinggi dengan jas gelap muncul dari balik bayangan, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia menghampiri Riko.
“Nama lo?” tanya pria itu datar.
“Riko,” jawabnya singkat, sesuai skrip.
“Gue dapet laporan lo punya info soal gerakan internal Robert.”
“Betul. Tapi gue nggak mau kerja sama sebelum ada jaminan.”
Percakapan terus berjalan, skenario mereka nyaris sempurna. Revan tetap merekam dari kejauhan, menjaga jarak agar tak ketahuan, sambil sesekali mengintip lewat celah tembok.
Namun, detik berikutnya sesuatu terjadi.
Ada suara langkah kaki dari arah berlawanan.
Revan menahan napas.
Dari balik sisi lain rel, sosok familiar muncul—Leonard.
Ia datang... lebih cepat dari yang seharusnya.
“Riko.” Suaranya tajam dan dingin. “Lo pikir lo bisa main belakang?”
Riko langsung siaga. Matanya menatap Leonard penuh kewaspadaan. Aktor bayaran itu pura-pura mundur, mengikuti skenario darurat yang sudah disiapkan.
Leonard melangkah maju. “Gue udah curiga dari awal lo terlibat. Tapi gue pengen bukti. Dan sekarang gue dapet.”
Revan menggertakkan gigi. Ini di luar rencana.
Riko diam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kalau lo udah tahu, kenapa baru muncul sekarang?”
“Karena sekarang gue nggak sendiri,” jawab Leonard sambil menengok ke belakangnya.
Dari balik gelap, dua orang bertubuh kekar muncul, masing-masing bawa senjata kejut.
Revan panik. Ini udah bukan sekadar ancaman lagi. Ini penangkapan.
Tapi sebelum dia sempat ngapa-ngapain, Riko berteriak, “REVAAN!! EMMA!!! SEKARANG!!”
Revan langsung bangkit dan menembakkan pistol mini dari alat di tangannya—senjata darurat buatan Leonard sendiri sedangkan Emma membawa dua pisau kecil ditangannya. Cahaya putih menyilaukan meledak, membutakan semua orang di sana selama beberapa detik.
BANGG!!
Riko langsung lari ke arah Revan dan Emma. Mereka kabur lewat jalur sempit yang udah mereka hafal.
Suara teriakan, makian, dan langkah kaki mengejar terdengar di belakang mereka.
Tapi mereka terus lari, melewati lorong-lorong gelap, melompati pagar rendah, hingga akhirnya sampai ke jalan besar dan menghilang di tengah keramaian.
Napas keduanya terengah-engah.
“Rencana darurat lo,” kata Revan sambil tertawa pahit, “kerja juga ternyata.”
Riko mengangguk, wajahnya serius. “Tapi sekarang mereka tahu. Leonard tahu kita ngelawan. Ini udah bukan permainan lagi, Rev.”
"GILA! SUDAH LAMA GAK BERTARUNG LAGI!" Emma tertawa terbahak-bahak, Emma terlihat memakai perlengkapan khusus agar tubuhnya tak terluka, Revan juga memakai perlengkapan khusus yang anti peluru di seluruh tubuhnya.