Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Bukan selingkuhan
Sudah 2 pekan berlalu, namun hubungan antara Aruna dan Aryan tak kunjung membaik. Mereka masih tetap berperang batin meski keduanya sudah begitu dekat sebagai suami-istri. Begitu pun dengan Gita, Ia belum bisa memulai hubungan baiknya dengan Aruna sebagai madunya. Meskipun Ia sendiri yang meminta Aryan untuk berpoligami, sayangnya tidak mudah untuk menerima Aruna di keluarganya.
"Mas... apa gak sebaiknya kamu jangan ke sini dulu? Kalau Ibu tahu kan pasti marah. Untuk 3 bulan ke depan, kamu sama Aruna aja. Takutnya Ibu mikirnya kalian berantem." Ujar Gita di sela aktifitas sarapan mereka. Aryan seketika terhenti mengunyah makanannya dan segera mengambil gelas yang ada di samping piring miliknya.
"Kamu itu sebenernya kenapa sih? Marah? Benci? Atau apa? Aku ini suami kamu, kan?" Gita hanya mengangguk menanggapi pertanyaan suaminya tersebut. "Terus?" Imbuh Aryan membuat Gita tak mengerti. Ia menatap Aryan begitu dalam penuh arti.
"Mas... aku cuma gak mau--"
"Ibu gak akan salahin kamu. Aku sama Ibu udah ngomong baik-baik. Gimana pun, aku harus bersikap adil. Beribu maaf aku untuk kamu."
"Mas gak perlu minta maaf. Ini terjadi karena aku juga yang minta Mas nikah lagi. Jadi aku harus terima konsekuensi kalau aku harus berbagi sama Aruna. Gapapa Mas. Demi lihat Mas punya anak, aku ikhlas." Meski tutur katanya begitu lembut dan menenangkan, namun air matanya cukup membuat Aryan membeku. Apa air mata itu memang air mata keikhlasan atau kesedihan? Aryan tak bersuara lagi. Ia memilih menghabiskan makanannya dan langsung bergegas berangkat bekerja.
"Mas kerja dulu ya! Kalau ada apa-apa, kabari saja." Ujarnya seraya mendaratkan sebuah kecupan di dahi, pipi, dan bibir istri pertamanya. Terlihat Gita hanya mengangguk diiringi sebuah senyum menanggapi sikap manis Aryan tersebut.
"Hari ini ada survei lapangan, terus ada pertemuan sama klien juga. Kayaknya Mas pulang malam." Imbuh Aryan sebelum Ia benar-benar pergi. Lagi, Gita hanya mengangguk tak memberi jawaban pasti akan penuturan suaminya.
...----------------...
"Bu... kita ke dokter saja ya!" Bujuk Bi Ima yang sudah terlampau panik melihat kondisi Aruna yang sudah kesakitan memegangi perutnya. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya, kulit wajahnya memutih seperti mayat hidup, dan nafasnya terengah seiring rasa sakit yang menusuk di bagian lambungnya.
"Enggak Bi... aku gapapa kok." Seiring ucapannya tersebut, terdengar suara rintihan yang membuat Bi Ima tak mempercayainya.
"Ibu makin parah loh. Saya takut Ibu kenapa-kenapa." Mendengar kekhawatiran pelayan pribadinya itu, Aruna hanya tersenyum lantas beranjak dari posisi tidurnya dengan susah payah.
"Ini cuma lambung aja yang kambuh, Bi. Sebentar lagi pasti sembuh." Ujarnya terus mengelak.
"Enggak Bu... Ibu makin pucat. Nafas Ibu juga gak beraturan. Saya telepon Pak Aryan ya?"
"Jangan Bi. Jangan! Aku beneran gapapa kok."
"Kalau panggil dokternya ke sini? Bagaimana?"
"Aku ada obat Bi."
Bi Ima yang notabene nya hanya seorang pelayan, Ia tak cukup berani memaksa Aruna untuk berobat meski sebenarnya Ia begitu khawatir.
"Saya buatkan bubur saja ya! Kalau diingat-ingat, Ibu belum makan nasi dari 2 hari yang lalu." Ujar Bi Ima kembali membujuk. Namun, Aruna tak menjawab, bahkan Ia tak menanggapi sedikitpun tawaran Bi Ima tersebut. Alhasil, Bi Ima beranjak dan segera membuatkan majikannya makanan untuk mengisi perutnya. Ia yakin jika Aruna memiliki penyakit lambung yang sudah parah.
...----------------...
Tak ingin berlama-lama, Bi Ima cepat-cepat mengantarkan makanan setelah matang. Sekalian Ia membawa sebuah obat tambahan agar sakitnya tak semakin parah. Dibukanya pintu kamar Aruna yang sengaja Ia tutup, lalu Ia letakkan nampan di atas nakas dan beberapa kali memanggil Aruna untuk bangun untuk memakan sarapannya.
"Bu... saya sudah buatkan bubur untuk Ibu. Kalau Ibu masih sakit, biar saya yang suapi." Tak ada jawaban, Aruna masih terlelap seakan sudah melupakan rasa sakitnya. Bi Ima tak begitu saja menyerah, Ia memberanikan diri mengguncangkan tubuh Aruna perlahan meski tak mendapati respons apa-apa. Matanya membulat sempurna ketika menyadari ada yang tidak biasa pada Aruna yang tak kunjung bangun. Tidak mungkin jika hanya tidur. Secepatnya Ia memanggil pelayan lain dan beberapa petugas yang berjaga di depan untuk membantunya.
"Mobil Bu Aruna sedang diperbaiki Bi. Kalau mau kita pesan taksi saja." Ujar seorang supir pribadi Aruna yang senantiasa mengantarkan Aruna kemana pun.
"Apa sempat? Kita hubungi Pak Aryan saja." Timpal yang lainnya. Semua mendadak panik melihat kondisi Aruna yang begitu lemah tak berdaya. Yang mereka takutkan ada beberapa hal, sesuatu terjadi pada Aruna, dan kemarahan majikannya. Aryan mungkin tak akan terlalu memarahi mereka karena mereka tahu kebenarannya, namun tidak dengan Sundari yang kemungkinan besar akan habis-habisan menyalahkan mereka jika sampai Aruna kenapa-kenapa. Karena saat ini, Aruna adalah menantu kesayangannya.
Di waktu yang sama, Aryan tengah menghadiri sebuah rapat di kantornya sebelum Ia turun ke lapangan. Ia mengikuti arahan dari Damar untuk apa saja yang harus Ia lakukan. Sedang fokus bergelut dengan pekerjaannya, ponselnya terus menerus berdering meski sudah Ia abaikan. Dengan terpaksa, Ia menjawab panggilan tersebut untuk memastikan tak ada yang perlu Ia khawatirkan.
"Hallo." Sapanya yang tak menyadari jika nomor itu adalah dari rumah barunya.
"Pak... maaf mengganggu. Saya ingin memberitahu." Ujar Bi Ima segera mengatakan apa yang terjadi pada Aruna. Pria itu terbelalak seketika mendengar apa yang dikatakan pelayan di rumah barunya. Ia sempat tak percaya, namun mencoba menghubungi nomor Aruna, dan tak mendapati jawaban. Untuk yang ke sekian kali, panggilan itu terjawab, tapi bukan Aruna yang menjawabnya. Hatinya semakin kacau, Ia tak bisa berpikir untuk sejenak. Apa yang harus Ia lakukan?
"Aryan. Kenapa masih diluar? Rapatnya sudah mau mulai." Ujar Damar menegur Aryan yang tengah melamun di luar ruangan.
"Om... Aryan gak bisa ikut rapat." Ucapnya sedikit ragu. Ia bahkan memalingkan pandangannya dengan gundah.
"Apa sesuatu terjadi, Aryan?" Tanya Damar selanjutnya. Aryan hanya menghela nafas dalam sebelum Ia menjawab.
"Om... istri Aryan sakit, dan kata Bi Ima, sakitnya parah. Kalau Aryan hari ini izin, boleh tidak Om?" Dengan memberanikan diri, Aryan meminta izin pada Damar secara langsung dan dengan senyum menenangkan Damar menjawab.
"Tak apa Nak. Istrimu lebih penting. Hari ini biar Om saja yang handle." Ujarnya membuat Aryan tersenyum lega. Namun senyum itu memudar ketika menyadari alasan Ia tersenyum. Setelahnya Aryan cepat-cepat ke rumah Aruna dan benar saja, Ia mendapati Aruna masih terlelap meski Bi Ima sudah mencoba menyadarkannya.
"Kenapa tidak dibawa ke dokter?" Sergahnya seraya meraih dan membawa Aruna keluar kamar.
"Ibu menolak terus Pak. Dan mobil Bu Aruna sedang diperbaiki." Jawab Bi Ima meski sebenarnya Ia takut akan kemarahan Aryan.
"Kalau mati, mau tanggungjawab?"
'Deg!' Bi Ima terdiam seketika, Ia tak tahu lagi harus menjawab apa.
"Bibi siapkan keperluan Aruna, dan susul saya pakai taksi, bisa?" Tanya Aryan yang mendadak berhenti untuk memastikan Bi Ima menyanggupi permintaannya.
"Bisa Pak." Sahut Bi Ima sehingga Aryan kembali berlalu dengan langkah cepat. Ia merasa tubuh Aruna benar-benar sangat berat, padahal tubuhnya lebih kecil dari Gita. Wajah pucat itu membuatnya ketakutan akan apa yang terjadi kedepannya.
...----------------...
Sampai di rumah sakit, Aryan cepat-cepat membawa Aruna ke dalam ruang UGD atas arahan petugas. Tanpa Ia sadari, dari kejauhan seseorang tengah memperhatikannya. Padangan itu tak berpaling menatapnya membawa seorang perempuan asing.
"Itu Aryan ya? Sama siapa? Bukan Gita, kan?" Tanyanya pada diri sendiri. Seketika raut wajahnya berubah terkejut sendiri saat menyadari sesuatu. "Aryan selingkuh? Ah tapi gak mungkin. Aku tahu Aryan orangnya gimana. Tapi itu siapaaaaa?" Imbuhnya geram sendiri pada akhirnya. Beribu pertanyaan mulai berkecamuk dalam pikirannya menerka siapa wanita yang bersama suami sahabatnya.
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..