NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hilangnya Allan

Bumi bergetar. Tidak ada suara lain kecuali deru angin yang mengisak dan gemercik air danau elips yang berusaha tenang di antara kepanikan.

“Dimana Allan?” Toni mengerutkan dahi, matanya mengamati sekeliling. Jarak pandangnya terbatas oleh kegelapan yang mulai menyelimuti langit.

“Kita baru saja meninggalkannya di dekat pohon besar,” Chris menjawab, bersandar pada kayu di sampingnya. Jantungnya berdetak cepat. “Apa mungkin ia sudah pergi ke kota?”

Toni menggigit bibirnya, langkahnya cepat namun tetap waspada. “Mungkin. Tapi kita harus mencarinya. Dia tidak bisa sendirian saat seperti ini.”

Mengangguk singkat, Chris mengikutinya. Keduanya melawan angin kencang yang menderu, seakan memaksa mereka untuk kembali. Toni memimpin, langkahnya tegap, walaupun sering melihat ke belakang seolah ada sesuatu yang membayangi mereka.

“Chris, kita harus mempercepat,” katanya. “Setiap detik berharga.”

“Kenapa kau terlihat gelisah?” Chris mencuri pandang ke wajahnya. Raut takut mulai menghiasi mata cokelatnya.

Toni menghentikan langkahnya, menghadap Chris dengan alis terangkat. “Karena aku merasa tidak nyaman.”

“Apa yang kau rasakan?”

“Seperti ada yang mengikuti kita. Makhluk yang tidak terlihat.”

Tatapan Chris menjelajah, mencari bayangan di antara pepohonan. “Kita sampai di kota reksa dalam beberapa menit. Kita pasti akan menemukan Allan di sana.

“Mudah-mudahan.” Toni melanjutkan perjalanannya. Suaranya bergetar. “Harusnya aku tidak membiarkannya pergi sendiri.”

“Kita semua butuh ruang. Allan suka menjauh.” Chris berusaha mencairkan suasana.

Toni melirik, tetapi tidak terhibur. “Tapi dia tidak bisa seperti ini. Dengan semua yang terjadi…entah bagaimana ia mungkin melukai dirinya sendiri.”

Mereka melangkah cepat, kegelapan semakin menyelimuti, dan angin menambah ketegangan di antara mereka.

“Kenapa kita tidak menjerit namanya?” Chris mengusulkan.

Toni memutar matanya. “Dan menarik perhatian hal lain? Kamu gila?”

“Jadi kita hanya akan terus mencari tanpa berbuat apa-apa?”

“Kita harus hati-hati.” Suaranya pelan, tapi penuh penekanan. “Kita belum tahu apa yang menghadang.”

Seorang penduduk setempat berlari melintasi jalan, wajahnya pucat dan napasnya tidak teratur. “Kalian! Cepat! Bumi mulai mengguncang!”

Toni dan Chris saling tatap bingung sejenak. Chris berteriak, “Kami mencari Allan!”

Penduduk itu menghentikan langkahnya, bibirnya bergetar. “Dia… dia mungkin ada di pusat kota! Semua orang berkumpul di sana!”

Kepanikan melanda. Toni menggerakkan tangannya ke arah jalan yang dikelilingi kegelapan. “Ayo, kita tidak punya waktu!”

Mereka berlari, menembus kegelapan saat tanah mengentak di bawah kaki mereka. Suara retakan bergema, menjadikan setiap langkah terasa lebih berat.

“Chris, hati-hati!” Toni berteriak saat sebuah batu besar menggelinding dekat mereka. Keduanya melompat ke samping, napas terengah-engah.

“Apa yang terjadi dengan tempat ini?!” Chris berseru, berlari mengikuti Toni.

“Tentu saja, ini tidak normal!”

Mereka terus berlari, suara lengkingan dan erangan semakin mendalam. Toni menata napasnya, tetap fokus di depan. Kebutuhan untuk menemukan Allan menyalakan semangatnya.

“Lihat!” Chris menunjuk ke arah pusat kota yang tampak samar. “Kita dekat!”

Toni mengangguk, sudut matanya menangkap kerumunan yang berkumpul. Suara tangisan dan raungan menambah kepanikan.

“Cepat! Kita harus bergabung dengan mereka!”

Setibanya di pusat kota, kerumunan tampak tak karuan. Penduduk berdesakan, memanggil nama-nama orang yang hilang.

“ALLAN!” Toni berteriak, berusaha menjangkau wajah-wajah di sekitarnya.

“ALLAN!” Jerit Chris, suaranya tenggelam dalam kebisingan.

Seorang wanita berhubungan dengan mereka, matanya penuh rasa cemas. “Apakah kalian melihat seorang pemuda berambut gelap? Dia memasuki gedung tua di ujung jalan.”

“Terima kasih!” Toni menyahut cepat sebelum melanjutkan ke arah yang ditunjuk.

“Chris!” Ia menengok, “Ayo!”

Mereka berlari menuju gedung tua yang berdiri angkuh. Dindingnya retak, seakan mengingatkan mereka akan kerapuhan yang mengancam.

Chris menendang pintu, suara berderak keras bergema di dalam. “Allan!” Ia meneriakkan namanya.

Berkali-kali hanya ada keheningan. Bahkan napas mereka pun menjadi senyap.

“Mungkin…” Toni merenung, khawatir. “Mungkin dia sudah pergi.”

“Tidak! Dia pasti ada di sini!” Chris menggenggam harapan.

Tiba-tiba, bayangan bergerak dari dalam kegelapan. Seorang remaja muncul, baju penuh debu dan wajahnya kucel.

“Allan!” Toni berlari menghampiri. “Kamu baik-baik saja?”

Allan mendengus, napasnya cepat. “Aku mendengar suara… suara aneh.”

“Suara apa?” Chris bertanya, curiga.

“Sepert bisikan. Seakan tempat ini sedang memanggil kita.”

Toni merapat, merasa sesuatu tidak beres. “Apa kau sudah mendengar itu lama?”

Allan mengangguk, wajahnya pucat. “Ya, begitu gelap di luar. Aku merasa seperti terjebak.”

Chris merengkuh bahu Allan. “Kami mencari mu ! Kita harus keluar dari sini segera.”

“Ke mana?” Allan mengerutkan dahi.

“Pusat kota,” Toni menyela, suaranya penuh desakan. “Kita harus memperingatkan orang lain.”

Menghentikan langkahnya, Allan memperhatikan kerumunan di luar. “Aku rasa kita bukan satu-satunya yang merasakan ini, Toni.”

Sebelum Toni bisa merespons, bumi berguncang lagi, lebih kuat kali ini. Semua orang berteriak, berlarian pincang dan bingung.

“Lari!” Chris memerintahkan. “Sekarang!”

Mereka berlari sejajar, saling mengejar satu sama lain agar tetap bersatu dalam kegilaan itu. Suara teriakan menghampar, sementara tanah terbelah di depan mereka.

Toni terbangun dari lamunannya. “Ada sesuatu yang salah. Kita tidak bisa tetap di sini.”

Mereka bergegas menembus kerumunan, berusaha menemukan jalan keluar di antara reruntuhan yang berjatuhan. Tanah terus bergetar, seakan dunia ingin menyuruh mereka pergi.

“ALLAN!” Chris berteriak saat sosok kakak laki-lakinya terbelah dari kelompok.

“Aku di sini!” Allan perlahan mendekat, namun setiap langkahnya terasa ragu.

“Segera, sebelum semuanya berantakan!” Toni menarik tangan Allan, menarik semua orang maju setelahnya. Kegelapan menunggu di belakang, memanggil dengan suara berbisik berbahaya.

Mereka sekarang dalam bala bantuan, tetapi bahaya mengincar dari segala arah.

“Ke mana kita harus pergi?” Allan bertanya, ketakutan memenuhi matanya.

“Ke tempat aman. Kami harus menemukan tempat yang tidak terpengaruh!” Chris menjawab tegas, tetapi dalam hatinya, dia meragukan semua itu.

“Cepat!” Toni memberi semangat, namun hatinya bergetar, teringat akan semua yang terjadi dengan kota reksa.

Bumi menggelinding untuk terakhir kalinya. Dan dalam kegelapan, mereka bertiga melanjutkan, mencari harapan di balik rasa takut yang tak pernah padam.“Melihat gedung itu!” Chris menunjuk ke arah bangunan tua di sebelah kiri, matahari senja menyinari dindingnya yang rapuh. “Kita bisa berlindung di sana!”

Toni melirik, terlalu lelah untuk berdebat. “Baiklah, cepat!”

Mereka berlari ke arah gedung. Suara gemuruh di bawah kaki mengingatkan mereka akan waktu yang terbatas.

“Bawa Allan!” Toni berlari di samping Chris.

“Allan!” Chris berusaha meraih tangan saudara kembar Toni, tapi Allan ragu.

“Kita bisa cari tempat lain,” Allan menggigit bibir, khawatir.

“Tidak ada waktu untuk itu! Kita harus bergerak!” Toni mendesak, menghela napas berat.

Saat sampai di pintu gedung, mereka mendorongnya dengan keras. Pintu berderit, menampakkan ruang yang gelap dan berdebu.

Toni melangkah masuk terlebih dahulu, diikuti Chris dan Allan. Kegelapan menyelimuti mereka. Hanya suara napas yang terdengar.

“Kita harus menemukan senter,” Chris berkata, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang minim.

“Lihat!” Allan menunjuk ke pojok ruangan. “Ada beberapa barang di sana!”

Mereka berlari ke arahnya. Dalam gelap, sebuah meja kayu tua tampak kumuh. Berbagai benda berserakan, termasuk senter. Chris mengambil senter itu dan menyalakannya. Cahaya yang lemah menyebar di sekitar, menciptakan bayangan misterius di dinding.

“Cukup untuk sementara,” Toni berkata, mengawasi sekeliling.

“Bagaimana kalau kita bersembunyi di sini?” Allan menunjuk ke sudut ruangan. “Jangan terlalu terlihat.”

“Setuju,” jawab Chris. “Kita butuh strategi sebelum keluar lagi.”

Mereka menumpuk beberapa barang di belakang untuk sembunyi. Setiap detik terasa lebih lama, seakan waktu memperlambat gerakannya.

“Toni, kau merasa?” Allan tiba-tiba bertanya.

“Merasa apa?” wajah Toni berkerut, mencari makna dari pertanyaan itu.

“Sepertinya ada sesuatu yang menonton kita,” Allan mengerutkan dahi.

Chris mengangguk, meresapi suasana. “Ya, aku juga merasakannya. Seolah ada yang mengawasi kita dari kegelapan.”

“Harusnya kita tidak berada di sini,” kata Toni. “Kita harus keluar sebelum terlambat.”

“Tapi ke mana?” Allan bertanya penuh ketidakpastian.

“Kita bisa kembali ke pusat kota dan mencari bantuan,” Chris berani melontarkan ide.

“Lalu kita akan terjebak lagi,” Toni mendesak.

“Bisa jadi mereka lebih aman di tengah keramaian,” Allan menyela.

Suara di luar semakin keras. Teriakan, langkah, dan toh suspensi menghalangi pemikiran mereka. Ruangan terasa semakin menyusut, mengurung mereka dengan rasa tercekik.

“Allan!” Chris menatap tajam. “Apa kau yakin tentang suara yang kau dengar?”

Allan mengangguk, “Sejak kita di danau, suara itu ada. Bisiskan hal-hal aneh.”

“Bisikan apa?” Toni menyela, pikirannya berkecamuk.

“Sulit dijelaskan. Seolah ada sesuatu atau seseorang yang ingin kita dengar.” Raut Allan semakin ketakutan.

Chris menatap sekeliling gelap. Sesuatu bergetar di dalam dirinya. “Ada yang tidak beres,” katanya pelan. “Apa kita benar-benar aman di sini?”

Toni beringsut lebih dekat, menempelkan punggungnya pada dinding. “Kita tidak bisa menjadi lebih terjebak daripada sekarang.”

Mereka terdiam, saling bertukar pandang. Ketiganya terbenam dalam ketegangan yang menyesakkan.

Cahaya senter terpantul di dinding, menampakkan bayangan lemah. Suara langkah semakin menghampiri, benar-benar mendekat.

“Dengar!” Chris berbisik ketakutan. “Ada yang datang!”

“Apakah itu mungkin penduduk?” Toni coba berpikir positif.

“Kalau mereka dalam keadaan panik seperti kita?” Allan berbicara meragukan.

Kreatur tak terlihat terlihat menghalangi jalan. Suara derapnya menambah rasa ngeri.

“Toni, kita tidak bisa tinggal di sini!” Chris seru pelan, nada suaranya mulai meningkatkan ketegangan.

“Siapa pun itu, kita harus menghadapi!” Toni berkata,

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!