Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Langkah pertama
"Aku sengaja ingin memberimu kejutan, tapi sepertinya kedatanganku biasa saja buat kamu," ucap Adisti di sela pelukannya bersama sang suami.
"Tidak dong, Sayang! Aku senang banget akhirnya kamu bisa pulang juga. Berhari-hari aku tidur sendirian, rasanya gelisah sekali."
"Benarkah?" tanya Adisti sambil mengurai pelukan dan menatap wajah sang suami.
"Iya dong, Sayang. Cuma kamu yang selalu membuat aku rindu dan tidak mau jauh-jauh sama kamu. Kamu saja yang selalu pergi ke luar negeri karena pekerjaan kamu."
"Kan ini memang pekerjaan aku," sahut Adisti yang kemudian teringat sesuatu dan bertanya, "Kamu tidak lupa hari ini hari apa, kan?"
"Tentu, aku tidak akan lupa," sahut Bryan yang kemudian mencari sesuatu di dalam tas dan memberikan kepada Adisty. "Selamat ulang tahun pernikahan, Sayang. Semoga pernikahan kita langgeng selamanya hingga kakek nenek, bahkan sampai ajal menjemput."
"Amin."
Wanita itu mengajak sang suami ke ruang keluarga, di mana dia sudah menyiapkan semuanya untuk sang suami. Tampak Bryan begitu terkejut dengan apa yang disiapkan sang istri. Dia tidak menyangka jika Adisti akan menyiapkan semuanya.
"Ini kejutan dariku untukmu. Selamat ulang tahun pernikahan juga. Aku harap kamu menyukainya," ucap Adisti, yang sengaja tidak ingin mengucapkan doa di hari ulang tahun pernikahan ini.
Entah kenapa lidahnya terasa keluh untuk mengucapkan kalimat tentang masa depan pernikahan mereka. Rasanya hati dan pikiran saat ini sedang terpecah belah, lebih baik dia membicarakan hal lain.
"Tentu saja aku suka. Kamu memang istri kesayanganku dan aku harap kamu tidak akan pernah berubah, selalu baik dan patuh seperti ini selamanya."
"Tentu saja aku tidak akan berubah, selama kamu juga setia bersamaku. Kamu tahu 'kan aku paling tidak suka dikhianati. Kalau sampai kamu melakukannya, maka kamu tahu sendiri apa akibatnya," ujar Adisti yang terlihat begitu santai, berbeda dengan Bryan yang saat ini tubuhnya sudah menegang.
Pria itu tampak begitu terkejut. Namun, itu hanya untuk sementara saja. Dia mencoba kembali tersenyum, berusaha untuk menutupi apa yang dirinya rasakan. Namun, sayangnya Adisti lebih dulu mengetahuinya dan bersikap biasa saja, lebih tepatnya berpura-pura b*d*h.
"Bryan sudah pulang, sebaiknya aku juga pulang. Aku tidak mau dijadiin kambing c*ngek di sini, sementara kalian mau mesra-mesraan," ujar Arsylla yang sengaja ingin mengalihkan pembicaraan.
Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan pasangan suami istri itu. Namun, gadis itu tidak ingin ikut campur, biarlah menjadi urusan mereka. Meskipun dia adalah sahabat mereka, tetapi bukan berarti segala urusan Adisti dirinya harus ikut campur.
"Kenapa buru-buru? Kamu ikut saja sama kita. Lagian aku juga sudah pesan makanan sebanyak ini, memang buat apa lagi? Daripada nanti mubazir dan terbuang," sahut Adisti, tidak biasanya wanita itu meminta sahabatnya tinggal.
Biasanya disaat seperti ini, dia hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja bersama dengan suaminya. Maka dari itu, Arsylla yang sudah mengerti kebiasaan sahabatnya pun memilih pamit pulang, tetapi kenapa sekarang malah Adisti yang menginginkan dirinya untuk tetap di sini. Rasanya aneh saja, tetapi akhirnya Arsylla pun tetap tinggal dan ikut merayakan ulang tahun pernikahan kedua sahabatnya.
"Maaf, ya, Bang. Hari ini aku nggak masak, baru datang juga jadi, aku pesan saja," ujar Adisti dengan memasang wajah merasa berdosa.
"Tidak apa-apa, selama ini aku juga tidak pernah menuntutmu untuk selalu memasak setiap hari. Lagi pula di rumah juga ada bibi, tapi kamu selalu saja repot menyiapkan segala sesuatu untukku."
"Aku hanya melakukan tugas sebagai seorang istri saja. Aku takut nanti tidak bisa lagi menjalankan peranku, lagi pula menyenangkan suami juga bisa mendapatkan pahala."
Bryan merasa aneh dengan kalimat yang dikatakan oleh Adisti. Namun, sebisa mungkin pria itu menepis segala pikiran buruk.
Ketiganya pun mulai menikmati makan malam dengan tenang. Sesekali Arsylla melirik ke arah Bryan dan Adisti. Dia merasa ada sesuatu diantara pasangan suami istri itu. Biasanya saat sedang berdua seperti ini, Adisti selalu bermanja-manja dengan suaminya, sekalipun di tempat umum, tetapi kenapa sekarang biasa saja.
Bryan pun merasakan hal yang sama. Saat melihat ke arah Arsylla, pria itu menaikkan alisnya, seolah bertanya apa yang terjadi pada sang istri kenapa acuh padanya. Namun, Arsylla hanya menghendikkan kedua bahunya tanda tak mengerti.
"Sayang pekerjaanmu kemarin bagaimana di luar negeri?" tanya Bryan yang tidak tahan dengan keterdiaman Adisti jadi, dia memulai pembicaraan.
"Baik, Bang," jawab Adisti singkat, semakin membuat hati Bryan bingung harus berbuat apa. Apalagi dia menatap ke arah Arsyilla agar temannya itu mau membantu. Namun, sepertinya sama saja, sahabatnya tidak memiliki pembicaraan yang membuat Adisti banyak bicara.
"Oh ya, Bang. Bulan depan aku ada pengerjaan proyek baru untuk peragaan busana, tapi aku butuh modal karena memang peragaan busana kali ini itu juga sangat besar. Aku boleh 'kan minta uang sama kamu, kalau kamu nggak boleh juga nggak apa-apa deh, aku pinjam saja. Nanti kalau sudah selesai dan aku sudah mendapat keuntungan, aku akan kembaliin uangnya sama kamu. Selama ini juga aku tidak pernah minta uang belanja sama kamu, semua keperluan keluarga selalu aku yang handle jadi, pasti tabungan kamu sekarang sudah banyak. Uang yang aku pinjam pasti tidak ada apa-apanya," ujar Adisti panjang lebar, yang membuat Bryan mati kutu.
Pria itu tidak tahu harus berkata apa karena nyatanya uang yang ada dalam tabungannya hanya beberapa saja. Dia yakin uang yang dibutuhkan oleh Adisti juga tidak sedikit karena Bryan sering melihat transaksi yang dilakukan oleh istrinya. Apalagi sekarang Adisti bilang ini proyek besar, pasti juga akan mengeluarkan uang yang begitu banyak.
"Me–memangnya berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Bryan tergagap.
"Tidak banyak, Bang, hanya sekitar seratus juta saja. Aku yakin uang tabungan kamu juga sudah lebih dari itu. Aku pinjam saja, kok! Nanti aku balikin lagi."
Bryan menelan ludahnya susah payah, sesekali dia melirik ke arah Arsylla seolah meminta bantuan agar membantunya. Namun, gadis itu sama sekali tidak mau melihatnya. Dia tidak ingin terlibat dalam masalah mereka. Lagi pula Arsylla juga bingung harus mengatakan apa pada, dia sendiri juga tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Bang, nanti tolong transfer ke rekening aku, ya? Soalnya semua persiapan harus mulai besok. Aku juga harus membeli kain dengan kualitas yang paling bagus agar menghasilkan karya yang indah. Aku tidak mau ada sedikit saja kekurangan dan membuat usahaku hancur begitu saja."
"Tapi, Sayang, aku ... aku ...."