NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayah

Kepalaku masih terasa berat setelah tadi sempat tertidur, jarum jam dipergelangan tanganku telah menunjukkan pukul 15.32. Aku akan bertemu ayah lagi setelah bertahun berlalu, setelah pertengkaran hebat kami beberapa tahun lalu. Bukan tak rindu, hanya saja, buat apa rindu jika hanya mempertebal luka? Sungguh, jika dipertanyakan seberapa dalam rinduku, mungkin lebih besar dari luka yang akan ku terima akibat memupuk rindu. Lebih baik bagiku untuk menatap dari kejauhan seperti selama ini.

Sudahlah, melihat beliau masih sehat saja itu sudah cukup. Semua tentang Ayah hanya ku simpan rapat diruang tersendiri di hatiku, bersama mama, saat semua masih terasa indah dan sempurna. Tentu saja, semua pernah sempurna pada masanya, saat dimana aku merasa aman dan terlindungi. Saat dimana hanya ada bahagia tanpa takut terluka.

Hingga tiba saat itu, dimana patah hati terbesar selama hidupku terjadi. Aku yang tak siap dan tentu takkan pernah mempersiapkan diri untuk kehilangan, tumbang. Aku rapuh, sungguh. Aku kehilangan separuh hidup dan nyawaku. Terlalu tiba-tiba, terlalu cepat. Linglung, tak tahu harus bagaimana. Terdiam disudut ruang serba putih, menatap nanar para tenaga kesehatan membacakan sesuatu yang menghantam titik lemahku.

"Ibu Alana Zain, meninggal pada hari selasa, 19 Oktober 2010 pukul 18.58. Kami turut berduka cita, dek .... " Aku bahkan tak mendengar apa yang diucapkan dokter kepadaku.

Entah kemana ayah saat itu, yang ku tahu segalanya seperti melambat, dan akhirnya berhenti. Duniaku berhenti berputar, aku tak berdaya dan mengaku kalah pada takdir. Aku memang terlihat tegar dan bahkan mampu mengurus kepulangan jenazah mama. Aku memang sudah bersiap sejak beberapa waktu lalu, dan harusnya tahu bahwa hari ini pasti akan tiba, tapi tetap saja, kehilangan adalah kehilangan. Tak kan ada manusia yang akan terbiasa meski telah menyiapkan hati untuk kehilangan itu sendiri.

Mama memiliki riwayat hipertensi, dan satu tahun terakhir itu beliau terus berjuang, namun apa daya, salah satu pembuluh darah di kepala beliau pecah hingga menyebabkan kebutaan dan stroke. Aku ingat, bagaimana aku begitu akrab dengan rumah sakit, sampai jadwal shift para dokter dan suster di bangsal melati aku hapal, pun dengan keamanan rumah sakit. Bagaimana tidak? Aku berangkat sekolah pun dari rumah sakit, pulang sekolah aku kembali ke rumah sakit, belajar dan mengerjakan tugas sekolah tentu di ruangan itu.

Ayah memang menemaniku, namun entah sejak dua bulan sebelumnya Ayah tampak sedikit menghindariku. Frekuensi beliau untuk ada di sisi mama mulai berkurang. Aku tak bertanya, karena ku pikir pekerjaan dikantornya memang sibuk, sampai hari dimana mama pulang, ayah tak jua menampakkan diri. Tak terhitung jumlah panggilan keluar di handphone-ku untuk ayah, namun tak satupun bisa terhubung. Aku menyerah, aku menghubungi Ibu agar segera menyiapkan tempat dan mengabari perangkat RT.

Sampai dirumah, aku masih bisa memberikan arahan untuk beberapa tetanggaku yang membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Mondar mandir menemui para pelayat, tegar, itulah kata yang ku dengar dari mereka. Entah kemana menguapnya air mataku, seakan kering, seiring mengeringnya semangatku. Sungguh tak terpikir kemana ayah saat itu, aku hanya berfokus untuk mama. Tak lama, Ian dan yang lainnya mulai berdatangan, mengambil alih tugasku. Aku duduk disamping jenazah mama, menatap sekali lagi wajah dingin itu. Ah, lihatlah, betapa cantik malaikatku ini. Bahkan saat inipun senyum tak hilang dari bibir indahnya. Betapa damai tidurnya, seolah beliau bisa terbangun lagi dan menggodaku seperti biasa. Seakan beliau berkata bahwa ia ada di tempat yang indah. Tentu saja, mama adalah orang baik, tentu Tuhan yang maha baik akan memberikan tempat terbaik untuk mama.

Masih ku ingat jelas kata terakhirnya saat itu, sehari sebelum pulangnya, karena penyakitnya, beliau seperti terkena demensia, terkadang ingat dan terkadang lupa padaku. Namun hari itu, beliau mengenaliku, walau matanya tak melihat, ia masih bisa mengenali kami, ada aku dan Mas Dwi.

"Aya? sama siapa nak?" tanyanya setelah terbangun

"Sama Mas Uwik, ma. Mama butuh apa? mau makan?" tawarku

"Nggak, nak. Uwik udah lama, nak?" Beliau bertanya

"Lumayan, ma. Tadi siang, abis dari bandara pulang sebentar langsung kesini. Maaf ya Ma, Uwik jarang nengokin mama. Tau gitu dulu Uwik kuliah di sini aja buat nemenin Mama."

"Nemenin Mama apa Aya? Hahaha ... Ngga ada yang mama inginkan lagi, nak. Kecuali Aya sehat, Aya jadi anak sholeha, bakti sama orang tua. Dan mama ingin kelak ada yang jagain Aya seperti Uwik ngejaga Aya. Mama tau, nak. Meskipun diantara kalian berlima, yang paling jauh dari sini itu Uwik, tapi Nak Uwik yang paling dekat. Mama mungkin terkadang lupa, tapi mama masih ingat gimana Uwik asal ada waktu senggang pasti nelpon, khawatir sama Aya, makannya, minumnya, bahkan untuk tugas sekolah Aya, Uwik pasti ingetin dan nyuruh yang lain buat bantuin Aya ngerjain kan? Mama harap, kalau mama bisa minta sama Tuhan, pengennya jodoh Aya kelak ya Nak Uwik ini, kalaupun Tuhan punya rencana lain, mama harap jodohnya Aya ngga jauh sifat dan sikapnya kaya Uwik."

"Iya, Ma. Uwik bakal jagain Aya kok. Mama jangan khawatir, Doain kami, biar beneran berjodoh. Kan doa Ibu bisa menggetarkan Arsy Allah, Ma. Bantuin Uwik merayu Allah, ya Ma."

Untuk alasan itu pula, aku menghindar untuk sekedar membayangkan menerima perjodohan teman-temanku dengan Mas Dwi. Aku dan Mas Dwi memang paling dekat diantara limas segi lima -nama pilihan Ian untuk kami, dan itulah pemicu mereka untuk menjodohkanku dengan Mas Dwi. Namun, aku tak ingin Mas Dwi terbebani olehku, ia berhak bahagia. Aku takut, takut kecewa andai nanti akhirnya ia menerimaku karna teringat pesan mama kala itu.

Ku akui, bahkan kala pertama menginjak negara Korea Selatan, aku terserang flu karena perubahan cuaca, tubuhku tak bisa cepat beradaptasi dengan negara empat musim, ia rela mengunjungiku, ia yang kala itu tengah berada di Amsterdam untuk melanjutkan S2. Butuh waktu belasan jam untuk sampai di Seoul, dan benar saja, sore itu ia sudah berada di depan rumah sewaku. Banyak hal yang pernah kami lewati bersama, sampai dikhianati oleh orang yang kami percaya. Andi dan Nimas, ah, dua nama yang membuatku muak.

Esok paginya, setelah pemakaman mama, Ayah meminta maaf karena tak bisa dihubungi, saat itu menurut pengakuannya, beliau sedang ada di luar kota membawa nama perusahaan untuk suatu project. Aku bilang tak mengapa dan tersenyum untuk menguatkan beliau. Sungguh, sampai saat itu, satupun air mataku tak ada yang keluar. Hingga malam ke lima tahlilan mama, Ayah membawa pulang lukaku. Bahkan tanah makam mama belum kering, ia sudah mengenalkanku pada wanita itu. Mereka mengaku hanya berteman, wanita itu dan juga anaknya yang seumuran denganku.

Adakah teman yang baru diperkenalkan langsung merengek ingin tinggal bersama? Ah, aku hanya mampu tersenyum getir, mereka tak pernah bisa membohongiku, mengapa mereka tak bersabar sebentar saja? Hanya sesaat saja, setidaknya saat tahlil dan do'a untuk mamaku selesai sebagaimana mestinya. Mengapa tak menunggu dua hari lagi? Aku ikuti skenario mereka, aku malas berdebat.

Sampai kapan aku mampu bertahan? Sungguh, rasanya aku ingin menyusul mama. Aku menjadi lebih pendiam, lebih tertutup, aku membangun dinding pembatas di sekelilingku, bahkan Byan dan Wulan tak bisa menembusnya, Ian, Ryan, Ojik, dan Amri bahkan kehilangan akal. Dua bulan berlalu, nilaiku anjlok, aku tak lagi peduli pada sekitarku. Bahkan kini Ayah telah menikahi wanita itu, penoreh luka diatas luka. Hana, anak benalu itu, bahkan bermuka dua, didepan ayah dan aku, dia menjadi anak yang sangat manis, namun ketika sudah berdua dengan ayah, ia menjadi ular berbisa. Sungguh berbisa, hingga mampu memisahkan ayah dan anak.

Aku bahkan terasing di rumahku sendiri, hingga aku memutuskan keluar dari rumah itu, hingga saat ini. Kala itu aku hidup nomaden, dimanapun, sesukaku. Terkadang di rumah Ibu, kadang di tempat Ian, hingga Mas Azis memberiku kunci duplikat rumahnya. Rumah pertama yang ku datangi saat keluar dari neraka yang harusnya serasa istana itu. Terpuruk, namun sesuatu yang aku syukuri hingga saat ini adalah aku masih punya iman. Iman yang membuatku bertahan tak terjerumus hal negatif.

Hingga suatu hari, Mas Dwi datang dan memelukku yang tengah termenung di sudut teras rumah Ibu. Aku tak tahu kapan dia kembali, telpon dan pesannya yang terus ku abaikan sepertinya alasan ia berada disini. Ia hanya memelukku tanpa mengucap apapun, lama, entah berapa lama, hingga akhirnya aku terisak bersamanya. Untuk kali pertama sejak pulangnya mama aku menangis, entah mengapa, mendengarnya terisak membuatku merasa ingin menumpahkan tangisku. Ia tak mengatakan apapun, hanya memelukku dalam diam.

Dia yang selalu menyentuh titik lemahku, dia yang selalu bisa membuatku menumpahkan sesakku, dia yang selalu menemani dan selalu berusaha untuk ada. Raganya memang jauh, tapi aku merasa dia ada disampingku, selalu. Nyaman, itu yang ku rasakan kala bersamanya. Ia selalu menenangkanku dengan caranya, tak perlu bertanya, ia hanya memberi bahu untukku bersandar, mendekap hangat diriku yang memang butuh dekapan.

Sejak saat itu, aku memutuskan kembali menjadi Ara yang dulu. Aku takkan hancur oleh kehancuran itu sendiri. Meruntuhkan semua benteng pertahanan yang kubuat sendiri. Tangis lega dari orang-orang yang menyayangiku semakin membuatku kuat dan bertahan. Tepukan perlahan dibahuku membuatku tersadar dari lamunan masa lalu. Ah, ayah. Semoga setelah ini, rindu di hatiku sedikit terobati. Dan semoga hubungan kami bisa membaik seperti sebelumnya, sebelum datang sang penoreh luka paling dalam di hidupku. Semoga.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!