Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#29
Happy Reading...
.
.
.
Raka duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit hampir empat jam lamanya. Jam di pergelangan tangannya telah ia lihat entah berapa kali, tetapi jarum jam seolah bergerak sangat lambat malam ini. Lorong rumah sakit terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Pintu ruang operasi masih tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda bahwa tindakan terhadap Naira akan segera selesai.
Raka menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangannya saling bertaut. Wajahnya tampak lelah, matanya memerah karena kurang tidur dan pikiran yang penuh dengan Niara. Setiap detik terasa begitu menyesakkan dadanya. Ia bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir beberapa langkah, lalu kembali duduk. Rasa takut itu semakin sulit ia kendalikan.
Tiba-tiba, ponsel yang sejak tadi berada di sakunya bergetar pelan. Raka meraih ponselnya, menatap layar ponselnya dengan harap sekaligus cemas. Nama Bi Sumi pada layar ponselnya membuatnya tersadar bahwa ada Jingga yang tanpa sengaja ia abaikan keberadaannya.
Raka menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menerima panggilan itu.
“Ya Bi,” ucapnya pelan.
“ Den,” jawab Bi Sumi dari seberang sana. Suaranya terdengar cemas. “Maaf Den, saya mengganggu.. tapi Jingga dari tadi menangis terus.”
Raka memejamkan matanya sesaat. Hatinya langsung terasa berat mendengar nama putri kecilnya disebut. “Kenapa Jingga menangis, Bi?” tanyanya lirih.
“Sejak tadi siang Jingga terus menangis mencari nak Naira, Den.” jelas Bi Sumi. “Saya sudah berusaha untuk membujuknya.. saya sudah mengajaknya bermain, tapi Jingga tidak mau. Dia terus bilang mau mama.. mau mamanya saja..”
Raka meremas ponselnya lebih erat. Ia memijit pangkal hidungnya, mencoba meredakan rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. Bayangan wajah Jingga yang menangis memanggil ibunya membuat dadanya terasa semakin sesak.
“Maafkan saya, Bi.” ucap Raka setelah menghela napas panjang. “Saya masih belum bisa pergi dari rumah sakit untuk saat ini. Naira.. kondisinya belum stabil...Bahkan semakin memburuk. Tadi Naira sempat terjatuh dari tempat tidurnya...”
“Ya Allah..” desah Bi Sumi terkejut. “Lalu bagaimana keadaan nak Naira sekarang, Den?”
Raka terdiam beberapa detik, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. “Naira sedang menjalani operasi, Bi. Kondisinya cukup serius.”
Di seberang sana, Bi Sumi terdiam. Suara napasnya terdengar berat, seakan ikut menanggung kecemasan yang sama. “Semoga Allah melindungi Naira dan anaknya,” ucap Bi Sumi lirih.
“Amin.” jawab Raka singkat. Ia kembali mengusap wajahnya dengan tangan kosong. “Untuk sementara, saya mohon Bi Sumi tetap menjaga Jingga. Tolong terus bujuk dia Jingga.”
“Iya, Den. Saya akan berusaha.” jawab Bi Sumi dengan suara penuh pengertian.
Raka mengangguk pelan meski tahu Bi Sumi tidak bisa melihatnya. “Setelah operasi selesai, saya akan usahakan untuk segera pulang.” janjinya. “Kalau Jingga bertanya, bilang saja mamanya sedang sakit dan sedang dirawat dokter.”
“Baik, Den.” jawab Bi Sumi. “Den Raka juga harus kuat, ya.”
Raka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Terima kasih, Bi.”
Panggilan itu pun berakhir. Raka menurunkan ponselnya perlahan, lalu kembali menatap pintu ruang operasi yang masih tertutup. Kini, bukan hanya Naira yang memenuhi pikirannya, tetapi juga Jingga yang mungkin sedang menangis karena merindukan sosok Naira.
Ia menyandarkan kepalanya ke dinding, menghela napas panjang. Di dalam hatinya, Raka berdoa. Ia berdoa yang mungkin sudah lama tidak ia panjatkan dengan sungguh-sungguh. Ia berharap operasi itu segera selesai dan Naira bisa kembali membuka matanya. Ia juga berharap, Jingga tidak akan kehilangan sosok ibunya.
.
.
.
Waktu berjalan begitu lambat hingga akhirnya lima jam lebih berlalu sejak pintu ruang operasi tertutup rapat. Raka masih duduk di kursi yang sama, tubuhnya terasa kaku dan pikirannya lelah. Matanya menatap kosong ke arah lorong, seolah berharap pintu ruang operasi itu terbuka dengan sendirinya.
Akhirnya, pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter keluar dengan langkah yang sedikit berat. Wajahnya tampak lelah, keringat masih terlihat di pelipisnya meski ruangan operasi itu dingin. Raka yang sejak tadi gelisah langsung berdiri, kakinya melangkah cepat menghampiri dokter tersebut.
“Dokter..” panggil Raka dengan suara yang terdengar serak. “Bagaimana keadaan istri saya?”
Dokter menghentikan langkahnya. Ia menghela napas panjang terlebih dahulu sebelum menatap Raka. Tatapan itu membuat jantung Raka berdegup semakin cepat, firasat buruk kembali menyergap.
“Operasinya berhasil.” ucap dokter akhirnya.
Raka menghembuskan napas lega, meski dadanya masih terasa sesak. “Syukurlah..” gumamnya lirih.
Namun, dokter belum selesai berbicara. “Tetapi kondisi Nyonya Naira saat ini masih kritis.” lanjutnya dengan nada serius. “Pendarahan yang terjadi cukup hebat. Kami sudah berusaha menghentikannya, namun tubuhnya masih sangat lemah. Dan....”
Raka menelan ludah. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar.tanyanya ragu, seakan takut mendengar lanjutan dari ucapan dokter.
Dokter kembali menghela napas. “Kami mohon maaf. Janin yang berada di dalam kandungan Nyonya Naira tidak dapat kami selamatkan.”
Raka terdiam. Tidak ada teriakan, tidak ada air mata yang jatuh. Hanya keheningan yang menyelimuti dirinya. Ada perasaan lain yang muncul, sebuah kelegaan yang bahkan membuatnya merasa sedikit bersalah karena merasakannya. Kepergian calon anak Naira.
“Saya mengerti, Dok.” ucap Raka akhirnya. “Yang terpenting sekarang, Naira selamat.”
Dokter mengangguk. “Untuk saat ini, Nyonya Naira masih kami rawat di ruang ICU karena masih dalam masa observasi. Kemungkinan baru besok pagi bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa, itu pun jika kondisinya stabil.”
Raka mengangguk pelan. “Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik.”
“Tentu,” jawab dokter singkat. “Kami akan terus memantau kondisinya.”
Setelah dokter pergi, Raka berdiri beberapa saat di tempatnya. Ia menatap pintu ruang ICU yang kini tertutup, membayangkan tubuh Naira yang terbaring lemah di balik pintu itu. Dadanya kembali terasa berat. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menghela napas panjang.
Beberapa menit kemudian, Raka melangkahkan kakinya menuju meja perawat. Seorang perawat perempuan menatapnya dengan ramah.
“Maaf, sus..” ucap Raka. “Saya harus pulang sebentar. Anak saya sedang rewel di rumah.”
“Baik, Pak.” jawab perawat itu. “Istri Bapak masih dalam pengawasan ketat. Jika terjadi sesuatu, kami akan segera menghubungi Bapak.”
Raka mengangguk. “Ini nomor saya..” katanya sambil menunjuk data yang sudah tercatat. “Tolong hubungi saya kapan pun, jika ada perubahan sekecil apa pun pada kondisi istri saya.”
“Tentu, Pak,” jawab perawat tersebut. “ Kami akan membantu memantau kondisi Nyonya Naira.”
Raka kembali mengangguk. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah ruang ICU. Dalam hatinya, ia berjanji akan kembali secepat mungkin. Malam itu, Raka pulang dengan perasaan yang campur aduk. Antara lelah, sedih, lega dan rasa takut akan apa yang mungkin terjadi kedepannya.
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK..