Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salapan
“Kamu tidak perlu bertanggung jawab. Ini bukan kesalahanmu, saya yang memaksa,” kata Jenara, matanya menatap Gilbert dengan pandangan kosong. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosi. Bagi Jenara, ini adalah masalah yang harus diselesaikan secara rasional, seperti bisnis.
Amarah Gilbert naik seketika.
“Apa maksudmu dengan ucapan bahwa aku tidak perlu bertanggung jawab?” Gilbert melangkah maju, posturnya yang tinggi dan tegap kini menantang dominasi Jenara. “Kau membawaku dari Indonesia ke London menggunakan pesawat pribadimu, hanya untuk mengatakan aku tidak perlu bertanggung jawab?”
Jenara menyandarkan punggungnya ke kursi, mempertahankan sikapnya yang dingin.
“Jika cek lima miliar masih kurang, saya akan berikan lagi. Tapi tolong segera pulang ke Indonesia dan anggap malam itu tidak pernah terjadi,” ujar Jenara, masih menganggap Gilbert seorang pria bayaran yang hanya membutuhkan lebih banyak uang untuk diam.
Jenara mengira, harga diri Gilbert bisa dibeli.
Kata-kata itu, sekali lagi, menghantam Gilbert Rahadiansyah tepat di ulu hati. Ia adalah seorang Chief Operating Officer, seorang eksekutif berpenghasilan multi-miliar, seorang pria yang mendefinisikan dirinya berdasarkan integritas dan profesionalisme, dan wanita ini terus melemparkan uang padanya seperti tulang untuk anjing.
Gilbert merogoh saku dalam jaketnya, tempat ia menyimpan dompetnya, untung ia sempat membawanya. Ia mengeluarkan cek yang diberikan Jenara malam itu. Cek yang sudah lecek karena ia remas dalam amarah di hari pertama.
Gilbert melemparkan cek lima miliar rupiah itu ke tengah meja. Cek itu meluncur di atas marmer mengkilap dan berhenti tepat di depan Jenara.
“Cek ini yang kamu maksud, hah!” raung Gilbert, suaranya menggelegar di ruangan itu. Emosinya yang terkunci selama dua bulan akhirnya meledak. “Saya tidak butuh! Ambil kembali uang kotor ini!”
Gilbert Rahadiansyah tidak mau kalah. Harga dirinya tidak boleh diinjak-injak, apalagi oleh wanita yang kini menggendong darah dagingnya. Wajahnya yang ditutupi riasan badut itu kini terlihat lebih menakutkan daripada penampilan paling formalnya.
“Saya Gilbert Rahadiansyah, bukan gigolo sewaanmu. Saya datang ke sini bukan untuk uang, tetapi untuk menuntut pertanggungjawaban,” desis Gilbert, menatap Jenara dengan api amarah yang menyala.
Jenara, si Ice Queen yang kaku, yang selama ini mengira segala sesuatu di dunia bisa dibeli dan diatur, akhirnya menunjukkan reaksi yang sesungguhnya. Matanya terbelalak, menatap cek lima miliar itu, lalu menatap Gilbert dengan ekspresi yang tak terbaca, antara terkejut, marah, dan sedikit takut. Ia tidak menyangka penolakan sebesar ini.
Untuk pertama kalinya, Jenara Sanjaya kehilangan kendali penuh atas situasi yang ia ciptakan sendiri.
Cek lima miliar rupiah tergeletak di meja marmer, sebuah simbol penghinaan yang kini menjadi senjata makan tuan bagi Jenara. Gilbert Rahadiansyah berdiri tegak, napasnya memburu. Baru kali ini dia berhadapan dengan wanita angkuh, lebih parah dari klien-kliennya yang menuntut ganti rugi secara masif.
Jenara Sanjaya menatap cek itu, lalu beralih menatap Gilbert. Keterkejutan di matanya hanya berlangsung sepersekian detik sebelum tembok kaku itu kembali menutup. Ia tidak akan membiarkan pria ini menang hanya karena emosi.
“Ambil kembali cek itu,” perintah Jenara, suaranya kembali datar dan dingin. “Saya tidak mengerti kenapa kamu harus bertingkah dramatis. Saya sudah bilang, kamu tidak perlu bertanggung jawab.”
Jenara mengambil napas. Ia menunjuk perutnya, lalu ruangan mewah di sekelilingnya. “Lihat saya, Tuan. Saya Jenara Sanjaya. Saya memiliki kuasa dan kekayaan yang cukup untuk menghidupi anak ini, bahkan sepuluh anak lagi, dengan standar hidup terbaik di dunia. Saya bisa memberikan kehidupan yang lebih baik tanpa campur tangan seorang pria yang saya bayar.”
Gilbert menyeringai sinis. “Dibayar? Itu adalah poin yang sangat menarik. Jadi, kamu benar-benar memandangku sebagai pria sewaan yang hanya bekerja semalam?”
“Faktanya memang seperti itu, bukan?” balas Jenara, cuek. Ia tidak merasa perlu berhati-hati dengan perasaannya.
Gilbert melangkah lebih dekat, wajah tampan nan tegas miliknya sejajar dengan pandangan Jenara. Matanya tajam, memancarkan amarah yang terpendam lama.
“Dengar, Nona Sanjaya. Kualitas hidup bukan soal harta dan kuasa yang kamu miliki, tapi soal bagaimana seorang anak hidup bahagia dengan kedua orang tuanya,” desis Gilbert, nadanya penuh penekanan. “Saya tahu kamu terbiasa menyelesaikan masalah dengan uang. Tapi anak ini, anak saya, bukan aset perusahaan yang bisa kamu masukkan ke dalam neraca keuanganmu.”
Wajah Jenara mengeras. Kata-kata Gilbert menyentuh luka lama. Ia terdiam sejenak, menatap bayangan dirinya yang kaku di jendela.
“Saya tidak percaya dengan omong kosong itu,” kata Jenara lirih, namun tetap tegas. “Saya tidak pernah punya contoh keluarga yang bahagia. Ibu saya meninggal dan Ayah saya menikah lagi setahun setelah itu. Ayah saya sibuk dengan istri barunya. Saya besar dan hidup dengan kemampuan saya sendiri, tidak ada campur tangan ayah maupun ibu tiri saya sama sekali. Cinta? Keluarga? Itu hanya ilusi yang kamu jual untuk mendapatkan simpati.”
Jenara mengangkat dagu tingginya. “Saya berhasil hidup tanpa mereka, dan anak saya juga akan berhasil hidup tanpamu. Jadi, ambil cek itu, Tuan. Kembali ke kehidupanmu. Anggap saja ini bonus yang sangat besar atas jasa yang tidak disengaja.”
Gilbert menegakkan badannya. Rasa iba yang sesaat muncul melihat masa lalu Jenara, kini berubah menjadi tekad. Ia tahu ia harus menghancurkan tembok yang mengelilingi hati wanita ini, bahkan jika itu harus melalui peperangan harga diri.
“Tidak,” kata Gilbert, suaranya kini sekeras perintah di ruang rapat. “Saya tidak akan mengambil cek itu. Dan saya tidak akan kembali. Kamu sudah mengambil kepolosanku, Nona Sanjaya.”
Jenara terkejut. “Kepolosan? Jangan konyol! Kamu pria dewasa, Tuan! Apa ruginya saya padamu? Saya sudah membayar jasa kamu dengan harga yang sangat tinggi!”
“Kerugiannya adalah kamu telah mengambil hak seorang pria untuk menjadi ayah tanpa harga. Kamu sudah mengambil keputusan untukku seolah aku tidak punya martabat!” Gilbert menunjuk cek yang tergeletak. “Dan yang paling penting, saya tidak terima dengan cara kamu memandang diri saya sebagai pria bayaran.”
Gilbert melangkah ke sisi meja Jenara, mencondongkan tubuhnya hingga Jenara harus mendongak. Hampir saja Jenara terhipnotis dengan wajah tampan itu, sungguh rupa seorang pria yang jarang Jenara temui.
“Jadi sekarang, saya yang akan mengambil alih kendali. Saya, Gilbert Rahadiansyah, memaksa untuk bertanggung jawab atas anak ini. Dan caranya hanya satu. Kamu harus menikah denganku.”
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌