HIATUS AWOKAOWKA
"Kau akan dibunuh oleh orang yang paling kau cintai."
Chen Huang, si jenius yang berhenti di puncak. Di usia sembilan tahun ia mencapai Dou Zhi Qi Bintang 5, tetapi sejak usia dua belas tahun, bakatnya membeku, dan gelarnya berubah menjadi 'Sampah'.
Ditinggalkan orang tua dan diselimuti cemoohan, ia hanya menemukan kehangatan di tempat Kepala Desa. Setiap hari adalah pertarungan melawan kata-kata meremehkan yang menusuk.
Titik balik datang di ambang keputusasaan, saat mencari obat, ia menemukan Pedang Merah misterius. Senjata kuno dengan aura aneh ini bukan hanya menjanjikan kekuatan, tetapi juga mengancam untuk merobek takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chizella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Dou Zhi Qi Bintang 7
Senja telah merangkak masuk, menyelimuti gubuk kecil Kepala Desa Wang Nan dengan selubung bayangan keemasan. Namun, di dalam bilik yang menjadi milik Chen Huang, terdapat dimensi keheningan yang berbeda—sebuah kedamaian yang berharga, diukur bukan dari ukuran ruangannya yang mungil, melainkan dari ketenangan jiwanya yang ia temukan di sana. Tempat ini, sungguh, adalah sebuah altar di mana fondasi takdirnya akan ditempa kembali.
Udara di dalam kamar terasa tebal, dipenuhi dengan kabut tipis partikel Dou Qi yang tersebar dan menari-nari tanpa tujuan. Partikel-partikel energi itu berkilauan layaknya debu permata yang tersia-sia.
Di tengah pusaran cahaya statis itu, Chen Huang mengatur tubuhnya. Gerakannya menuju posisi meditasi adalah sebuah ritual yang penuh presisi dan kontrol mutlak.
Punggungnya, perlahan namun pasti, menemukan keselarasan sempurna, tegak lurus seolah menopang langit-langit yang rendah. Setiap otot di bahunya melembut dan jatuh, menandakan pelepasan ketegangan duniawi.
Kedua telapak tangannya terangkat, ibu jari dan telunjuk saling bertemu dalam bentuk segel mudra kuno, sebelum akhirnya diletakkan dengan keanggunan sempurna di atas lipatan pangkuannya. Tirai kelopak matanya turun, menutup rapat pandangannya dari dunia fisik, mengalihkan fokusnya sepenuhnya ke samudra batin.
Dalam keheningan yang mendalam itu, sebuah melodi lembut, halus, dan penuh kekuatan, merambat dari inti kesadarannya.
Itu adalah suara Yue Chan, sebuah bisikan eterik yang terasa bagai embusan napas dewi, yang membelai.
Suaranya memicu resonansi lembut di dada Chen Huang, seolah gelombang suara itu sendiri adalah energi murni yang terangkai menjadi kata-kata.
Suara itu bergema. "Sekarang mulailah dengan menstabilkan Dou Qi milikmu,"
Jeda sesaat, di mana keheningan kamar terasa memadat, kemudian instruksi berikutnya mengalir, setenang sungai kristal.
"Bayangkan sebuah titik, lalu kumpulkan Dou Qi-mu di sana."
Chen Huang merespons instruksi yang penuh daya pikat tersebut, menggerakkan 'jemari batin'nya ke arah Dou Qi yang tersebar. Ia tidak memaksa, melainkan memanggil. Perlahan, partikel-partikel energi di udara mulai berdesakan dan membentuk arus tak terlihat yang bergerak menuju satu titik fokus ke dahi Chen Huang.
Penyerapan dimulai. Dou Qi itu menyusup melalui pori-pori kulitnya dengan kelembutan yang membuai, bukan tusukan. Setiap tetes energi yang ditarik adalah kemenangan kecil, sebuah pengembalian harta karun yang sempat hilang.
Ketika gelombang Dou Qi memasuki ruang tengkoraknya, ia tenggelam ke dalam wilayah tak berbatas di lautan kesadarannya. Di sana, di kedalaman jiwa, Dou Qi yang kacau itu mulai mengikuti hukum alam yang baru.
Mereka berputar, membentuk pusaran mini yang semakin lama semakin solid. Di bawah tatapan batin Chen Huang, Dou Qi yang terbuang sia-sia itu terkumpul menjadi inti yang padat dan bersinar, bersemayam di pusat lautan mentalnya.
Kini, bukan hanya energinya yang kembali, tetapi fondasinya telah kokoh terpatri. Kekacauan telah digantikan oleh ketertiban, dan pemborosan telah berubah menjadi pilar kekuatan.
Di kedalaman lautan kesadarannya, tempat Dou Qi baru saja berkumpul menjadi inti yang bersinar, Chen Huang menemukan dirinya berdiri di hadapan suatu anomali. Lautan itu sendiri adalah hamparan air mental yang gelap, namun di depannya, menjulang tinggi dan menantang horizon batin, berdirilah sebuah tembok.
Tembok itu bukanlah ilusi belaka; ia adalah manifestasi nyata dari setiap keraguan, setiap kegagalan, dan setiap batas yang pernah dikenakan padanya.
Berwarna hitam pekat, seperti obsidian yang dimuntahkan dari jurang terdalam, permukaannya dihiasi ukiran-ukiran simpel—lambang-lambang kuno kegagalan, stigma penghinaan yang tertulis abadi dalam sejarah pribadinya. Ketegasan arsitekturnya menyuarakan kekokohan dan kepastian. Ia adalah penjara tanpa jeruji yang telah menahannya selama bertahun-tahun.
Chen Huang mendongak. Lehernya menegang saat ia menatap puncak tembok yang seolah menusuk langit batinnya. Kemudian, pandangannya beralih, turun ke tangan batinnya yang kini menggenggam sebuah buku. Kitab itu, sebuah pusaka kebijaksanaan yang diwujudkan oleh bimbingan eterik Yue Chan, terasa dingin dan berat, mengandung bobot pengetahuan abadi.
Hanya pandangan sekilas ke sampul sudah cukup untuk memicu gelombang gairah intelektual. Jantung batinnya berdebar, resonansinya terasa nyata di samudra kesadarannya.
Teknik Pemecah Segala Hukum, Bab Pertama: Pemecah Langit.
Chen Huang memperhatikan setiap lekuk aksara yang menjadi judul tersebut, seolah mencoba memecahkan kode rahasia yang tersembunyi di baliknya. Jari-jemarinya yang mental perlahan dan penuh hormat mulai menelusuri tiap halaman kitab kuno itu. Setiap sentuhan terasa seperti membalik lapisan waktu. Matanya menyerap deretan kata-kata yang begitu rumit, begitu berlapis makna, namun entah mengapa, setiap konsep terasa jernih—seakan ia telah menunggu momen ini untuk memahami bahasa universal dari kekuatan.
Tulisan-tulisan kuno itu, alih-alih sekadar tinta di atas kertas, seakan-akan hidup. Mereka tidak dibaca, melainkan merayap masuk ke dalam otak batinnya. Setiap karakter bersinar dengan cahaya dingin, membentuk pola-pola rumit di antara sinapsis mentalnya. Kitab itu tidak lagi memberinya instruksi; ia menanamkan pemahaman, mematrikan kebenaran yang harus ia lakukan.
Sebuah mantra, inti dari teknik itu sendiri, mulai terukir di tulang punggung kehendaknya.
Saat dunia menuliskan batas, aku melapisinya dengan kehendak.
Saat langit menetapkan hukum, aku meretakkannya dengan satu helaan napas.
Di antara sunyi semesta yang membeku, langkahku menjadi palu takdir.
Menghancurkan belenggu, membelah aturan, meremukkan fondasi yang dianggap abadi.
Semua konsep, energi, dan filosofi ini mengalir deras ke dalam otak Chen Huang, sebuah banjir kesadaran yang menaikkan tingkat pemahamannya secara eksponensial. Ia merasakan sesuatu yang berubah dari intinya, bukan hanya sekadar kekuatan, melainkan izin yang diberikan pada dirinya untuk menolak realitas yang membatasi.
Dengan pemahaman yang membara, Chen Huang berdiri di hadapan tembok besar itu, penghalang yang selama ini mengejek dan mengikatnya. Kemarahan dan tekad memahat fitur wajah batinnya. Tangannya dikepalkan begitu kuat hingga buku itu lenyap, tergantikan oleh dendam murni.
Di kepala batin Chen Huang, kilasan memori muncul secepat badai pasir, semua kata-kata pedas yang dilontarkan orang-orang saat ia gagal, tawa-tawa sinis yang menusuknya lebih tajam daripada belati, memekakkan telinga kesadarannya. Perasaan kesal dan benci yang dingin ini kini tidak lagi menghancurkan, tetapi berfungsi sebagai bahan bakar.
Tangan batin Chen Huang dipenuhi Dou Qi. Energi yang baru saja ia serap dan stabilkan diaktifkan, berpusat dan memadatkan diri di kepalan tangan kanannya. Dou Qi itu bersinar dengan warna perak yang pekat, tampak seolah logam cair yang membara. Dengan gerakan yang lambat, penuh konsentrasi—sebuah penarikan yang seperti menarik busur takdir—ia menarik lengannya ke belakang, otot-otot di bahunya menegang, menjanjikan ledakan yang akan datang.
Kakinya berpijak kuat pada lantai lautan kesadaran yang basah oleh air mental. Air itu beriak samar, seperti mengantisipasi pelepasan energi yang masif. Dalam sekejap mata yang hanya bisa diukur oleh kehendak, ia melesat ke hadapan tembok hitam itu. Kecepatannya membelah air, meninggalkan dua jejak energi yang membentang di belakangnya.
Kepalan tangan yang sarat dengan Dou Qi itu berayun ke depan, gerakannya adalah puncak dari teknik yang baru ia pahami. Itu adalah gerakan memecah, bukan memukul.
"Tinju Pemecah Hukum!" serunya, sebuah raungan batin yang mengguncang fundamental lautan kesadarannya.
Hantaman itu datang dengan kekuatan yang melampaui perhitungan. Tinju yang diselimuti Dou Qi perak bertemu dengan tembok obsidian. Tidak ada suara dentuman keras; sebaliknya, terdengar suara retakan eterik, seolah belenggu itu sendiri yang robek. Tembok itu tidak hanya bergetar—ia meledak ke dalam dirinya sendiri. Seketika, tembok belenggu yang kokoh itu hancur berkeping-keping, menjadi puing-puing runtuh yang melayang dan berputar di lautan kesadaran.
"Sekarang kendalikan Dou Qi-mu! Serap semua Dou Qi yang tertahan!" suara Yue Chan menggema, nadanya tajam dan mendesak, memaksa Chen Huang untuk segera bertindak di tengah euforia kehancuran.
Chen Huang mematuhi tanpa ragu. Ia mengaktifkan kembali teknik penyerapan. Puing-puing tembok yang hancur, bersama dengan Dou Qi yang tersebar akibat ledakan, mulai ditarik ke dalam dirinya. Lautan kesadaran yang sebelumnya gelap dan rusak oleh keberadaan tembok itu kini mulai terbentuk kembali, mengalami metamorfosis total.
Air mental itu menjadi bersih, jernih kristal, mencerminkan kejernihan kehendaknya yang baru. Di atas, langit yang dulunya tertekan kini terbuka, tidak beraturan seperti dimensi yang baru ditemukan, penuh dengan nebula cahaya dan janji yang tak terbatas. Chen Huang berhasil, ia tidak hanya menembus batas, ia menghancurkan penjara mentalnya.
Kembali ke rumah Wang Nan.
Chen Huang tersentak, kelopak matanya bergetar sebelum terbuka perlahan. Sisa-sisa perjuangan batin itu terlihat jelas di tubuh fisiknya. Keringat dingin membasahi pakaiannya, dan napasnya terengah-engah, seolah baru saja berlari di padang gurun.
Ia terbaring kaku di kamarnya, tubuhnya adalah bukti perjuangan panjang dan menyakitkan untuk menghancurkan belenggu yang mengikat potensinya.
Kemudian, sebuah gelombang energi tak terlihat meledak lembut dari intinya. Seluruh Dou Qi yang tersebar di ruangan tadi, Dou Qi yang sempat ia kumpulkan namun dilepaskan dalam ledakan batin, kini ditarik kembali ke dalam meridian tubuhnya.
Boom.
Energi itu melonjak, membanjiri jalur sirkulasi. Peringkatnya melompat. Dou Zhi Qi Bintang 5 Puncak, Bintang 6... dan stabil di puncak yang baru.
Dou Zhi Qi Bintang 7!
Dia telah menerobos dua tingkat sekaligus. Penghalang sudah dihancurkan. Secara harfiah, Chen Huang sudah bebas dari belenggu yang menahannya bertahun-tahun.
Chen Huang mengangkat tangan kanannya, mengepalkan tinjunya perlahan. Kekuatan yang baru dan mendalam berdenyut di bawah kulitnya. Tekadnya kini sekeras baja, tidak hanya kuat, tetapi juga lentur. Ini adalah langkah awal yang ia mulai.