NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1. Permukaan Yang Tenang

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut melalui tirai putih tipis yang bergoyang oleh angin pendingin ruangan. Ruang makan keluarga Rayesa tampak seperti potongan dari majalah gaya hidup: meja marmer panjang, dua cangkir kopi, aroma roti panggang, dan dinding berlapis warna krem lembut yang memantulkan kesan hangat.

Nayara duduk di sisi kanan meja, mengenakan daster satin abu muda. Rambutnya yang hitam bergelombang tergerai, menutupi bahu yang terlihat sedikit kurus karena begadang terlalu sering. Di depannya, suaminya Ardan Rayesa sedang membaca koran digital di tablet, wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

Sudah beberapa minggu terakhir, percakapan mereka tak pernah lebih panjang dari sepuluh kalimat.

“Gula di kopimu aku kurangi sedikit ya.” ucap Nayara pelan, mencoba mencairkan udara yang mulai dingin sejak beberapa waktu lalu.

Ardan hanya mengangguk, matanya tetap pada layar tablet.

“Oke.” katanya pendek.

Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat hati Nayara terasa menurun beberapa derajat. Dulu, setiap pagi seperti ini selalu hangat—penuh tawa, rencana kecil, atau sekadar candaan tentang siapa yang harus menyapu balkon hari itu. Tapi sekarang, semuanya berubah seperti rutinitas tak bernyawa.

Nayara menatap Ardan dalam diam. Wajah yang dulu begitu akrab kini terasa asing baginya. Dagu tegas, kulit yang makin cerah karena perawatan mahal, dan setelan kemeja putih yang terlalu rapi untuk seseorang yang dulu tak peduli pada penampilan.

Ardan berbeda. Terlalu berbeda.

Ia bukan lagi pria yang dulu ia kenal saat masih berdua di kontrakan sempit, makan mi instan sambil berbagi sendok karena tak punya cukup piring.

Ardan kini seorang CEO perusahaan arsitektur besar.

Sementara Nayara—perempuan yang pernah jadi tangan kanannya, sekaligus alasan di balik kerja kerasnya—sekarang hanya jadi istri yang menjaga rumah besar dan diam di balik pintu kayu jati.

Namun, yang paling menyesakkan adalah bukan perubahan Ardan melainkan jarak halus yang tumbuh di antara mereka—perlahan, tapi pasti.

Seolah cinta mereka sedang membeku tanpa suara.

“Jadwalmu hari ini padat?” tanya Nayara akhirnya, mencoba menembus keheningan.

“Hmm.”

Jawaban itu menggantung.

“Proyek Semesta Tower?”

Ardan berhenti sebentar, lalu menatapnya sekilas. “Ya. Ada rapat investor juga.”

“Oh.” Nayara tersenyum tipis. “Mau aku siapkan bekal atau—”

“Nggak usah,” potong Ardan, suaranya datar. “Aku makan di luar. Banyak klien.”

Lalu hening lagi.

Suara detik jam di dinding terdengar lebih jelas daripada apa pun.

Nayara menggigit bibirnya perlahan, menatap jemarinya sendiri. Ada rasa yang ingin ia keluarkan—ingin bertanya apa yang salah, kenapa semua terasa asing, kenapa setiap kali ia mendekat, Ardan seperti menarik diri lebih jauh. Tapi lidahnya kelu, takut terdengar menyalahkan.

“Oke.” katanya pelan.

Ardan meneguk kopinya. Lalu berdiri, merapikan jas abu-abu muda yang sudah disiapkan Nayara sejak subuh. “Aku berangkat dulu.”

Nayara mendekat, mencoba kebiasaan kecil mereka yang dulu. “Hati-hati ya, Dan.”

Dulu, setiap kalimat itu selalu diakhiri dengan ciuman singkat di kening.

Hari ini, Ardan hanya mengangguk tanpa menoleh.

“Ya.”

Pintu rumah tertutup dengan bunyi *klik* lembut, tapi bagi Nayara, suara itu lebih mirip gema yang menandakan kesepian.

Rumah besar itu kembali hening.

Nayara berdiri di depan meja makan yang masih menyisakan secangkir kopi Ardan yang belum habis. Ia memandangi cangkir itu lama—seolah mencari sisa-sisa kehangatan yang mungkin masih tertinggal di sana.

Di luar, matahari naik semakin tinggi, menyorot langit-langit rumah megah yang dulu mereka impikan bersama. Tapi semua itu kini terasa kosong. Seperti panggung besar tanpa penonton, penuh barang mahal tapi tak ada makna.

Nayara menyentuh permukaan meja yang dingin. Dulu, tangan Ardan pernah menggenggam tangannya di sini sambil berkata,

“Kita akan sampai di titik ini, Ra. Aku janji, kalau aku berhasil nanti, kamu nggak akan kekurangan apa pun.”

Dan Ardan menepati janjinya.

Ia benar-benar membuat Nayara tak kekurangan apa pun—kecuali dirinya sendiri.

Siang harinya, Nayara duduk di ruang tamu sambil menatap foto-foto lama di rak kecil. Ada foto Ardan muda, mengenakan jaket lusuh, senyum lebar di bawah papan kayu bertuliskan Kontrakan Blok E. Ada foto mereka di hari pernikahan, sederhana tapi penuh tawa.

Ia tersenyum, tapi senyumnya getir.

Kadang ia bertanya-tanya, apakah kebahagiaan memang punya masa berlaku?

Apakah cinta bisa habis begitu saja ketika hidup mulai nyaman?

Sebuah pesan masuk ke ponselnya—dari Alia, sahabat sekaligus mantan rekan kerja.

“Ra, kamu udah makan? Aku lewat kantor suamimu tadi. Lagi sibuk banget, ya?”

Nayara menatap layar itu lama. Jari-jarinya mengetik pelan.

“Iya, mungkin. Dia lagi fokus banget akhir-akhir ini.”

“Kamu sendiri gimana? Sehat?”

“Sehat, kok.”

Kata “sehat” itu terasa seperti kebohongan kecil. Ia baik-baik saja secara fisik, tapi tidak dengan hatinya.

Nayara menutup ponsel dan memandang langit-langit lagi. Mungkin ini cuma fase.

Mungkin Ardan hanya lelah, sibuk, atau stres. Ia berusaha menenangkan diri dengan pikiran itu. Tapi entah kenapa, perasaannya berkata lain. Ada sesuatu yang perlahan menjauh darinya, dan ia tak tahu bagaimana cara menariknya kembali.

Sore hari, Ardan belum pulang.

Langit Jakarta berubah oranye kemerahan, dan Nayara menatap dari balkon kamar mereka. Ia mengenakan cardigan lembut, secangkir teh hangat di tangan, dan pandangan kosong ke arah lampu-lampu kota.

Dulu, pemandangan ini selalu ia nikmati bersama Ardan. Mereka biasa duduk di kursi rotan, bicara tentang masa depan, atau sekadar menertawakan hal-hal kecil. Tapi kini, kursi itu kosong di sebelahnya.

Angin sore membawa suara samar lalu lintas di kejauhan. Nayara menutup matanya, mencoba mengingat nada suara Ardan saat dulu memanggil namanya dengan lembut.

“Ra…”

Suara itu kini tinggal gema dalam ingatan.

Ketika malam datang, rumah masih sunyi. Jam menunjukkan pukul 22.34 saat Ardan akhirnya masuk. Nayara masih menunggu di ruang tamu dengan lampu temaram.

“Belum tidur?” tanya Ardan singkat sambil meletakkan tas kerja.

Nayara tersenyum, sedikit lega. “Baru mau. Kamu capek banget, ya?”

Ardan hanya mengangguk sambil melonggarkan dasinya. “Lumayan.”

Ia tak menatap Nayara sama sekali, sibuk dengan ponselnya.

“Aku udah siapin makan malam, mau dipanasin lagi?”

“Nggak usah, aku udah makan tadi.”

“Oh… sama klien?”

“Ya.”

Jawaban itu seperti peluru kecil yang menghantam dada Nayara tanpa darah. Dingin, tapi mematikan. Ia menunduk, berusaha menelan pahitnya udara malam.

“Oke,” katanya lirih. “Kamu mau aku ambilin air hangat buat mandi?”

Ardan menggeleng, menatap jam. “Nggak usah, aku langsung tidur aja.”

Nayara mengangguk lagi, meski hatinya menjerit ingin bertanya:

Kenapa kamu berubah sejauh ini, Dan?

Apa salahku?

Tapi ia menahan semuanya, karena ia masih percaya… cinta akan menemukan jalannya kembali—asal ia cukup sabar menunggu.

Ketika Ardan berjalan menuju kamar, Nayara memperhatikan punggungnya dalam diam.

Punggung yang dulu ia peluk setiap malam saat mereka masih menabung untuk cicilan rumah ini.

Punggung yang dulu penuh semangat, kini terasa berat dan dingin.

Nayara memejamkan mata.

Air matanya jatuh pelan tanpa suara.

Ia tahu, sesuatu dalam rumah tangga mereka sudah berubah. Tapi ia belum tahu bahwa perubahan itu akan membawa badai yang jauh lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Dan malam itu, di bawah atap rumah yang terlalu megah untuk dua hati yang sudah asing, retakan pertama mulai terbentuk.

Halus.

Tak terlihat.

Tapi nyata.

Bersambung.....

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!