Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Ethan, yang sedari tadi diam, tiba-tiba merasa terabaikan. Rasanya dia ingin terus dimanja Vanya. "Vanya, kamu tidak tidur denganku?"
Pertanyaan polos dan sedikit merajuk itu membuat semua mata tertuju pada Ethan.
"Ethan, jangan macam-macam!" kata Bu Clara yang telah bersiap untuk pulang.
"Vanya, dia siapa? Kamu sudah menikah?" tanya Nika tak kalah terkejutnya saat mendengar permintaan tanpa filter itu.
"Belum. Dia calon suamiku," jawab Vanya sambil tersenyum tipis. "Kalau kamu belum makan, kamu makan dulu gih! Kemudian dia mengikuti Ethan yang sedang berjalan menuju pintu. "Jangan asal bicara. Kak Ethan pulang saja terus istirahat."
"Iya. Aku hanya bercanda, kok," jawab Ethan, wajahnya kini kembali cerah. "Besok aku jemput kamu ke acara launching."
"Tidak perlu, aku bisa datang sendiri. Mungkin Kak Vian juga akan datang," tolak Vanya lembut.
"Ya sudah. Aku tunggu besok." Ethan masih saja menggenggam tangan Vanya, enggan berpisah malam itu. Dia semakin mendekatkan wajahnya.
"Kak Ethan, sana pulang dulu. Lalu istirahat," kata Vanya lagi sambil menoleh ke belakang untuk memastikan kedua orang tuanya tidak melihatnya.
Ethan menganggukkan kepalanya. Dia mencium pipi Vanya dengan cepat dan dalam, lalu keluar dari rumah itu.
Vanya tersenyum, pipinya merah merona, menatap Ethan yang kini masuk ke dalam mobilnya. Mobil itu melaju meninggalkan halaman rumahnya.
Kemudian Vanya kembali masuk ke dalam rumah. Dia melihat ke arah tangga. Nika sudah tidak ada di sofa. Ternyata Vian sudah menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam kamar Vanya.
"Kalau dilihat-lihat, mereka cocok juga," gumam Vanya tersenyum penuh arti, sebelum menaiki tangga.
Di dalam kamar Vanya, Vian yang akan menurunkan Nika ke atas ranjang tiba-tiba tersandung selimut yang menjuntai. Keseimbangan Vian hilang, dan mereka berdua jatuh ke tengah ranjang dengan posisi Vian berada di atas Nika.
Mata mereka bertemu. Napas Vian memburu, detak jantungnya berdebar kencang. Wajah Nika yang masih menahan sakit kini berubah memerah karena malu. Hanya beberapa senti jarak di antara wajah mereka.
Vian menelan salivanya, buru-buru dia bangkit dan berjalan cepat keluar dari kamar Vanya.
"Kak Vian kenapa?" tanya Vanya yang melihat wajah Vian memerah padam saat kakaknya itu keluar dari kamar.
"Tidak apa-apa! Panas di dalam!" Buru-buru Vian masuk ke dalam kamarnya yang berada di sebelah kamar Vanya dan mengunci diri di dalamnya.
"Aneh banget!" Vanya masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Kemudian dia duduk di dekat Nika yang sudah menggeser dirinya, berusaha menenangkan diri.
"Nika, apa yang terjadi? Kamu cerita sama aku. Jangan dipendam sendiri," desak Vanya, tangannya mengusap tangan Nika.
Nika terdiam beberapa saat, menatap Vanya dengan mata berkaca-kaca mulai bercerita. "Ibu punya hutang, Vanya. Dan aku tidak bisa membayarnya. Aku akan dijodohkan sama pria yang sudah berumur untuk melunasi hutang itu. Aku tidak mau dan melarikan diri. Tadi aku dikejar dan menyeberang jalan begitu saja hingga membuat Kak Vian tanpa sengaja menabrakku. Aku harus bagaimana, Vanya? Aku tidak mau dijual," suara Nika akhirnya pecah, dia menangis tertahan.
"Ibu tiri kamu jahat sekali!" Vanya memeluk Nika. "Kamu tenang saja, tidak usah pulang ke rumah itu. Lagian, dia itu cuma ibu tiri, berani sekali mengatur hidup kamu!"
"Bagaimana lagi. Itu rumah ayahku. Aku tidak punya tempat lain."
"Nika, kamu bisa tinggal di sini, selama kakimu belum sembuh. Atau kalau kamu mau kos, kamu tempati tempat kosku yang sudah terlanjur aku sewa, tapi tunggu sampai kaki kamu sembuh dulu. Berapa hutang ibu tiri kamu?"
Nika hanya menggelengkan kepalanya. Selama ini Vanya sudah sering membantunya. Dia tidak ingin terus merepotkan Vanya.
"Nika, bilang saja. Tidak usah merasa tidak enak," desak Vanya. "Setelah itu, buat surat perjanjian di atas materai bahwa kamu sudah tidak ada hubungan apa pun dengan ibu tiri kamu dan jika ibu tiri kamu mengganggu kamu lagi, kamu bisa menuntutnya."
"Terima kasih, Vanya. Tapi aku benar-benar tidak ingin merepotkan kamu."
"Nika, jangan bilang begitu. Biar Kak Vian saja yang mengurusnya besok. Dia pasti mau membantu."
"Vanya, tidak usah melibatkan Kak Vian." Nika menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin menerima bantuan dari Vian.
"Sssttt, kamu itu temanku satu-satunya yang paling baik dan masih setia sampai sekarang." Vanya kini merebahkan dirinya di atas ranjang. "Gimana kalau kamu menikah saja sama Kak Vian?"
"Vanya, itu tidak mungkin! Aku tidak selevel sama Kak Vian. Jangan bercanda," Nika terkejut mendengar hal itu. Meski dia tahu Vanya sangat suka bercanda, dan mungkin saja omongannya barusan hanyalah candaan saja.
Vanya hanya tersenyum. "Bukan masalah selevel atau tidak. Tapi Kak Vian yang belum mau mendekati wanita. Dia yang paling semangat mendukungku menikah, tapi dia sendiri masih jomblo."
"Vanya, mengapa tiba-tiba kamu mau menikah?" Nika mengalihkan topik agar tidak membahas Vian lagi.
"Nika, Ethan adalah pria di bar waktu itu. Pria yang juga dijodohkan denganku."
"Jadi, dia Ethan?"
"Iya, dan sekarang aku sedang hamil."
"Hamil?!" Seketika Nika tersenyum lebar. "Gak nyangka Vanya yang mageran akan jadi mommy."
"Iya, aku juga tidak menyangka. Padahal aku sama sekali tidak ada cita-cita untuk menikah dan punya anak. Semua terjadi begitu tiba-tiba." Vanya tersenyum bahagia. Saat ini, dia merasa kebahagiaannya sangat lengkap. Dia terlahir di keluarga cemara, tanpa ada masalah ekonomi, dan sekarang dia hamil tanpa merasakan mual sedikit pun. Bahkan Ethan juga sangat mencintainya.
"Selamat, ya."
"Terima kasih. Semoga saja kamu juga seger mendapatkan kebahagiaan kamu," kata Vanya. Mereka terus mengobrol hingga malam telah larut.
Sedangkan Vian yang berada di sebelah kamar Vanya, dia berdiri di rooftop. Jendela kamarnya terbuka. Ternyata dia mendengar hampir seluruh percakapan mereka, termasuk masalah Nika.
"Jadi, itu yang terjadi sama kamu?" gumam Vian. "Aku akan segera mengurusnya. Kamu tidak perlu khawatir lagi."