sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan Ibnu
Kedai kopi itu hampir tutup ketika Ibnu datang.
Lampu-lampu sudah diredupkan. Beberapa kursi ditumpuk di atas meja, dan aroma kopi yang tersisa bercampur dengan udara malam yang mulai lembap. Bio berdiri di balik bar, membersihkan mesin espresso dengan gerakan pelan dan berulang—seperti orang yang sengaja memperlambat waktu.
Ibnu memperhatikannya dari pintu cukup lama sebelum melangkah masuk.
“Lo masih di sini?”
Bio menoleh singkat. “Iya. Dikit lagi.”
Ibnu tidak langsung menjawab. Ia menggantung jaketnya di kursi, lalu bersandar di depan bar, menatap Bio dengan sorot yang terlalu kenal.
“Lo kenapa?”
Bio menghela napas kecil. “Kenapa semua orang nanya gitu sih?”
“Karena muka lo nggak bisa bohong,” jawab Ibnu tenang. “Sejak Bintang kerja di kantor Oma-nya, lo berubah.”
Bio tersenyum tipis, senyum yang tidak benar-benar ada. Ia kembali mengelap mesin, menghindari tatapan Ibnu.
“Gue baik-baik aja.”
Ibnu mendengus pelan. “Kalimat paling klasik dari orang yang jelas-jelas nggak baik-baik aja.”
Bio berhenti.
Kain lap di tangannya tergenggam erat.
Ibnu melanjutkan, suaranya lebih rendah. “Lo tau, kan… gue sahabat lo. Kalau lo diem terus, gue bakal nanya.”
Bio menunduk, lalu meletakkan kain itu di meja. Ia bersandar di bar, menatap lantai.
“Gue cuma lagi mikir,” katanya akhirnya.
“Mikir apa?”
“Mikir… apa gue masih cukup buat dia.”
Ibnu terdiam.
Bio mengusap wajahnya kasar. “Dia capek, Nu. Kerjaannya berat. Tekanan Oma-nya gede. Satya selalu ada di sana. Ngerti dunianya sekarang. Sementara gue…”
Ia tertawa pendek, pahit. “Masih di sini. Jaga kedai kopi kecil. Ngitung hari.”
Ibnu menghela napas panjang. “Terus?”
“Terus gue milih diem.”
“Kenapa?”
Bio mengangkat wajahnya, matanya terlihat lelah. “Karena gue takut. Takut kalau gue ngomong, gue keliatan nggak percaya. Takut kalau kecemburuan gue malah bikin dia makin jauh.”
Ibnu menyandarkan tubuhnya, menyilangkan tangan di dada. “Bio… lo tau nggak apa yang paling bikin orang capek?”
Bio menggeleng pelan.
“Bukan dituduh,” lanjut Ibnu. “Tapi ditinggal secara emosional.”
Bio menegang.
Ibnu melanjutkan, nadanya jujur tapi tidak menghakimi. “Lo ada secara fisik. Lo antar-jemput, lo dengerin ceritanya. Tapi perasaan lo? Lo kunci rapat-rapat.”
Bio menutup mata sejenak.
“Itu bukan dewasa,” tambah Ibnu. “Itu takut.”
Kata itu menghantam tepat di dada Bio.
“Iya,” ucap Bio lirih. “Gue takut.”
Ibnu menatapnya lama. “Takut kehilangan dia?”
Bio mengangguk.
“Takut kalau suatu hari dia sadar hidupnya bisa lebih gampang tanpa gue.”
Hening.
Suara pendingin ruangan berdengung pelan. Di luar, hujan mulai turun tipis, mengetuk kaca jendela kedai.
Ibnu menatap Bio dengan wajah yang kini lebih lembut.
“Lo inget nggak waktu dia pingsan?” tanya Ibnu pelan. “Dia nyari lo, bukan Satya. Dia manggil nama lo, bukan siapa-siapa.”
Bio membuka mata, dadanya terasa sesak.
“Bintang jatuh cinta sama lo bukan karena posisi lo,” lanjut Ibnu. “Bukan karena kedai ini. Tapi karena lo selalu jadi tempat dia pulang.”
Bio menunduk. “Tapi sekarang… gue ngerasa tertinggal.”
“Semua orang bisa ngerasa tertinggal,” jawab Ibnu. “Tapi yang bikin hubungan rusak itu bukan jarak, Bio. Tapi asumsi yang nggak pernah diomongin.”
Bio menarik napas panjang.
“Gue pengen ngomong,” katanya pelan. “Tapi tiap ketemu dia, gue malah takut. Takut salah kata.”
Ibnu tersenyum kecil. “Lo tau nggak? Kadang satu kalimat jujur lebih baik daripada seribu sikap diam.”
Bio terdiam lama.
Lalu ia meraih ponselnya dari saku celana.
Ibnu tidak mengganggu. Ia hanya menunggu.
Bio mengetik pelan, berhenti, menghapus, lalu mengetik lagi.
Aku pengen ketemu kamu. Bukan buat ribut. Tapi buat jujur.
Ia menatap layar beberapa detik sebelum menekan kirim.
Terkirim.
Bio menghembuskan napas panjang, bahunya turun sedikit—seolah beban yang selama ini ia pikul mulai retak.
Ibnu menepuk meja pelan. “Nah. Gitu.”
Bio tersenyum kecil, lelah tapi nyata. “Makasih, Nu.”
Ibnu berdiri, mengambil jaketnya. “Jangan bikin dia nebak-nebak perasaan lo. Dia udah cukup capek.”
Bio mengangguk.
Saat Ibnu melangkah keluar, Bio menatap hujan di luar jendela. Kedai kecil itu terasa lebih sunyi, tapi hatinya tidak lagi sesesak tadi.
Masalahnya belum selesai.
Cemburunya belum hilang.
Tapi untuk pertama kalinya, Bio tidak memilih diam.
Dan itu—untuknya—sudah jadi langkah besar.
...****************...