Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Anak dan mama mereka berdua.
Jam pulang di TK Kyoko—“TIIING~TIIING~!!” suara lonceng yang jernih menggema di seluruh sekolah, membuat anak-anak berhamburan keluar dari kelas dengan senyum ceria. Lintang matahari sore menyinari lorong sekolah yang berwarna biru muda, membuat lantai ubin berkilau seperti kaca. Udara terasa segar dengan bau bunga kamboja dari taman di seberang, dan suara langkah sepatu kecil yang “tap-tap-tap” bergema riang.
Catalina dan Kurumi berjalan berdampingan di lorong, tangan mereka saling menggenggam. Catalina mengayunkan tas ransel pinknya yang lucu, rambut putih gradasi pinknya berayun lembut setiap langkah. Kurumi menyentuh rambut abu-abu panjangnya yang terjatuh ke wajah, mata kiri diamond hijau dan kanan hijau muda terlihat sedikit khawatir.
“Catalina… apakah kamu mendapatkan potongan memori dari mimpi mu kemarin?” Tanyanya dengan suara yang lembut, menghentikan langkah sejenak. Dia melihat Catalina dengan tatapan yang penuh perhatian, tubuhnya sedikit condong ke depan. Udara di sekitar mereka seolah menjadi lebih tenang, bahkan suara anak-anak yang lain terasa semakin jauh.
Catalina juga berhenti, mengangkat alisnya. Dia menggeleng kepala perlahan, ekspresi wajahnya berubah dari ceria menjadi sedikit sedih. “Belum ada, Kurumi… yang jelas kita harus menunggu nya…” Katanya pelan, menyentuh dahinya dengan jempolnya. Dia melihat ke langit yang berwarna jingga dan ungu, seolah mencari jawaban di sana. “Mungkin memori itu akan muncul pada waktu yang tepat… kita cuma bisa sabar…”
Tiba-tiba, Catalina mata nya tiba-tiba bersinar. Dia melihat ke arah taman sekolah di kejauhan, di mana ayunan kayu berwarna biru muda berdiri tegak. Di depan ayunan, sekelompok anak sedang berkumpul—Yoru dengan rambut hitam pendek bergelombang dan highlight biru tua, Matsu dengan rambut hitam panjang dan bando putih, Haken dengan rambut ikal ungu gradasi merah yang terlihat penuh energi, Kasemi dengan rambut hitam panjang yang diikat dan mata ungu gelap, Rintaro dengan rambut landak kuning gradasi biru yang ceria, Mayuri dengan rambut putih kuncir dua yang tampak sedikit marah-malu, Remi dengan rambut ungu pucat yang diikat kuda, Dheon dengan rambut hijau jade rapi yang kalem, dan Asuna dengan rambut pink pendek gradasi emas yang pemalu.
Tapi yang paling menarik perhatian Catalina adalah seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang berdiri sedikit jauh dari kelompok—Shinn. Rambutnya panjang dan silver gelap dengan gradasi merah tua yang terlihat unik, melayang lembut tapi tidak pernah menyentuh tubuh orang lain. Matanya berwarna merah yang cerah, tapi tatapannya dingin seperti es, tidak memedulikan keramaian di sekitar. Dia berdiri dengan tangan menyilang di dada, punggung sedikit membungkuk, seolah ingin menghindari perhatian dan hanya menonton dari kejauhan—seolah ayunan itu tidak penting baginya, padahal matanya sesekali meliriknya dengan tatapan yang tersembunyi harap.
“Kiaahhh!!!” Catalina langsung melompat ke depan dengan gerakan yang cepat—“plak… plak…!” suara langkahnya yang ringan di lantai. Wajahnya langsung memerah, mata kiri pink dan kanan merah membesar penuh kegembiraan. Dia berjalan dengan langkah yang tergesa-gesa, tangan menyebar ke atas seperti anak kecil yang melihat mainan baru. “Shinn kecil masih terlihat imut!! dan keren!!! suki… suki banget!!” Teriaknya dengan suara yang ceria dan meriah, membuat semua anak yang berkumpul melihat ke arahnya—semua kecuali Shinn, yang masih berdiri dengan tatapan dingin, seolah tidak mendengar apa-apa.
Kurumi mengikuti langkah Catalina dengan tertawa kecil—“hihi…!”—suaranya manis. Dia mendekat, menggenggam tangan Catalina yang masih tergeletak di udara. “Shinn? kamu suka ya sama Shinn!! tapi dia kayak ga peduli ya sama apa-apa…?” Tanyanya dengan nada yang menggodek tapi juga penasaran, mata nya berkilau melihat Shinn yang masih berdiri sendirian.
Catalina mendorong pundak Kurumi dengan lembut, wajahnya sudah merah seperti apel. “Oh ya… di masa depan aku berpacaran dengan Shinn…” Bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar, menundukkan kepala seolah malu. Dia menyembunyikan wajah di balik rambutnya, tapi masih melihat Shinn dengan mata yang penuh kasih. “Dia cuma kayak gitu di luar… di dalamnya dia peduli banget lho…!”
Kurumi mata nya membesar, mulutnya terbuka lebar. “Ohh gitu… wah! Catalina!! kamu pasti ngerti dia banget ya… di masa depan kamu kalau soal percintaan sangat beruntung!!” Teriaknya dengan semangat, membuat beberapa anak lain tertawa. Dia mengangkat bahu, melihat Shinn yang sekarang baru saja melirik mereka sebentar—tatapannya masih dingin, tapi pipinya sedikit memerah sebelum dia langsung memalingkan wajah.
“ADUH… KURUMI…!” Catalina teriak dengan suara yang sedikit kesal tapi tetap ceria, wajahnya semakin merah. Dia menutupi wajah dengan kedua tangan, tubuhnya sedikit bergoyang-goyang. “Kamu itu masih kecil! jangan bilang kek gitu… malu banget!!” Bisiknya di antara jari-jari nya, tapi suara nya masih terdengar jelas.
Kurumi tertawa lagi, kali ini lebih kencang—“hahaha… hihi…!”—suaranya riang menggema di taman. Dia menggenggam tangan Catalina lagi, menariknya sedikit ke depan. “Kan kamu juga jadi kecil sekarang! sama kayak aku!! Coba deh panggil dia lagi—dia pasti ga mau ngomong!!”
“KARENA AKU BALIK KE MASALALU!!” Teriak Catalina dengan suara yang lebih lantang, tapi wajahnya masih merah. Dia mengangkat jempolnya ke arah Kurumi, tapi ekspresinya tetap ceria. “... aduh Kurumi.. jangan panggil aku anak kecil… aku itu sebenernya udah dewasa lho!! Dan dia pasti mau ngomong sama aku!!” Bisiknya dengan nada yang sombong tapi lucu, lalu dia berjalan ke arah Shinn dengan langit-langit yang yakin.
Mereka berdua kemudian berjalan ke arah Shinn, langkah Catalina penuh semangat sedangkan Kurumi mengikuti dengan tertawa. Shinn melihat mereka mendekat, tatapannya tetap dingin, tapi dia tidak pergi—malah tangan yang menyilang sedikit lepas, seolah tidak sengaja.
“Shinn!! ayo main ayunan bareng!!” Teriak Catalina dengan semangat, menggoyangkan tangan nya. Shinn hanya diam, memalingkan wajah, matanya melihat ke lantai. Dia menggeleng kepala perlahan, tanpa mengucapkan kata apapun. “Gak mau… repot…” Bisiknya dengan suara yang sangat pelan, hampir tidak terdengar—tapi Catalina mendengarnya, dan dia tidak menyerah.
“Ayo dong… seru banget!! Aku bantu kamu naiknya ya!!” Ucap Catalina dengan senyum lebar, mendekat lebih jauh. Dia meraih tangan Shinn dengan lembut, dan Shinn seolah terkejut—dia tidak melepaskan tangan, tapi juga tidak menggenggamnya. Matanya melirik Catalina sebentar, tatapannya masih dingin tapi ada secercah kebahagiaan yang tersembunyi di dalamnya.
Di kejauhan, Lynn dengan rambut pendek bergelombang silver dan mata merah melihat kelompok anak itu dengan senyum lembut. Mike berdampingan dengannya, menggenggam tangannya. “Shinnnya itu tetep kayak gitu ya… dingin di luar tapi kaget kalo ada yang mau deket…” Katanya dengan suara yang lembut, melihat putranya yang sekarang sudah ditarik Catalina naik ayunan. “Tapi dia ga melepaskan tangan Catalina… lucu ya…”
Lynn mengangguk, mata nya penuh kasih. “Ya… dia cuma takut disakiti… siapa tahu Catalina yang bisa bikin dia buka hatinya lebih banyak…” Bisiknya dengan senyum, membuat Mike tertawa.
Di atas ayunan, Catalina duduk berdampingan dengan Shinn. Dia mengayunkan ayunan perlahan—“wheee…!!”—suara riangnya bergema. Shinn masih berdiam, tapi matanya melihat langit yang berwarna jingga, dan bibirnya sedikit melengkung menjadi senyum yang tidak terlihat oleh siapa pun kecuali Catalina. Dia menggenggam tangan Catalina secara perlahan, rapat—tanda bahwa di dalam hati yang dingin itu, dia benar-benar peduli.
Semua terasa sempurna—seolah masa depan kiamat yang mereka lihat tadi hanyalah mimpi, dan yang paling penting adalah saat ini, di mana dua hati yang berbeda saling mendekat.
“Tap… tap… tap…!” Suara ayunan yang berayun perlahan bergema di taman, disertai suara tawa anak-anak yang lain. Matahari semakin memudar, tapi cahaya nya masih hangat, menyinari wajah Shinn yang sedikit memerah dan Catalina yang senyum lebar—sebuah momen kecil yang penuh makna di tengah keramaian hari pulang sekolah.
“Wheee…!!” Suara ayunan Catalina dan Shinn yang semakin cepat bergema di taman, disertai tawa anak-anak yang lain. Matahari sore menyinari dengan cahaya yang semakin hangat, membuat daun pohon yang rimbun memantulkan cahaya ke lantai. Tiba-tiba—“klik… klak…!” suara sepatu hak tinggi yang menapak di lantai ubin, menarik perhatian Lynn dan Mike.
Di samping mereka muncul Andras—rambutnya panjang bergelombang yang melewati pinggul berwarna ungu tua, melayang lembut seperti air. Matanya kiri berwarna biru muda yang sejuk, kanan berwarna merah yang menyala—sama seperti Catalina. Dia mengenakan gaun hitam yang elegan dengan renda putih, dan menyeringai dengan senyum yang licik dan anggun. Di belakangnya berdiri Leon, suaminya—rambutnya panjang putih gradasi pink yang mengkilap, mata berwarna pink yang lembut dan penuh kasih.
Andras mendekat Lynn dengan langkah yang anggun, senyumnya semakin lebar. “Ya~ kau bodoh atau gimana Lynn…!” Katanya dengan suara yang merdu tapi sedikit menggodek, menyentuh pundak Lynn dengan jempolnya. “Sikapnya Shinn mencerminkan sikap kau yang dingin ini… tak ku sangka… anak kita berdua sangat dekat… hihi…” Suaranya tertawa manis, tapi mata nya menyala dengan persaingan.
Lynn menatap Andras dengan tatapan datar yang khas—kelopak matanya sedikit menutup, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia menggeser rambut silvernya yang terjatuh ke wajah, tangan menyilang di dada. “Anak mu yang selalu nempel-nempel ke pada anak ku… bukan anak ku yang mendekati dia…” Katanya dengan suara yang datar tapi tegas, tidak mau kalah.
Andras menggeleng kepala perlahan, senyumnya semakin licik. “Oh no no no, Lynn ~” Katanya dengan nada yang melengking, membungkuk sedikit agar setinggi Lynn. “Walaupun anak ku yang mendekati nya… dia akan membuat Shinn jatuh cinta loh… kamu lupa ya… dia anak si Ratu Iblish Es yang Agung?” Dia menunjuk ke arah Catalina yang sedang bermain ayunan, mata nya menyala dengan kebanggaan. “Dan Catalina itu memiliki sikap licik, intimidasi, dan brutal kayak aku loh… pasti dia yang akan menang dalam ‘permainan’ ini…!”
Leon dan Mike melihatnya dengan tatapan pasrah, mundur sedikit dari kedua istri mereka. Leon menghela nafas, menyentuh bahu Mike. “Mike… dari dulu, semenjak perang besar dan mereka udah punya anak… istri kita masih bertengkar kek anak kecil ya…?” Katanya dengan suara yang lembut, tertawa sedikit.
Mike mengangguk, mengelus kepala. “Iya… bahkan beda jauh dengan anak kita… yang malah akur banget…” Katanya melihat ke arah Catalina dan Shinn yang sedang bermain ayunan, lalu kembali ke istri mereka yang mulai memanas.
Lynn masih menatap Andras dengan tatapan datar, tapi bibirnya sedikit melengkung. “Tapi tetap saja… anak mu yang duluan dekat-dekat dengan anak ku… berarti dia yang lebih mau…” Katanya dengan suara yang tetap datar, tapi ada secercah kemarahan yang tersembunyi.
Andras berdiri tegak lagi, menyeringai dengan senyum yang lebih licik. “Tidak… anak mu yang akan jatuh cinta duluan… aku merasakan aura licik dari anak ku… dia pasti sudah membuat Shinn terpesona…!” Katanya dengan keyakinan, menggenggam tangan Leon yang ada di sampingnya.
Lynn mengangkat alisnya, tatapan datarnya mulai berubah menjadi sedikit kesal. “Iya, licik… tapi lebih bodoh maknya sih… dasar ibuk-ibuk…!” Bisiknya dengan suara yang cukup keras, membuat Andras terkejut.
Andras mata nya membesar, wajahnya tiba-tiba memerah karena marah. “Hah?!! HAH!!!” Teriaknya dengan suara yang kencang, membuat beberapa anak melihat ke arah mereka. “BERKACA SONO!! Kau juga ibuk-ibuk!! Jangan ngomong seolah kau lebih dewasa dari aku!!” Suaranya semakin tinggi, tubuhnya sedikit bergoyang karena kemarahan.
Lynn hanya tersenyum sedikit, tatapan datarnya kembali. “Hei ibuk berdada besar… kecil kan suara mu… kek anak kecil…!” Katanya dengan nada yang menggodek, menyilang tangan di dada. “Kalau masih kecil pergi aja sono… main pasir-pasir dengan anak TK di depan kita… jangan lupa main ayunan sampai ayunan nya rusak karena tidak dapat menahan dada besar F Cup itu… hihi…” Suaranya tertawa sedikit, membuat Andras makin marah.
Andras teriak lagi, wajahnya merah seperti api. “LYNN!!! KAU!! DASAR DADA RATA!!! DADA PAPAN!!!” Teriaknya dengan suara yang menggema, mengangkat tangan ke atas. “Aku heran bagaimana kau menyusui anak mu!! Udah gitu masih berani ngomong ke aku!!”
Leon dan Mike hanya mengangkat tangan ke langit, pasrah. Mike menggeleng kepala, tertawa sedikit. “Dan Yap… ujung ujungnya pasti bahas dada… selalu kayak gitu…”
Leon mengangguk, menarik lengan Mike. “Mike… mari merokok di Mobil ku… tinggal kan aja mereka berdua… kalau kita ikut campur, pasti makin parah…” Katanya dengan suara yang lembut, dan mereka berdua berjalan perlahan ke arah gerakan, meninggalkan Andras dan Lynn yang masih sedang adu mulut.
Sementara itu, Catalina yang sedang bermain ayunan melihat mami nya dan Lynn yang sedang bertengkar. Dia menoleh ke Shinn, senyumnya sedikit memudar. “Shinn… itu mami ku dan mama mu!! Mereka lagi apa ya…?” Tanyanya dengan suara yang penasaran, menghentikan ayunan sebentar.
Shinn hanya menggeleng kepala, matanya melihat ke arah ibunya dan Andras dengan tatapan yang biasa. Dia mendorong ayunan Catalina dengan lembut, membuatnya berayun lagi—“wheee…!” “Biarkan… kau kayak ga tau aja di saat mama ku dan mami mu kalau ketemu… selalu begini…” Bisiknya dengan suara yang pelan, tapi ada secercah perhatian di dalam mata nya.
Tiba-tiba, Yoru dan Matsu—adik-adik sepupu Catalina—berlari ke arah ayunan dengan semangat. Yoru dengan rambut hitam pendek bergelombang dan highlight biru tua, mata kiri kuning kucing dan kanan biru, mengangkat tangan ke atas. “Kak Catalina!! Ayuk kita dorong ayunan nya makin cepat!!” Teriaknya dengan semangat.
Matsu dengan rambut hitam panjang dan bando putih, mata pink keunguan yang ceria, juga mengangguk. “Ya!! Biar cepat banget!!” Katanya, dan mereka berdua mulai mendorong ayunan Catalina dan Shinn bersama—“heee… hooo…!” suara mereka berteriak riang, membuat ayunan semakin cepat.
Di sisi lain, Kasemi berdiri dengan tenang di dekat pohon, rambut hitam panjang yang diikat terlihat rapi. Matanya berwarna ungu gelap yang tenang, dan dia melihat Mayuri yang berdiri sedikit jauh, wajahnya memerah. Mayuri—rambut putih kuncir dua, mata emas yang ceria tapi juga sedikit malu—tiba-tiba teriak dengan suara yang kencang. “KASEMI!! UDAH YA!! JANGAN DEKAT DEKAT!!” Teriaknya, menyembunyikan wajah di balik rambutnya. Tapi kemudian dia memalingkan wajah, bisik dengan suara yang pelan: “T… tapi… jangan terlalu jauh main nya… ya…”
Kasemi bingung, mengangkat alisnya. Dia mendekat sedikit, tangan menyebar di samping tubuh. “Maksudnya… aduh Mayuri… ada apa dengan mu? Kalau gak mau deket, aku mundur aja…” Katanya dengan suara yang lembut, tapi ada secercah kecewa yang tersembunyi. Mayuri hanya menggeleng kepala, wajahnya semakin memerah, tidak bisa berkata apa-apa.
Sementara itu, Remi berdiri di dekat lapangan kecil, rambut ungu pucat yang diikat kuda terlihat rapi. Dia mengangkat jari telunjuknya ke atas bawah, menutup mata nya dengan tenang. “Tsun… tsun… tsun…!” Katanya dengan suara yang lembut, seolah sedang memainkan melodi di kepalanya. Di dalam benaknya hanya terisi note seruling yang akan dia tampilkan kepada orang tuanya malam ini—mata nya menyala dengan harapan.
Di bagian lain taman, Haken dengan rambut ikal ungu gradasi merah yang penuh energi menendang bola sepak ke arah Rintaro dengan kekuatan. “BUK!!” suara bola yang menabrak udara, Rintaro dengan cepat menangkapnya dengan tangan yang tangguh. “Wah!! kencang banget tu, Haken!!” Teriaknya dengan semangat, lalu mengoper bola ke Kurumi yang berdiri di dekatnya.
Kurumi menangkap bola dengan lembut, mata kiri diamond hijau berkilau. Dia tersenyum malu, pipinya memerah. “I… iya… aku coba lempar ya…!” Katanya, lalu menerangkan bola ke arah Dheon yang berdiri di dekat pohon. Rintaro tertawa senang, mengangkat jempol. “Wah!! selain mata kiri mu yang cantik, kamu juga pandai main bola ya!!” Teriaknya, membuat Kurumi semakin malu. “I… iya.. soal nya aku sering melihat mama dan papa nonton bola tiap tengah malam… mereka bilang ini olahraga yang seru…!”
Namun di bawah pohon yang rimbun, Asuna menyembunyi di balik batang pohon, rambut pink pendek gradasi emas terlihat kusut karena takut. Dia adalah anak Yumi dan Max—sikap introvertnya menular dari ibunya, dan dia melihat keramaian di taman dengan mata yang penuh khawatir. “Mama… papa… aku mau pulang… di sini rame…!” Bisiknya dengan suara yang sangat lembut, tubuhnya menggigil sedikit.
Dheon yang sedang menangkap bola melihat rambut Asuna dari balik pohon. Dia mengoper bola ke Kurumi lagi, lalu berkata dengan suara yang lembut: “Kalian main aja duluan, aku mau ke tempat Asuna…!” Katanya, lalu berlari kecil ke arah pohon.
Asuna melihat Dheon mendekati, tubuhnya semakin gemetar. Dia menyembunyikan wajah di balik batang pohon, tapi Dheon sudah melihatnya. “Asuna? ngapain di sana…?” Tanyanya dengan suara yang lembut, tidak mau membuatnya takut. Dia berdiri di depan Asuna, tangan menyebar di samping tubuh seolah tidak menakutkan. “Kalau mau main ikut aja… kan kita semua teman mu…!”
Asuna mengangkat kepala sedikit, mata aqua nya penuh ketakutan. Dia berkata dengan suara yang sangat gemetar, jari-jari nya menggenggam ujung baju: “A… a… a.. aku… g… gasuka… ke… keramaian…!” Suaranya hampir tidak terdengar, dan dia segera memalingkan wajah.
Dheon mengangguk perlahan, menyenyum lembut. Dia duduk di atas rerumputan di depan Asuna, menjauh sedikit agar dia nyaman. “Yaudah… main sama aku aja di sini…!” Katanya, mengambil sebatang ranting pohon yang rontok, lalu membuat bentuk burung darinya. “Kita bisa membuat mainan dari ranting… atau cuma ngobrol… terserah mu…!”
Asuna membeku sepenuhnya, mata nya membesar. Dia melihat Dheon yang sedang membuat mainan dari ranting, dan berkata dalam hati: “Aku tidak suka ini… aku mau pulang… tapi… dia terlihat baik banget… apa aku harus tinggal?” Tubuhnya masih menggigil, tapi dia tidak pergi—malah duduk perlahan di samping Dheon, melihat ranting yang dibuatnya dengan mata yang sedikit penasaran.
“Wheee…!! Tiba-tiba…!!” Suara ayunan yang semakin cepat bergema, disertai tawa anak-anak yang riang. Matahari semakin memudar, tapi cahaya nya masih hangat menyinari taman yang penuh dengan kebahagiaan. Di kejauhan, Andras dan Lynn masih sedang adu mulut—tapi di tengah keramaian itu, semua anak-anak sedang bersenang-senang, saling mendekati dan membangun hubungan yang indah. Semua terasa sempurna, seolah dunia ini hanya penuh dengan kebahagiaan di saat itu.