Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan dan Kehidupan yang Dipilih
Kehidupan Luna dan Nathan berjalan dalam ritme yang tenang, nyaris sederhana, namun penuh makna. Mereka tidak hidup dalam kemewahan, tidak pula dikelilingi sorotan. Yang mereka miliki adalah pagi-pagi yang hangat, obrolan ringan sambil menyiapkan sarapan, dan kebiasaan kecil yang perlahan membentuk sesuatu yang disebut rumah.
Setelah pernikahan sederhana yang mereka lakukan tanpa banyak orang—hanya saksi dan doa—Luna masih sering terbangun dengan rasa tidak percaya. Ia kini adalah istri seseorang yang memilihnya dengan utuh, tanpa syarat, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menuntut.
Nathan tidak pernah membiarkannya merasa sendirian.
Suatu akhir pekan, Nathan mengajak Luna menghadiri pertemuan kecil bersama teman-temannya—rekan kerja lama, sahabat kuliah, orang-orang yang mengenal Nathan sebelum hidupnya berubah arah.
Luna sempat ragu.
“Aku nggak yakin siap,” ucapnya pelan sambil merapikan gaun longgar yang menutupi perutnya. “Aku takut… dipandang aneh.”
Nathan menatapnya lembut. Ia meraih tangan Luna dan menggenggamnya erat.
“Kamu tidak perlu siap. Kamu hanya perlu datang sebagai dirimu sendiri. Sisanya tugasku.”
Di kafe kecil tempat mereka berkumpul, suasana awalnya hangat dan riuh. Tawa terdengar di mana-mana. Saat Nathan dan Luna masuk, beberapa pasang mata menoleh—penasaran, bukan menghakimi.
Nathan tidak menunggu lama.
Ia berdiri, menepuk gelasnya pelan, meminta perhatian. Suaranya mantap, tanpa ragu.
“Teman-teman,” katanya. “Aku ingin memperkenalkan seseorang yang sangat penting dalam hidupku.”
Ia meraih tangan Luna dan menariknya berdiri di sampingnya.
“Ini Luna. Istriku.”
Ruangan hening sejenak, lalu senyum mulai bermunculan. Ada yang terkejut, ada yang terharu.
“Dan anak yang sedang dikandungnya,” lanjut Nathan, tangannya lembut menyentuh perut Luna, “adalah anakku. Aku bangga pada keluargaku.”
Luna menunduk, air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Tidak ada bisik-bisik. Tidak ada pertanyaan yang menyakitkan. Yang ada hanyalah tepuk tangan, pelukan, dan ucapan selamat.
Untuk pertama kalinya, Luna merasa diakui sepenuhnya—bukan sebagai masa lalu seseorang, bukan sebagai korban, melainkan sebagai istri dan calon ibu yang berdiri sejajar.
---
Beberapa minggu kemudian, mereka mengadakan acara kecil di apartemen—*gender reveal* yang sederhana namun penuh tawa. Balon putih, kue buatan sendiri, dan beberapa teman dekat.
Nathan berdiri di samping Luna, kamera di tangan teman mereka siap merekam momen itu.
“Kamu tegang?” bisik Nathan.
Luna tersenyum gugup. “Sedikit.”
“Apapun hasilnya,” jawab Nathan pelan, “kita sudah menang.”
Saat balon besar itu pecah, confetti berwarna **merah muda** berhamburan memenuhi ruangan.
“Perempuan!” seseorang berseru.
Luna terdiam sesaat, lalu tertawa di antara tangis bahagia. Nathan memeluknya erat, mencium keningnya.
“Putri kecil,” bisiknya. “Kita punya putri.”
Di tengah tawa dan pelukan, Luna menyadari satu hal sederhana namun menggetarkan: kebahagiaan tidak selalu datang dengan gegap gempita. Kadang ia hadir dalam bentuk ruangan kecil, orang-orang tulus, dan hati yang akhirnya berani percaya.
---
Di sisi lain kota, kehidupan Halden berjalan dengan jalannya sendiri.
Karina melahirkan seorang bayi laki-laki di pagi yang cerah. Tangis pertama itu menggema di ruang bersalin, membawa kelegaan sekaligus perasaan campur aduk bagi Halden.
Ia menggendong putranya dengan tangan gemetar. Bayi itu kecil, hangat, dan nyata.
“Anak kita,” ucap Karina pelan, lelah namun tersenyum.
Halden mengangguk. Ia bahagia—ia tahu itu. Namun di sudut hatinya yang paling sunyi, ada rasa penyesalan yang tak pernah benar-benar pergi. Bukan karena ia tidak mencintai anaknya, melainkan karena ia tahu, ada satu kehidupan lain yang seharusnya ia jaga dengan cara yang berbeda.
Ia tidak mencoba menghubungi Luna lagi. Ia tahu batasnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi ayah yang lebih baik dari dirinya yang dulu—belajar dari kesalahan yang tidak bisa ia perbaiki.
---
Malam itu, Luna berdiri di balkon apartemen, angin malam menyentuh wajahnya. Nathan berdiri di belakangnya, memeluk dari belakang dengan hati-hati.
“Kamu bahagia?” tanya Nathan.
Luna mengangguk. “Aku damai.”
Ia menoleh, menatap pria yang memilihnya tanpa paksaan.
“Terima kasih sudah mengakui aku… tanpa ragu.”
Nathan tersenyum. “Aku hanya mengatakan kebenaran.”
Di dalam perutnya, sang bayi bergerak pelan, seolah ikut merasakan kehangatan itu.
Nathan langsung menyadarinya.
“Dia bergerak,” katanya dengan suara yang berubah—lebih pelan, lebih takjub. Tangannya berpindah perlahan ke perut Luna, seakan takut sentuhannya terlalu berat.
Luna tersenyum. “Sejak tadi sore dia aktif.”
Nathan menunduk sedikit, lalu—dengan canggung yang manis—berlutut di depan Luna. Ia menempelkan telinganya ke perut itu, dahi hampir menyentuh kain gaun tipis yang dipakai Luna.
“Halo,” ucapnya pelan, nyaris berbisik. “Ini Papa.”
Luna menahan napas. Dadanya menghangat.
“Kamu jangan bikin Mama capek ya,” lanjut Nathan serius, lalu tersenyum sendiri. “Tapi kalau kamu mau nendang, nggak apa-apa. Papa anggap itu salam.”
Seolah menjawab, perut Luna kembali bergerak. Kali ini lebih terasa.
Nathan tertawa kecil, matanya berbinar. “Nah, gitu. Kita sudah sepakat.”
Sejak malam itu, kebiasaan kecil mulai terbentuk.
Setiap pagi sebelum berangkat kerja, Nathan akan berjongkok di depan Luna, menempelkan tangannya ke perutnya, dan berkata, “Papa berangkat dulu. Jaga Mama.”
Setiap malam sebelum tidur, ia selalu menyempatkan diri berbicara—tentang hari yang ia lalui, tentang hal-hal sepele, tentang mimpi-mimpi kecil yang ingin ia bagikan.
“Hari ini Papa hampir ketabrak motor karena mikir nama kamu,” katanya suatu malam, membuat Luna tertawa. “Mama bilang Papa lebay, tapi Papa serius. Nama itu penting.”
Ia mulai memanggil bayinya dengan sebutan kecil: *Bintang*.
Bukan karena sudah yakin akan nama itu, melainkan karena baginya, anak itu adalah cahaya kecil yang muncul setelah malam panjang.
Nathan bahkan sering “bermain”.
Ia menepuk perut Luna dengan irama pelan. “Kalau Papa ketuk dua kali, kamu balas satu ya.”
Ketuk. Ketuk.
Beberapa detik hening.
Lalu—gerakan kecil.
Nathan membeku, lalu menoleh ke Luna dengan wajah tak percaya. “Dia jawab.”
Luna mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dia dengar kamu.”
Malam-malam mereka diisi percakapan sederhana. Nathan membacakan potongan buku, artikel acak, bahkan kadang pesan iklan di ponselnya, hanya agar bayinya mendengar suaranya.
“Kata Mama kamu bakal keras kepala,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi nggak apa-apa. Papa juga keras kepala. Kita tim.”
Ada hari-hari ketika Luna lelah, emosinya naik turun tanpa sebab jelas. Pada hari-hari seperti itu, Nathan akan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya, lalu berkata pada perut itu, “Kalau Mama sedih, kamu ingat ya—Papa di sini. Selalu.”
Kadang Luna menangis hanya karena mendengar itu.
Nathan tidak pernah mengeluh. Tidak pernah merasa canggung. Baginya, berbicara pada bayi yang belum lahir bukanlah hal aneh—itu adalah janji. Janji bahwa anak ini akan tumbuh dengan kehadiran, bukan kekosongan.
Suatu malam, Luna bertanya pelan, “Kamu nggak takut?”
Nathan berpikir sejenak. “Takut,” jawabnya jujur. “Takut salah. Takut nggak cukup baik.”
Ia mengelus perut Luna perlahan.
“Tapi lebih takut kalau aku nggak mencoba sepenuh hati.”
Bayi itu kembali bergerak, lembut namun pasti.
Nathan tersenyum, lalu berbisik, “Tenang saja. Papa belajar.”
Di bawah langit malam yang sama, dengan kota yang terus bergerak di kejauhan, mereka berdiri bertiga—meski satu masih tersembunyi.
Masa lalu memang tidak hilang.
Namun setiap kata yang Nathan ucapkan pada perut Luna, setiap sentuhan kecil, setiap tawa sederhana—semuanya membangun masa depan yang berbeda.
Dan Luna tahu, putrinya akan lahir ke dalam dunia yang tidak sempurna, tetapi penuh suara yang menunggu, tangan yang siap memeluk, dan cinta yang diucapkan bahkan sebelum ia membuka mata.
Luna kini hidup sebagai istri, calon ibu, dan perempuan yang tidak lagi merasa “bekas”. Ia adalah seseorang yang dipilih—dan yang lebih penting, memilih untuk hidup, mencintai, dan melangkah maju.
Dan di bawah langit malam yang tenang itu, Luna tahu: inilah kebahagiaan yang sesungguhnya.