Akira, cinta masa kecil dan satu-satunya cinta di hati Elio. Ketika gadis itu menerimanya semua terasa hangat dan indah, layaknya senja yang mempesona. Namun, di satu senja nan indah, Akira pergi. Dia tidak perna lagi muncul sejak itu. Elio patah hati, sakit tak berperih. Dia tidak lagi mengagumi senja. Tenggelam dalam pekerjaan dan mabuk-mabukan. Selama tiga tahun, Elio berubah, teman-temannya merasa dia telah menjadi orang lain. Bahkan Elio sendiri seolah tidak mengenali dirinya. Semua bermula sejak hari itu, hari Akira tanpa kata tanpa kabar.
3 tahun berlalu, orag tua dan para tetua memintanya segera menikah sebelum mewarisi tanah pertanian milik keluarga, menggantikan ayahnya menjadi tuan tanah.Dengan berat hati, Elio setuju melamar Zakiya, sepupunya yang cantik, kalem dan lembut. Namun, Akira kembali.Kedatangan Akira menggoyahkan hati Elio.Dia bimbang, kerajut kembali kasih dengan Akira yang perna meninggalkannya atau tetap menikahi sepupu kecilnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mia Lamakkara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja Pertama Kita
Pantai itu luas, angin senja menerbangkan rambut sebahu Akira. Elio tak bisa berhenti mencuri pandang, padahal mereka hanya tetangga yang akrab karena lingkaran pertemanan yang sama. Saat itu, mereka memutuskan kabur dari kerumunan teman, duduk berdua di bibir pantai, ombak lembut menyapu kaki.
"Apa kamu suka senja?" tanya Akira, matanya berbinar penuh semangat yang menghipnotis Elio.
Ingatannya melayang ke masa kanak-kanak. Hari itu, musim panen. Ayahnya menuai padi ratusan karung. Elio delapan tahun, duduk di salah satu kuda yang membawa gabah-gabah itu ke rumah, melewati lorong samping rumah bibi Akira. Gadis lima tahun itu berdiri di jalan, mengamati kuda-kuda dengan mata berbinar rasa ingin tahu. Rambut gelombangnya yang dipotong pendek, agak kemerahan, terlihat acak-acakan dipermainkan angin. Meski terbungkus pakaian bocah laki-laki, dia tak menyembunyikan kecantikan seorang gadis—kulit putih bening, mata bulat cerah, bulu mata lentik, hidung agak pesek, dan bibir tebal seksi merona. Akira mengangkat pandangannya, mendapati Elio yang mengamatinya. Mulutnya sedikit terbuka, memperlihatkan dua gigi kelinci. Kepalanya dimiringkan seolah berpikir keras. Penampilan unik dan ekspresi konyolnya membuat Elio berbalik lagi melihatnya. Hatinya bergetar. Baginya, Akira seperti kucing liar yang menggemaskan—berantakan, tapi imut. Elio tahu, gadis kecil itu sebenarnya galak ketika tidak sengaja melihatnya mengamuk karena diganggu bocah-bocah lain. Niatnya membantu, diurungkannya. Kali ini, Elio menganggapnya landak—imut dan berbahaya. Sejak saat itu, Elio suka mengamatinya. Hanya saja, itu tak lama karena Akira menghilang kemudian. Elio beberapakali bertanya pada Suna, ibunya.
"Kemana gadiis kecil yang tinggal di rumah Puang Aji itu?."
"Mungkin pulang ke rumahnya." Suna yag sibuk melakukan pekerjaan rumah menjawab seadanya.
"Dia itu cuma keponakan Puang Aji, punya rumah sendiri."
Baru kemudian dia tahu dari tetangga yang kerap membantu Puang Aji mengatakan kalau gadis itu pindah ke kota lain untuk sekolah. Sesekali dia datang ke rumah bibinya dan sedikit mengobati rasa rindu yang mulai tumbuh di hati Elio kecil.
Tahun-tahun berlalu, Akira sudah masuk SMA dan tinggal di rumah bibinya. Akira yang dulu kucil kini tumbuh jadi dara menawan, tetap tomboy dan lugas. Bukan hanya mata Elio yang melihatnya, pemuda desa lain mulai ikut melirik. Perasaan Elio perlahan berubah dari kegemasan menjadi ketertarikan asmara—cinta diam-diam yang terpendam. Mereka tidak saling kenal, jangankan mengutarakan perasaan, saling sapa pun tak pernah.
Dari atas balai-balai di bawah rumahnya, Elio kembali menjadi pengamat. Melihat dari jauh tingkah laku kocak Akira—terjatuh saat memanjat pohon Bonne bibi yang tumbuh di kebun pas di depan rumah Elio. Terpeleset di jalan becek ketika menyeberang ke kebun atau melompat kaget karena mangga jatuh persis di sampingnya. Semua jadi hiburan bagi Elio yang hanya bisa jadi pengagum rahasia tanpa bisa meluahkan perasaannya
Hingga Akira lulus SMA, tidak melanjutkan kuliah, dan mulai berteman dengan gadis-gadis sekitar, termasuk Enni, adik Elio.
"Sini, biar aku bantu mainkan kartumu," Itu kalimat terpanjang yang perna dikatakan Elio saat mereka saling kenal. Malam itu mereka bermain kartu remi di pos kamling desa.
Sudah menjadi kebiasaan, bila malam hari anak-anak muda, baik cowok maupun cewek akan berkumpul di pos kamling desa memainkan macam-macam permainan untuk menghidupkan suasana, kadang ada juga segelintir tetua ikut nimbrung. Mereka akan bubar di jam sepuluhan dan dilanjutkan meronda bagi warga yang mendapat giliran.
Akira sangat payah bermain kartu remi, dia sering kalah dan dihukum mengocok kartu lalu membagikan ke para pemain lainnya.
Akira menggerutu, mata lebar penuh kekalahan, lalu menyodorkan kartunya. Elio membantunya sampai kartu Akira habis dan tak kalah lagi. Setelah itu, Elio makin sering ke pos kamling, hanya untuk sesekali bertemu dan melihat Akira bermain.
Musim panen tiba, Akira ikut jadi buruh panen, menyabit padi sebelum dimasukkan ke mesin perontok padi. Pekerjaan musiman ini biasanya berlangsung selama dua atau tiga bulan. Setelah musim panen selesai, para penduduk biasanya membuat hajatan makan bersama sedang anak-anak muda yang menjadi buruh panen akan pergi ke tempat wisata untuk piknik bersama untuk merilekskan diri setelah tiga bulan bekerja keras. Seperti sekarang, mereka liburan bersama di pantai Kanipang.
"Kamu suka senja?" tanya Akira lagi, membangunkan Elio dari lamunannya.
"Suka," Elio menyahut cepat, seolah takut Akira tak bicara lagi. "Senja terasa menenangkan, memberiku semangat baru." Dia tersenyum.
"Melihat senja seperti melihatmu," lirih hati Elio, tak mungkin disuarakan.
Akira tertawa ceria. "Aku juga! Rasanya dunia damai, aku tenang dan aman."
"Bagaimana dengan pantai? Kamu menyukainya? Atau ada tempat lain yang kamu suka?" Giliran Elio bertanya, mecoba mencari tahu hal yang disukai gadis di sampingnya.
Akira menatap ombak. Bergulung datang dan pergi ke bibir pantai. "Aku sangat suka pantai—aroma laut, suara ombak, percikan air, semilir angin, pasir… semua menyenangkan. Mau sedih atau bahagia, pantai selalu tepat."
Dia menunduk, menatap kaki yang tertimbun pasir basah. "Aku ingin ke Bulukumba, pantai pasir putih. Sayangnya, itu jauh… dan mahal."
Mata Akira memandang matahari yang mulai tenggelam di kaki langit."Butuh nginap dua atau tiga hari kalau kesana.Itu tempat wisata nasional kalau nginap di villa sangat mahal, belum transport. Butuh nabung lama."
"Panen tahun depan, kenapa kita tidak ajak yang lain liburan sana? Carter mobil, sewa villa rombongan, lebih murah," usul Elio.
"Tahun depan kayaknya tidak bisa, anak-anak rencana mau ke Bantimurung. Kesana saja banyak yang mengeluh karena bayarnya mahal dan perjalanan jauh. Bulukumba lebih jauh lagi… kayaknya bakal banyak yang tidak akan setuju." kata Akira .
"Kalau begitu, tahun depannya lagi. Nanti yang lain juga tertarik," Elio berkata optimis. Dia punya rencananya sendiri. Mereka bicara sampai senja berubah ungu, bintang bermunculan. Teriakan teman-teman memanggil mereka berkumpul. Tanpa sadar sedikit gelisah, ia memberanikan diri berkata "Akira, aku… aku suka kamu. Mau nggak jadi pacarku?" Akira menoleh, merah pipinya mengoli. Senyum manis perlahan muncul, membuat jantung Elio berdetak kencang.
"Aku minta waktu seminggu untuk jawab, boleh?" Elio mengangguk, rasa tak percaya bercampur euforia. Seminggu terasa selamanya.
Kembali ke desa, Elio gelisah. Tidur tak nyenyak, nafsu makan hilang. Diaakan menuntaskan pekerjaan secepatnya agar bisa pulang ke rumah menghitung hari di kalender yang digantung di kamarnya, menanti jawaban Akira. Saat sore hari bertemu Akira di bandes-bandes, mulutnya kaku, hanya senyum yang mengembang. Malam menjelma, dia masih ikut ke pos kamling namun tidak bermain remi karena tidak bisa konsentrasi, jantungnya berdebar, hatinya cemas menunggu 7 hari yang dijanjikan.
Teman-teman merasakan perubahan Elio, tidak sedikit yang berani mempertanyakan tindak tanduknya belakangan ini. Elio memilih bungkam menciptakan teka-teki. Teman-temannya semakin curiga, terutama Reimon dan Lionel. "Apa yang bikinmu cemas? Kalau sudah siap, aku kasih 1001 tips dekati cewek," Reimon, sepupu Elio si cassanova menawarkan bantuan, menepuk punggung Elio. "Ini pasti berhasil, aku sudah melakukannya pada beberapa cewek."
"Dasar playboy! Menjauh," Elio menolak, menyodorkan termos kopi. "Minum dan kerja. Rumput di sawah kalian minta perhatian."
"Kurasa Elio nunggu momen tepat… atau jawaban," Lionel menebak. memberi tatapan menggoda.
"Kalian ini… berhenti bicara urusanku!" Elio tersenyum, menyembunyikan kegelisahan.
Keduanya perna mendengar curhatan Elio tentang menyukai seorang gadis dan sulit untuk megungkapkannya
Konsisten dan tetap percaya