Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemas
Jam pulang kerja. Ada teman yang tengah ulang tahun hari ini. Dia mentraktir beberapa teman satu divisi di sebuah cafe tempat biasanya mereka ngopi bareng.
Di ruangan, hanya tinggal Sagala dan Rania. Teman yang lainnya sudah lebih dulu pergi.
"Mau bareng?" Sagala menawarkan.
Rania menoleh menatapnya. Pandangannya sangat dalam. Perempuan itu patah hati. Ya, karena sebenarnya dia menaruh hati dan harapan pada Sagala.
"Jadi Abang udah nikah?" Rania bertanya untuk memastikan. Suaranya bergetar.
Sagala diam sebentar dan kemudian mengangguk pelan. "Iya. Aku udah nikah."
"Kapan?"
"Sekitar dua bulan yang lalu."
"Jadi udah dua bulan."
"Iya. Libur panjang bulan lalu."
Rania semakin menatap Sagala. "Abang jahat ya sama aku. Kupikir selama ini hubungan kita istimewa tapi ternyata Abang hanya ngasih harapan yang tak nyata. Abang jadi cowok jangan redflag dong. Sakit tahu enggak. Aku benci sama Abang."
Rania segera berdiri dari duduknya dan berlari meninggalkan Sagala begitu saja.
Sagala menghela nafas panjang. Dia mengambil tasnya lalu menyusul ke cafe di mana teman-temannya sudah lebih dulu ada di sana.
"Mana Rania, Gal? Abang pikir kalian bareng." Tanya Bang Indra si paling perhatian atas hubungan Sagala dan Rania.
"Engga tahu," jawab Sagala datar sambil mengangkat bahu.
"Kak Rania patah hati kayaknya tahu Bang Sagala udah nikah." Sahut Randy setengah bercanda, sambil sengaja melirik Sagala.
"Parah Lo, Gal. Mainin hati cewek." Sahut Reza.
"Cowok mah bebas ya, Bang ya." Sahut Ardi langsung membela Sagala.
"Cowok anj itu mah kalau suka mainin hati cewek." Seorang teman wanita menyahut. Hanna teman dekat Rania.
"Mainin gimana, bukannya mereka cuma temenan," sahut Ardi, tak mau kalah debat.
“Temenan tapi tiap hari bareng, tiap pagi bareng, tiap istirahat juga bareng? Emang itu temen?” Hanna menatap tajam Sagala.
Bang Indra terkekeh pelan. "Nggak ada kabar, nggak ada gosip tau-tau dah nikah aja Lo Gal." Bang Indra menimpali.
Semua mata tertuju pada Sagala. "Lo nggak buntingin anak orang kan, Gal?"
Sagala tersentak. "Gila aja!!" suaranya meninggi. Ia menghela napas berat, mencoba menahan emosi yang naik. "Siapa yang ulang tahun di sini, kenapa Gue yang di-rosting."
"Ya lo nggak ada kabar tau-tau nikah aja," ucap Reza lagi.
Sagala memejamkan mata sejenak. "Gue dijodohin. Udah diem lo pada."
Mereka seketika diam. Saling menatap satu sama lain. Dan mendadak menjadi merasa bersalah dan kikuk.
"Yaelah jaman sekarang masih di jodohin." Suara Randy mencoba memecah hening. Mencoba mencairkan suasana.
"Tapi kalau di kampung mah emang masih gitu sih yang gue tau." Sahut Putri berusaha menengahi.
Sagala menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. "Gue cabutlah, males."
"Helah gitu aja marah, Bro," seru Reza.
"Maaf ya, Gal, kalau tadi keterlaluan,” tambah Bang Indra.
Sagala tak menjawab. Ia hanya menatap meja sebentar, lalu berbalik pergi.
"Bro, nggak usah baperan lah," teriak Reza dari belakang, tapi Sagala tak menoleh.
Dia keluar dari kafe itu tanpa pamit. Udara malam terasa lebih berat dari biasanya.
Begitu masuk ke mobilnya, ia tidak langsung menyalakan mesin. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, matanya terpejam sebentar.
Ia menyalakan mesin, melajukan mobil dengan tenang, tapi tidak pulang.
🌱🌱
Di rumah, Annisa menunggu Sagala pulang.
Namun jam demi jam berlalu, dan pria itu tak juga datang.
Annisa berkali-kali melirik jam dinding, menatap layar ponselnya, lalu menghela napas panjang. Ia mencoba menelepon Sagala, tapi ponselnya tidak aktif.
Sekali, dua kali, tiga kali—tetap sama.
Gadis itu mondar-mandir di halaman. Kadang duduk di kursi teras, kadang masuk ke dalam lalu keluar lagi.
Udara malam semakin dingin, tapi dadanya lebih dingin lagi. Dia mencemaskan Sagala.
“Abang kalau marah jangan gini, dong…” gumamnya pelan.
“Kenapa abang nggak pulang-pulang? Apa karena kesel sama aku? Atau ada hal lain?”
Rasa cemas dan takut bercampur jadi satu, memenuhi hati dan pikirannya.
Bahkan bunyi motor dan mobil lewat di depan rumah membuatnya menoleh setiap kali, berharap itu Sagala.
Hingga pukul sebelas malam akhirnya mobil itu datang juga.
Begitu mendengar suara mesin berhenti di depan rumah, Annisa langsung berlari kecil membuka gerbang.
Dia menunggu di teras, menatap Sagala yang turun dari mobil.
Begitu pria itu berdiri di depannya, kata-kata langsung meluncur tanpa bisa ditahan.
“Abang… kenapa lama pulangnya?” suaranya bergetar. “Kan aku takut di rumah sendirian, Bang. Aku takut abang kenapa-kenapa, takut abang kecelakaan karena nggak pulang-pulang. Aku nyoba telepon abang tapi ponselnya nggak aktif.”
Sagala awalnya ingin menjawab, untuk menenangkan, untuk menjelaskan. Tapi yang keluar justru helaan napas panjang.
Dan belum sempat ia bicara, Annisa sudah menangis. Sagala mendekat, lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Udah, jangan nangis. Abang kan udah pulang.”
Tapi justru kata-kata itu membuat tangis Annisa pecah makin keras.
Sagala kebingungan. “Udah, kenapa malah makin nangis?”
Annisa menggeleng di dada pria itu, suaranya parau di sela isak. Dia melingkarkan kedua tangannya memeluk Sagala erat.
"Aku seneng Abang pulang. Alhamdulillah ya Allah. Kupikir ada yang nabrak Abang atau gimana. Atau motor kepleset depan mobil abang apa gimana gitu. Abang pingsan di jalan berdarah-darah. Hp Abang di bawa kabur orang. Terus nggak ada yang bisa ngubungin aku buat ngasih tau kabar Abang." Annisa kembali menangis setelah menceritakan kecemasannya.
Sagala menatap ke bawah, melihat gadis kecil ini menangis sesenggukan di dadanya. Antara iba dan geli, ia hampir tertawa mendengar kekhawatiran berlebihan itu. Tapi lebih dari itu, hatinya hangat entah kenapa.
"Udah cup, jangan nangis lagi," katanya pelan sambil mengusap punggung Annisa. "Abang enggak apa-apa. Tadi ada temen yang ulang tahun, dia traktir temen-temen semuanya termasuk Abang. Hp Abang ngedrop jadinya ngga bisa ngabarin kamu."
Annisa mengangkat wajahnya, matanya merah dan berair. Ia mengangguk kecil.. "Lain kali sebelum ngedrop buruan kabarin aku ya, Bang."
Annisa buru-buru melepaskan pelukannya kemudian segera mengusap air mata dan ingusnya. Malu dilihat Abang.
Sagala menahan senyum. Ia mengulurkan tangan, menepuk lembut pundak Nisa.
“Nisa…” panggilnya lembut. Saat gadis itu menatap, ia menunduk sedikit agar sejajar dengannya. “Maafin Abang, ya.”
Nada suaranya dalam dan tulus. Rasa bersalah benar-benar menyelusup di dadanya. Baru sekarang ia sadar, ada seseorang yang menunggunya pulang. Yang khawatir setengah mati hanya karena ia tidak memberi kabar.
Dan mungkin beginilah rasanya memiliki seseorang di rumah.
Annisa mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, Bang…”
Sagala menarik napas. "Kamu sudah makan?" Tanyanya.
"Belum," jawab Annisa jujur. "Mana bisa makan, Bang. Aku kepikiran Abang terus. Aku takut Abang kenapa-kenapa. Jadi nggak ada napsu makan sama sekali."
Sagala mengusap pelipisnya, lalu tersenyum kecil. "Ya udah. Kita cari makan di luar. Sekalian jalan-jalan. Abang ganti baju dulu ya."
"Tapi ini kan udah malem, Bang."
“Gapapa,” jawab Sagala, menatapnya dengan senyum hangat. “Masih ada yang jualan."
Cil, ayookk coba rayu abang dehh, minta maaf duluan gak papa pas pulang kerja.. Abang yoook ajak ngomong bocilnya..
Hakekatnya wanita mah gak bisa di diemin, aku aja gitu kok, paling gak suka di diamkan sama suami, mending dimarahin aja aku sih 😩
pasti Annisa bakal ngerti
namanya juga bocil harus di kasih penjelasan detail gga bisa cuma gitu aja gga.
kdang kita yg dewasa aja klau bikin slah mrsa benar🤭🤭
soalnya gga enak klau marah nya abang diem. 😌.
emang laki² butuh waktu tp wanita butuh penjelasan🙃
next next... marahannya sebentr aj ya kak nas.. 🥲
itu bisa jadi masalah gede
lain kali kalo keluar sama Nada
kasih tau abang Nis
biar gak jadi salah paham
Walau Nisa menganggap teman dong lain halnya dengan zefan belum tentu