Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu
Roy menatap Arunika dengan tatapan nanar. Otaknya berputar cepat, mencoba menghubungkan kepingan-kepingan ingatan yang samar dengan kenyataan pahit di hadapannya. Malam itu, ia hanya bertugas memesan kamar dan memastikan wanita pesanan Pram tiba dengan selamat. Ia sama sekali tidak pernah bertemu dengan wanita itu. Lalu, bagaimana mungkin...?
"Saya... saya tidak mengerti," akhirnya Roy berucap dengan suara tercekat. "Malam itu... saya hanya..."
"Anda yang memesan kamar itu," potong Arunika tajam, menunjuk bukti reservasi di tangannya. "Anda yang bertanggung jawab."
"Tapi... tapi saya tidak pernah..." Roy berusaha membela diri, namun kata-katanya tercekat di tenggorokan. Ia ingat betul percakapannya dengan Mami Santi, dan ia juga ingat bahwa ia tidak pernah melihat wajah wanita yang dipesan Pram.
Arunika menghela napas panjang, berusaha meredam emosinya yang kembali bergejolak. " Anda jangan berkelit lagi .Saya sudah menunjukkan semua buktinya bahwa anda telah melakukan pelecehan terhadap saya dan konsekuensinya, saya hamil. Dan Anda, sebagai pihak yang memesan kamar itu, tidak bisa lepas tangan begitu saja."
Roy terdiam, menatap Arunika dengan rasa bersalah yang mulai menghantuinya. Meskipun ia tidak secara langsung berhubungan dengan wanita ini, ia adalah perantara dari kejadian yang menyebabkan kehamilan ini. Rasa tanggung jawab mulai tumbuh dalam hatinya.
"Lalu... apa yang Anda inginkan?" tanya Roy akhirnya, suaranya terdengar lebih lirih dari sebelumnya.
"Saya ingin Anda bertanggung jawab atas anak ini," jawab Arunika tegas. "Saya tahu perihal anda yang sudah berkeluarga dari karyawan anda tapi saya tidak peduli. Disini saya tidak akan meminta Anda untuk menikahi saya jika Anda sudah memiliki istri, tapi setidaknya, akui anak ini dan berikan ia kehidupan yang layak."
Roy menundukkan kepalanya, pikirannya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangkan situasi seperti ini akan menimpanya. Ia memiliki seorang istri yang sangat ia cintai, dan ia tidak ingin menyakitinya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bertanggung jawab atas wanita di hadapannya dan bayi yang dikandungnya.
"Berikan saya waktu," kata Roy akhirnya, mengangkat wajahnya dan menatap Arunika dengan mata memelas. "Saya perlu memikirkan ini baik-baik."
Arunika menatap Roy dengan tatapan tidak percaya. "Waktu? Anda pikir saya punya banyak waktu? Perut saya semakin membesar, dan saya tidak bisa terus menyembunyikannya. Saya butuh kepastian sekarang."
"Saya mohon," Roy kembali memohon. "Ini bukan keputusan yang mudah bagi saya. Saya perlu bicara dengan istri saya..."
Mendengar kata 'istri', hati Arunika mencelos. Kenyataan pahit bahwa pria di hadapannya sudah memiliki keluarga kembali menghantamnya dengan keras. Ia merasa bodoh karena masih berharap Roy akan bertanggung jawab sepenuhnya.
"Baik," kata Arunika akhirnya dengan nada dingin. "Saya beri Anda waktu satu minggu. Dalam satu minggu, saya ingin mendengar jawaban dari Anda. Jika Anda masih tidak mau mengakui anak ini, saya tidak akan ragu untuk mencari cara lain."
Arunika berbalik dan berjalan menuju pintu, meninggalkan Roy yang masih terpaku di kursinya dengan pikiran kalut. Ia tahu, satu minggu adalah waktu yang singkat, namun ia tidak punya pilihan lain. Ia harus segera mengambil keputusan demi masa depannya dan masa depan bayi yang dikandungnya.
Sementara itu, di tengah tekanan dan kebimbangan, Roy mengambil keputusan untuk menghubungi Pram. Ia merasa perlu menceritakan situasi yang rumit ini kepada sahabatnya, sekaligus atasannya. Ada kemungkinan besar Pram adalah pria yang dicari Arunika.
Dengan suara bergetar, Roy menghubungi Pram. "Pram, ada yang ingin kubicarakan..."
Pram yang sedang berada di tengah rapat penting sedikit terusik dengan telepon dari Roy. Biasanya, Roy sangat profesional dan tidak akan mengganggunya di jam kerja kecuali ada hal yang sangat mendesak.
"Ada apa, Roy? Apa tidak bisa menunggu?" tanya Pram dengan nada sedikit kesal.
"Ini sangat penting, Pram. Ini tentang... seorang wanita yang datang ke kafe mencariku," jawab Roy dengan hati-hati.
Arya mengernyitkan dahi. "Wanita? Mencarimu? Ada masalah apa?"
Roy menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Dia... dia hamil, Pram. Dan dia bilang... Gue ayahnya."
Keheningan sesaat menyelimuti sambungan telepon. Pram tampak terkejut dengan pengakuan Roy.
"Apa?! Hamil? Elo... bagaimana bisa?" tanya Pram dengan nada meninggi.
"Gue tidak tahu pasti, Pram. Dia menyebut Paradise Hotel, kamar 207... dua bulan yang lalu," jelas Roy, mencoba memberikan petunjuk yang mungkin bisa diingat Pram.
Terdengar helaan napas berat dari seberang telepon. Pram terdiam sejenak, mencoba mengingat kejadian dua bulan lalu di Paradise Hotel. Ia memang memesan kamar saat itu...
"Elo bisa datang ke Blue Moon sekarang, Pram? Gue rasa... Gue rasa wanita itu mungkin... salah orang," lanjut Roy dengan nada penuh harap.
"Baik. Gue akan ke sana," jawab Pram singkat sebelum memutus sambungan telepon. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dan perlu segera diselesaikan. Blue Moon Cafe and Resto, yang sebenarnya adalah miliknya dan ia percayakan pengelolaannya kepada Roy, kini menjadi tempat pertemuan yang tidak ia duga.
Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di depan Blue Moon. Pram keluar dari mobil dengan wajah datar dan langkah cepat memasuki kafe. Matanya langsung mencari sosok Roy yang tampak gelisah di balik meja kasir.
Pram segera menuju ruangannya di lantai atas dengan Roy mengekorinya.
" Jelasin ke gue.." Pram duduk di belakang meja kerjanya pria tampan berkulit sawo matang itu menunggu Roy bicara.
" Wanita itu namanya Arunika dia datang meminta pertanggungjawaban atas kehamilannya, awalnya gue gak ngerti tapi waktu dia sebut paradise Hotel gue jadi inget terakhir kali gue pesen cewek buat Lo."
" Jadi cewek itu yang meminta pertanggungjawaban."
" Jadi bener pria yang dia maksud itu elo Pram?"
" Lo inget kan soal kriteria cewek buat gue..tapi malam itu elo gak jalanin perintah gue dengan baik. Cewek itu masih segel, ini salah satu yang membuat gue males berurusan dengan gadis perawan, bakal ada drama nanti nya."
" Elo males sama gadis perawan tapi akhirnya elo embat juga.. sekarang gue kena getahnya."
"Mau gimana lagi gue mabok berat waktu itu, lagian elo juga yang salah "
Pram menyandarkan punggungnya di kursi, kedua tangannya bertaut di depan dada. "Jadi, intinya, lo yang pesankan kamar dan 'teman' kencan buat gue malam itu, dan sekarang cewek itu hamil dan nyari pertanggungjawaban ke elo?"
Roy mengangguk lemah, raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. "Gue bener-bener gak nyangka bakal jadi seperti ini, Pram. Gue cuma menjalankan tugas lo malam itu. Gue bahkan gak pernah lihat wajah wanita itu."
"Terus, kenapa dia bisa salah sasaran ke elo?" tanya Pram, alisnya bertaut.
"Dia punya bukti reservasi kamar atas nama gue," jawab Roy lirih. "Mungkin karena gue yang melakukan pemesanan."
Pram menghela napas kasar. "Sialan. Ini benar-benar merepotkan." Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir di ruangan. "Lo bilang dia minta apa?"
"Dia minta gue bertanggung jawab atas anaknya," jawab Roy. "Dia gak minta gue nikahin dia, dia tahu kalau gue udah punya istri dari Dinda. Tapi dia mau anaknya diakui dan dinafkahi."
Pram berhenti melangkah dan menatap Roy tajam. "Terus, lo bilang apa ke dia?"
"Gue minta waktu seminggu buat mikirin ini," kata Roy. "Gue... gue harus bicara sama istri gue."
Ekspresi Pram berubah menjadi dingin mendengar nama istri Roy disebut. "Istri lo gak perlu tahu soal ini, Roy. Ini urusan gue."
"Tapi, Pram..."
"Gak ada tapi-tapian," potong Pram tegas. "Ini kesalahan lo karena gak becus menjalankan perintah gue. Sekarang, biar gue yang urus wanita itu."
"Maksud lo?" tanya Roy dengan nada khawatir.
"Gue akan temui dia," jawab Pram singkat. "Lo gak perlu ikut campur lagi. Anggap saja ini gak pernah terjadi."
"Tapi, Pram, dia hamil anak lo!" sergah Roy, tidak terima dengan sikap Pram yang lepas tangan.
"Dan gue akan tanggung jawab," jawab Pram dengan nada datar. "Tapi bukan dengan cara yang dia inginkan. Gue punya cara sendiri."
Roy menatap Pram dengan perasaan tidak enak. Ia tahu betul bagaimana watak atasannya itu. Jika Pram sudah mengatakan sesuatu, maka itulah yang akan terjadi. Ia khawatir dengan cara yang akan ditempuh Pram untuk menyelesaikan masalah ini.
"Jangan lakukan hal yang aneh-aneh, Pram," kata Roy memperingatkan.
Pram tersenyum sinis. "Tenang saja, Roy. Gue hanya akan menyelesaikan ini secara 'dewasa'."
Setelah mengatakan itu, Pram meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Roy yang diliputi rasa bersalah dan kekhawatiran yang mendalam. Roy tahu, masalah ini jauh dari kata selesai. Ia telah membuka kotak pandora yang bisa menghancurkan banyak pihak, termasuk dirinya sendiri.