Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji
Suara langkah kaki terdengar menggema di lantai empat. Langkah cepat itu bergerak kian kemari mengecek setiap ruangan yang ada di lantai itu.
Menyerah karena tidak menemukan apa yang dicarinya, pemilik langkah itu akhirnya menghubungi seseorang.
"Leona, di mana Tuan Grebel? Saya sudah di lantai empat, tapi beliau tidak ada. Bisa tolong carikan dia untukku?" tanyanya.
Suara di seberang terdengar patuh. ("Baik, Nona White. Saya segera mengabari Anda.")
Gadis muda yang dipanggil Nona White itu mengangguk. "Oke, segera ya. Thank you, Leona."
Dia menunggu di lobi lantai empat sambil sesekali mengecek ponselnya. Tidak ada pesan masuk ataupun telepon dari Leona atau Tuan Grebel yang dicarinya.
"Ck, ke mana dia?" gumam gadis itu.
Tak beberapa lama, ponselnya berdering disertai dengan getaran lemah. Nama Leona terpampang di layar ponselnya.
"Kau sudah menemukan dia?" tanya gadis itu tanpa basa-basi.
("Tuan Grebel sedang bersama Nyonya Grebel di bawah, Nona. Tapi, tadi saya sudah mengingatkan beliau untuk segera menemui Anda di lantai empat,") kata Leona.
Mendengar berita itu, Anaya terpaku. Tatapan matanya tiba-tiba saja kosong seolah raganya terbang dan menghilang.
("Nona! Halo, Nona White. Anda masih di sana?") Dari seberang terdengar Leona memanggil Anaya.
Anaya pun dengan cepat segera menyadarkan dirinya sendiri. "Ya! Ya, Leona, aku di sini. Oke, aku akan menunggu Tuan Grebel. Bisakah kau katakan pada Tuan Smith kalau kami akan terlambat 30 menit?"
("Baik, Nona. Apakah saya perlu memanggil Tuan Grebel lagi?") tanya Leona.
Namun, Anaya menggeleng. "Tidak perlu. Biar saya yang ke sana nanti. Terima kasih, Leona."
Setelah panggilan berakhir, Anaya terdiam. Beribu pertanyaan kini muncul di benaknya.
Apakah dia harus turun dan menjumpai Nyonya Grebel? Ataukah dia meminta Leona untuk turun dan mengakhiri percakapan Josh dan istrinya?
Atau, apakah dia harus memberikan waktu pada Josh untuk berbincang sebentar dengan istrinya itu?
"Dia istrinya, Nay! Istrinya!" gumam Anaya dalam hati.
Akan tetapi, entah dorongan dari mana dan malaikat apa yang membawanya, Anaya turun ke bawah, ke tempat Josh dan Celline sedang berbincang.
Anaya terlihat gugup saat sudah berada di hadapan pasangan itu. "M-maaf, tapi, apakah Anda masih lama, Tuan? Karena jadwal klien tidak bisa diundur."
"Tadi saya sudah meminta Leona untuk memundurkan meeting 30 menit, tapi ternyata dari pihak mereka keberatan," kata Anaya dengan hati-hati.
Josh memandang jam tangannya dan beralih menatap Anaya. "Kami sudah selesai, Nona. Ayo, kita jalan sekarang!"
Namun, baru saja Josh hendak melangkah, Celline menggenggam tangan pria itu. "Josh, kumohon pikirkan permintaanku. Bukan demi aku, tapi demi Kanaya. Demi putri kita, Josh."
Josh melepaskan perlahan tangan Celline. "Seperti yang tadi sudah kukatakan, kondisi seperti ini lebih baik untuk kita. Selama ini, aku masih rutin meluangkan waktu untuk Kanaya, kan?"
"Nanti kita bicara lagi, aku ada meeting, dan aku tidak akan membiarkan klien pentingku ini pergi. Seperti katamu, aku harus berusaha keras, kan?" lanjut Josh lagi dan tanpa berpaling, dia merangkul pinggang Anaya dan berjalan di samping gadis itu.
Sementara Celline, dia bertanya-tanya dalam hati mengapa Josh harus merangkul pinggang gadis muda itu? Seperti ada yang salah di sana, tetapi Celline tidak ingin ambil pusing.
Dia pun beranjak pergi dari sana dengan seribu penyesalan yang tak pernah bisa dia tarik kembali.
Seusai meeting, Anaya mengajak Josh untuk makan malam bersama.
"Boleh aku tau, Kanaya itu putrimu? Gadis cantik yang memakai seragam sekolah waktu itu?" tanya Anaya ragu-ragu.
Karena dia tahu, begitu dia bertanya tentang keluarga Josh, maka dia akan memasuki kehidupan pribadi Josh lebih dalam.
Anaya berharap Josh tidak menjawab, namun sialnya, Josh mengangguk. "Yup, dia putriku. Putri angkat lebih tepatnya,"
Rasa penasaran Anaya kini tak dapat dibendung lagi. "Putri angkat? Dia bukan anakmu?"
"Secara hukum, dia putriku. Tapi, secara biologis dia bukan putriku. Sampai sini paham, Gadis Kecil?" tanya Josh tersenyum.
Dia paham rasa keingintahuan Anaya yang besar. Tetapi, dia tidak ingin gadis itu terlibat terlalu jauh dalam masa lalunya.
Anaya mengangguk-angguk pelan. Lalu, tanpa bisa dicegah, bibirnya kembali mengutarakan pertanyaan. "Jadi, siapa yang menjadi pasangan kedua di sini? Kau atau Nyonya Hudson?"
"Aku rasa itu kau, Josh. Dari awal aku bertemu dengan kalian, aku merasa janggal. Usia kalian seperti terpaut jauh, tapi kalian memiliki putri yang sudah beranjak remaja," kata Anaya berusaha menerka-nerka.
Tak lama, gadis itu tersenyum bangga. "Huh, feelingku tak pernah meleset sedikit pun, Josh."
Melihat tingkah dan raut wajah Anaya, Josh tertawa. "Hahaha, kau bisa jadi detektif, Nay."
"Lantas, kenapa dia menemuimu? Kau pernah bilang kalau kalian akan segera bercerai, kan?" tanya Anaya lagi.
Josh mendengus kecil. "Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Apa kau mencintaiku?"
Wajah Anaya berubah menjadi seperti kepiting rebus. "K-kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Karena pertanyaanmu dan pertanyaanku ini berhubungan," jawab Josh sambil tersenyum geli.
Kening di wajah Anaya mengerut dan alis matanya saling bertautan. "Darimana mereka berhubungan?"
"Kau belum paham cara berpikir orang dewasa, Nay. Menjadi dewasa itu berat dan segala sesuatu yang sudah kita putuskan akan berdampak pada hidup kita," kata Josh lagi dengan suara berat dan raut wajah serius.
"Celline menyesal dan mengaku salah karena dia telah merendahkanku. Hal itulah yang menjadi pemicu, aku melayangkan gugatan cerai kepadanya." Setelah mengatakan itu, Josh mengambil air dan meminumnya.
Wajahnya tampak lelah dan ada kesedihan yang mendalam pada sorot matanya. "Tadi, dia memintaku untuk mencabut gugatan cerai itu."
Kedua bola mata Anaya membesar. Perutnya seakan ditimpa meteor besar. Makanan yang tadinya lahap dia makan, kini terasa pahit dan keras.
Raut wajah gadis itu menjadi pucat pasi. Josh menangkap perubahan di wajah Anaya itu. "Kau baik-baik saja, Nay?"
Anaya menggeleng dan memaksakan senyumnya. "A-aku baik-baik saja, Josh."
Dia mengambil air yang ada di depannya dengan tangan gemetar. "Ehem! B-berarti, kalian akan berbaikan? Begitu, kan?"
Josh mengangkat bahunya. "Aku belum tau seperti apa nantinya. Dari tahun lalu, Celline belum merespon gugatan cerai itu, jadi sidang belum bisa dilaksanakan."
"Kalau begitu, kita tidak boleh sering-sering jalan seperti ini, Josh. Tidak enak dilihat orang lain," kata Anaya.
Perasaan tak nyaman mulai kembali menghantuinya. Dia menengok ke kanan dan ke kiri, untuk mengecek tidak ada satu orang pun yang mengenal mereka.
Josh menggenggam tangan pewaris White Companies itu. "Hei, bisakah kau tenang?"
"Perceraianku dengan Celline memang belum berjalan. Tapi, kita juga belum ada hubungan apa-apa, Nay, selain rekan kerja. Seperti katamu," lanjut Josh lagi, berusaha menenangkan Anaya.
Anaya menghela napas. "Aku takut. Kau tau, kan, ketakutan ini yang tidak membuatku nyaman saat berada di dekatmu."
"Aku ingin aku bisa bebas berdekatan denganmu. Aku ingin bebas mengecupmu di tengah orang banyak dan aku ingin mengatakan dengan lantang kalau aku mencintaimu, Josh! Tidakkah kau paham perasaanku?" tanya Anaya.
Josh memeluknya dengan erat. "Bersabarlah. Kita akan seperti itu, Nay. Aku berjanji."
Dalam sepersekian detik sebelum Josh memeluknya, Anaya dengan sadar melihat cincin kawin yang masih melingkar di jari manis Josh.
***