1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Ide Gila
Pariyem tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu menunggu apa. Keajaiban? Belas kasihan? Atau sekadar menipu diri sendiri bahwa suatu saat gerbang itu akan terbuka untuknya?
Matahari mulai tinggi. Keringat membasahi kulit. Tapi Pariyem tetap duduk di sana, menatap gerbang tertutup dengan mata yang semakin kosong, menghiraukan debu yang beterbangan, panas yang mencekik, dan tatapan merendahkan dari orang-orang yang melintas.
Di kepalanya, berbagai suara berkecamuk. Suara ibunya yang memperingatkan. Suara Soedarsono yang membujuk. Suara bayinya yang menangis.
Dan suara Marius Vecht yang entah mengapa terus terngiang: "Hukum buatan manusia. Bisa diubah."
Tapi untuk mengubah hukum, seseorang harus punya kuasa. Dan Pariyem tidak punya apa-apa selain tubuh yang semakin kurus dan hati yang semakin hancur.
"Mbak Yem," panggil Wiro dengan hati-hati. "Sudah siang. Kita pulang?"
Pariyem mengangguk pelan.
Tapi bahkan saat kereta mulai bergerak menjauh, matanya masih tertuju ke belakang. Ke gerbang yang menutup rapat antara dia dan darah dagingnya sendiri.
Setelah itu, perjalanan pulang terasa seperti siksaan yang tak berujung. Di sepanjang jalan setapak yang teduh di bawah jajaran pohon asam, Pariyem melihat pemandangan yang mencabik hatinya.
Seorang perempuan muda berjalan kaki dengan bakul sayuran di kepala, bayi digendong dengan selendang batik lusuh. Si bayi tertidur pulas, pipi tembamnya menempel di punggung ibunya. Damai. Aman. Bersama.
Lebih jauh lagi, seorang buruh tani dengan caping bambu menggendong anaknya di bahu. Si kecil tertawa riang, tangannya memegang kepala ayahnya. Di belakang mereka, sang istri membawa rantang berisi makan siang untuk dibawa ke sawah.
Keluarga-keluarga sederhana. Miskin. Tapi lengkap.
Pariyem memejamkan mata, tidak sanggup melihat lebih lama. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan.
Sampai di rumah, Pariyem langsung mengurung diri di kamar. Dia rebah di dipan, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
Benaknya menghitung, tiga hari ke depan, atau mungkin seminggu, Soedarsono tidak akan datang.
Pria itu baru saja meluapkan hasratnya, tidak akan membutuhkannya lagi untuk sementara. Dan dirinya? Jiwanya mulai retak seperti genteng yang terlalu lama dipanggang matahari.
Dari jendela, terdengar suara anak-anak bermain di halaman belakang. Tawa riang mereka seperti pisau yang menusuk.
Jika pun dia punya anak lagi kelak, nasibnya akan sama. Dibawa ke kadipaten. Dibesarkan sebagai keturunan bupati. Dididik untuk mengisi beberapa jabatan tinggi yang turun-temurun dipegang keluarga Soedarsono.
Kehilangan satu bayi saja rasanya seperti ini. Bagaimana kalau harus kehilangan lagi?
Pariyem duduk di lantai, bersandar pada dinding kayu yang dingin. Rambutnya terurai kusut, dibiarkan tidak disisir.
Dadanya nyeri, penuh susu yang tak tersalurkan. Air susu merembes, membasahi kebaya bagian depan. Sekujur tubuhnya panas dingin, dadanya nyeri setiap tersenggol.
"Mbok Nah, panggilkan tukang pijat," pintanya dengan suara serak.
Mbok Pijat datang sore itu. Perempuan tua dengan tangan kasar tapi terampil. Dia mulai memijat dari kaki, naik ke betis, paha, punggung.
"Mbak Yem tambah kurus, tambah cantik setelah melahirkan," komentarnya sambil menekan titik-titik di punggung.
Pariyem malas menimpali, padahal biasanya ia suka menggali skandal para ningrat dari tukang pijat ini.
"Sebentar lagi kadipaten mau punya gawe besar, ya?"
Tangan Pariyem menegang.
"Kata orang-orang, akan ada pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Wah, sudah lama sekali tidak ada pertunjukan sebesar itu. Pasti meriah sekali!"
Pariyem menutup mata. Tentu saja. Dia sudah menduga ini sejak Soedarsono dilantik menjadi bupati.
Seorang bupati yang menjabat harus memiliki istri yang sederajat. Yang akan menjadi Raden Ayu di kadipaten, mendampingi sang bupati dalam setiap acara formal. Hadir di pesta-pesta pejabat Belanda, menjadi wajah keluarga di hadapan publik.
Istri yang diakui sah oleh pemerintah kolonial. Bukan selir seperti dirinya yang dinikahi hanya untuk menghasilkan keturunan.
"Pasti nanti ramai sekali nanti," lanjut Mbok Pijat dengan antusias. "Kata orang, rakyat biasa boleh nonton pertunjukan wayang dari luar pagar. Saya mau datang, sudah lama tidak lihat wayang!"
Pariyem masih malas menimpali, ia tahu, perempuan ini sedang memprovokasinya, dan akan menjadikan reaksinya sebagai bahan pembicaraan di rumah-rumah ningrat lain.
Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di kepala Pariyem. Pesta pernikahan. Ramai. Rakyat jelata boleh menonton dari kejauhan.
Itu kesempatannya.
Saat semua orang sibuk dengan pesta, saat penjagaan mungkin lengah karena fokus pada tamu-tamu penting, dia bisa menyelinap masuk, melihat putranya walau sebentar. Paling tidak, dia harus punya kenangan tentang wajah Pram yang bisa disimpan di hati.
Berita pernikahan suaminya seharusnya menyakitkan, tapi perempuan itu sudah terlalu terbiasa berbagi suami.
Hatinya sudah terlalu kebal, dan justru menjadikan momen itu sebagai berkah.
"Kapan pestanya, Mbok?" tanya Pariyem, berusaha terdengar biasa saja.
"Dua minggu lagi katanya. Tanggal lima belas bulan depan."
Dua minggu. Pariyem menghitung dalam hati. Dia punya waktu untuk merencanakan.
\~\~\~
Tepat tiga hari setelah kunjungan terakhir, Soedarsono datang lagi. Sudah cukup malam, Pariyem hampir terlelap sambil memandangi tanggalan yang dilingkari merah, tanggal pesta pernikahan.
Dari pakaian yang dikenakan Soedarsono, beskap hitam bersulam benang emas dengan segala emblem kebesaran bupati, Pariyem tahu suaminya baru pulang dari jamuan makan malam. Mungkin dengan keluarga calon istri.
Dia menyambut seperti biasa, membantu melepas atribut kebesaran satu per satu. Tapi ada yang berbeda malam ini. Soedarsono tampak murung.
"Yem," ucapnya pelan, matanya mengikuti gerakan tangan Pariyem yang membuka kancing beskap. "Kenapa kau datang ke kadipaten?"
Pariyem tidak menduga Soedarsono akan membahas ini. "Saya ingin melihat Ndoro. Sekilas saja cukup. Saya rindu."
Wajah kesal Soedarsono seketika berubah. Senyum muncul di bibirnya. "Kau merindukanku?"
Pariyem balas tersenyum. Soedarsono begitu mudahnya termakan kebohongannya.
"Ya, Ndoro. Saya rindu," jawab Pariyem dengan nada manja seperti dulu. Lebih mudah berbohong daripada menjelaskan betapa ia menginginkan putranya.
Matanya menatap dengan penuh kekaguman. “Saya ingin melihat laki-laki paling tampan di kadipaten ini. Laki-laki paling penting yang membuat saya merasa terhormat melahirkan putra untuknya.”
Soedarsono terkekeh, memeluknya dengan sayang. "Kau ini. Kalau rindu, tunggu saja di sini. Aku pasti datang setelah semua urusan selesai."
Tangannya membelai pipi Pariyem. "Tapi jangan datang ke kadipaten lagi, Yem. Ibu marah besar tahu kau mencoba masuk. Dia bilang kau lancang, tidak tahu diri."
"Maafkan saya, Ndoro. Saya hanya ingin melihat iring-iringan mewah kereta Ndoro. Ndoro terlihat luar biasa. Saya tidak bermaksud membuat Ndoro marah."
"Sudahlah. Yang penting jangan diulangi." Soedarsono mengecup bibir Pariyem. "Apalagi sebentar lagi ...."
Dia tidak melanjutkan, tapi Pariyem tahu. Sebentar lagi akan ada Raden Ayu baru. Posisi Pariyem akan semakin tersingkir.
"Saya dengar Ndoro akan menikah lagi," ujar Pariyem pelan, nadanya santai.
Soedarsono mengangkat alis. "Telingamu lebih cepat daripada telik sandi manapun.”
Soedarsono terkekeh, menggigit main-main telinga pariyem, membuat perempuan itu tertawa geli. “Siapa yang memberitahu?"
"Semua orang sudah tahu, Ndoro."
"Hmm." Soedarsono menghela napas. "Ya, itu kewajiban. Politik. Bupati harus punya garwo padmi yang sederajat, seperti Sumi dulu. Kau mengerti kan, Yem?"