NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:32.3k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35. Sedikit Kepercayaan

Suasana rumah masih tenang saat Alendra bangun pagi. Sinar matahari menembus celah gorden, menimpa lantai kamar yang masih rapi. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mengusap wajahnya yang tampak sedikit pucat. Setelah menarik napas panjang, ia berdiri dan melangkah keluar kamar. Dari dapur, terdengar suara panci dan aroma tumisan bawang yang harum—tanda Larissa sudah mulai memasak.

Alendra berjalan pelan ke arah dapur. Di sana, Larissa tampak sibuk mengaduk wajan sambil menyiapkan bahan lain di meja.

“Pagi, Len,” sapa Larissa lembut saat menyadari anak sulungnya datang.

“Pagi, Bu,” balas Alendra sambil tersenyum kecil. “Hari ini Alen bantu apa, Bu?”

Larissa menoleh sekilas. “Kamu nanti tolong gorengin tempe sama tahu, ya. Ibu mau lanjutin masaknya ini,” ucapnya sambil menambahkan garam ke dalam tumisan.

“Oke, Bu.”

“Eh, sebelum goreng, kamu minum susu dulu. Itu, di meja. Ibu udah bikinin,” ujar Larissa sambil menunjuk segelas susu hangat yang masih mengepul.

Alendra menoleh ke meja, lalu tersenyum kecil. “Iya, Bu. Terima kasih.”

Ia mengambil gelas itu, meniup sedikit uapnya, lalu meminumnya perlahan. Hangatnya susu membuat perutnya sedikit nyaman. Belakangan ini, mual pagi sering datang, tapi ia berusaha menahannya agar Larissa tidak khawatir.

Larissa memperhatikan anaknya dengan tatapan lembut. Ia tahu kondisi Alendra tidak sebaik biasanya, tapi memilih untuk tidak menyinggungnya. Ia hanya ingin pagi ini terasa normal, seperti dulu—sebelum semuanya berubah.

“Alen,” panggil Larissa setelah beberapa menit. “Setelah sarapan nanti, kamu sama adik kamu berangkat di anter ayah pakai motor.”

Alendra menoleh. “Lha kenapa, Bu? Aku kan biasanya berangkat sendiri sama Riel. Kenapa hari ini di anter ayah?"

Larissa menunduk, mengaduk masakan di wajannya. "Kamu kan lagi hamil, ibu gak mau kamu gowes sepeda berat. Lagi pula, rencananya nanti ibu udah larang kamu pakai sepeda. Nanti biar ayah yang anter aja."

Alendra diam sejenak. Ia menatap wajan, lalu pelan-pelan menaruh sendok sayur di tangan. Suasana dapur tiba-tiba hening, hanya terdengar suara minyak yang berdesis di wajan.

Ia tahu maksud ibunya baik, tapi di hatinya terasa sesak. Kata hamil itu—meski diucapkan dengan lembut—tetap menampar perasaannya.

“Bu…” suaranya pelan, hampir tak terdengar. “Aku masih bisa kok, gak apa-apa. Alen kuat.”

Larissa menghentikan gerak tangannya, menatap anaknya dengan mata lembut tapi tegas. “Ibu tahu kamu kuat, Nak. Tapi kuat bukan berarti harus memaksa diri. Sekarang kamu gak cuma jagain diri kamu sendiri, tapi juga bayi yang kamu kandung.”

Nada suaranya pelan, tapi mengandung haru yang dalam.

Alendra menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang tiba-tiba mendesak keluar.

Larissa tahu anaknya sedang berjuang—antara rasa malu, takut, dan penyesalan. Tapi sebagai ibu, ia memilih untuk melindungi, bukan menghakimi.

“Sudah, Len,” ucap Larissa lagi, mencoba mengalihkan suasana. “Kamu bantu ibu goreng tahu-nya aja, ya. Pelan-pelan aja.”

“Iya, Bu…” jawab Alendra pelan.

Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Ardian muncul dengan pakaian kerja, rambutnya masih agak basah karena baru selesai mandi. Ia membawa tas kecil berisi uang untuk kembalian nanti. Dari belakang disusul oleh Ezriel yang sudah rapi dengan pakaian sekolahnya.

“Wah, wangi banget pagi ini,” ujarnya sambil tersenyum. “Masak apa nih dua wanita hebat Ayah?”

Larissa menoleh, tersenyum tipis. “Nasi goreng, tahu tempe goreng, sama sambel bawang. Mau kopi, Yah?”

“Tentu aja, Bu,” jawab Ardian sambil duduk di kursi makan. Tatapannya kemudian beralih pada Alendra. “Len, kamu udah siap sekolah? Nanti biar Ayah yang anter, ya."

Alendra terdiam, hanya mengangguk kecil. Larissa melirik suaminya sejenak, memberi isyarat agar tak banyak bicara soal itu. Ardian paham, lalu mengalihkan topik pembicaraan.

Setelah sarapan siap, mereka bertiga duduk di meja makan. Suasana sedikit canggung. Ardian berusaha memulai percakapan, tapi Alendra lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum kecil.

“Len,” ujar Ardian akhirnya. “Ayah harap kamu gak mikirin omongan orang, ya. Apa pun yang terjadi, kamu tetap anak Ayah dan Ibu. Gak akan ada yang bisa ubah itu.”

Ucapan itu membuat dada Alendra terasa hangat sekaligus sesak. Ia menunduk, menatap nasi goreng di piringnya. “Iya, Yah… makasih.”

Larissa hanya bisa tersenyum samar, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, Ardian berusaha sekuat tenaga menjadi pelindung. Tapi di luar sana, dunia tidak akan semudah itu. Omongan orang, tatapan sinis, dan gunjingan tetangga—semuanya hanya menunggu waktu.

---

Beberapa menit kemudian, terdengar suara motor berhenti di depan rumah.

Larissa menoleh dari dapur, keningnya berkerut. “Siapa tuh pagi-pagi udah ke sini?”

Alendra spontan ikut menatap ke arah jendela. Matanya sedikit membulat saat melihat sosok yang sudah sangat ia kenal—Rayven.

Pemuda itu turun dari motor, masih mengenakan seragam sekolah yang rapi. Ia membawa helm cadangan di tangannya, lalu melangkah mendekat ke teras rumah.

Larissa menatap anaknya dengan ekspresi tak percaya. “Itu… Rayven?”

Alendra menelan ludah. “Iya, Bu…”

Jantungnya berdegup kencang. Ia tak menyangka Rayven benar-benar datang pagi ini.

Ardian yang baru saja keluar dari kamar langsung menatap ke arah luar. Tatapannya tajam sesaat, tapi kemudian ia menarik napas panjang. “Biarkan dia masuk,” ucapnya pelan.

Larissa tampak ragu, namun tetap membukakan pintu. “Rayven? Tumben pagi-pagi ke sini, Nak.”

Rayven menunduk sopan. “Pagi, Tante. Saya mau jemput Alendra sekolah. Biar gak naik sepeda sendiri.”

Larissa dan Ardian saling berpandangan singkat. Ada jeda hening yang panjang sebelum Ardian akhirnya melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Rayven.

Ardian menatap Rayven lama, ekspresinya sulit dibaca. Kalimatnya terdengar tenang, tapi ada tekanan halus yang membuat suasana di ruang tamu itu terasa berat.

"Saya izinkan kamu berangkat bersama," ucapnya akhirnya, suaranya datar tapi tegas.

Rayven langsung mengangguk sopan. “Terima kasih, Om.”

Namun Ardian belum selesai. Ia menatap Rayven lurus, sorot matanya tajam tapi tak bernada marah — lebih seperti tatapan seorang ayah yang sedang menimbang hati anak muda di hadapannya.

“Tapi ingat, Rayven,” lanjut Ardian, suaranya pelan tapi tegas, “saya izinkan kamu jemput Alendra berarti tanggung jawab sudah ada di tangan, kamu wajib menjaganya hingga selamat sampai ke sekolah. Jangan ada luka sedikitpun dan buat saya tambah kecewa dengan kamu."

Rayven menunduk dalam, suaranya berat saat menjawab. “Saya mengerti, Om. Saya janji gak akan bikin Om kecewa lagi.”

Ardian hanya mengangguk singkat sebelum berbalik menuju kursi makan. “Baik. Sekarang silakan tunggu di luar. Alendra sebentar lagi siap.”

Rayven kembali mengangguk dan melangkah mundur, menutup pintu perlahan. Di luar, udara pagi masih sejuk, tapi jantungnya berdegup cepat. Ia tahu Ardian bukan orang yang mudah diyakinkan. Tapi datang ke sini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kesungguhannya — bahkan jika setiap langkah terasa seperti ujian.

---

Di dalam rumah, Larissa menatap suaminya yang kini duduk dengan wajah serius.

“Yah,” panggilnya pelan, “beneran kamu kasih izin Alen berangkat sama Rayven?”

Ardian menatap cangkir kopinya sejenak sebelum menjawab. “Kalau kita larang terus, Bu, ayah takut nanti Rayven akan lalai akan janji tanggung jawabnya. Untuk sekarang dia rela datang pagi-pagi sudah ayah kasih sedikit nilai plus karena masih memikirkan kandungan Alendra."

Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang dalam.

Larissa menghela napas pelan. “Ibu takut, Yah. Takut Alen makin terseret masalah yang lebih berat…”

Ardian menggenggam tangan istrinya lembut. “Kita gak bisa ubah apa yang sudah terjadi, Bu. Sekarang tugas kita cuma satu: lindungi dia. Jangan biarkan dia merasa sendirian.”

Larissa hanya mengangguk kecil. Ia tahu suaminya benar, tapi sebagai ibu, rasa takut itu tetap sulit hilang.

---

Beberapa menit kemudian, Alendra keluar dari kamarnya. Rambutnya sudah disisir rapi, seragam sekolahnya tampak bersih. Meski wajahnya masih terlihat pucat, ia berusaha tersenyum.

“Ibu, Ayah… Alen berangkat dulu, ya,” ucapnya pelan sambil menunduk sopan.

Larissa mendekatinya, membenarkan kerah seragamnya dengan lembut. “Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lama-lama di luar. Langsung pulang habis sekolah, ya.”

“Iya, Bu,” jawab Alendra lirih.

Ardian berdiri dan menatap anaknya sebentar. “Rayven udah nunggu di luar. Ayah izinkan kamu berangkat sama dia, tapi ingat pesan Ayah — jangan mampir ke mana-mana dulu. Untuk Ezriel biar ayah saja yang anter, kamu gak perlu anterin dia dulu."

Alendra hanya mengangguk. “Iya, Yah.”

Ia berjalan pelan menuju pintu, dan begitu membuka, matanya langsung bertemu dengan tatapan Rayven yang menunggunya di teras. Pemuda itu tersenyum kecil, berusaha menenangkan perasaannya yang masih campur aduk.

“Pagi,” sapa Rayven pelan.

“Pagi,” jawab Alendra hampir berbisik.

Rayven meraih helm cadangan dan menyodorkannya. “Nih, pakai ini. Gue bawa khusus buat lo.”

Alendra menerimanya, sedikit kikuk. “Makasih…”

Rayven memasangkan helmnya sendiri lalu naik ke motor. Setelah memastikan Alendra duduk dengan nyaman di belakang, ia menyalakan mesin pelan — berusaha tidak menimbulkan suara bising.

Dari balik jendela, Larissa memperhatikan mereka berdua. Ia menggenggam dada, sementara Ardian berdiri di sampingnya dengan wajah yang tetap tegas tapi matanya menatap jauh — seolah mengantar anak gadisnya ke dunia yang berbeda.

Motor itu perlahan menjauh, meninggalkan halaman sempit rumah Alendra.

Dalam perjalanan tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut mereka berdua. Hanya suara hembusan angin yang mengisi perjalanan pagi mereka.

1
Favmatcha_girl
bohong itu bu🤭
Favmatcha_girl
dari calon mantu bu
Favmatcha_girl
perhatian juga Abang yang satu ini
Favmatcha_girl
Semangat berjuang Rayven 💪
ilham gaming
nasehat papa Damian bagus
Favmatcha_girl
Lhaa baru kenalan
Favmatcha_girl
gak galak kamu ven
Favmatcha_girl
sama orang lahh
Favmatcha_girl
ketuanya aja kaget
Favmatcha_girl
bukan sakit tapi mulai jatuh cinta🤭
Favmatcha_girl
lagi bahagia dia Nay😌
Favmatcha_girl
Jauh sekali perumpamaan nua
Favmatcha_girl
untung aja gak kenapa-kenapa
Favmatcha_girl
hahh betul, aku dukung kamu
Favmatcha_girl
kayaknya enggak deh Ven, pikiran kamu aja
Favmatcha_girl
cie udah mulai jatuh cinta 🤭
Favmatcha_girl
yahhh zonk
Favmatcha_girl
jemput aja udah, kasihan kalau pakai sepeda mulu
Favmatcha_girl
jangan banyak-banyak pikiran Len😌
Favmatcha_girl
aminn
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!