Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RESEPSI PERNIKAHAN
Arya dan Laura berdiri agak jauh dari kerumunan. Mata mereka tak lepas dari Shima dan Arru.
Arya memperhatikan cara Arru sedikit memiringkan tubuhnya setiap kali Shima bergerak. Cara tangannya selalu berada di dekat terkadang di punggung, terkadang di pinggang tanpa pernah benar-benar mencengkeram, tapi cukup untuk memberi peringatan.
Laura mengepalkan jemarinya.
“Dia kelihatan bahagia,” ucapnya lirih, lebih seperti gumaman.
Arya tidak menjawab. Dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak ingin ia akui.
Di saat itulah Leonhard Whitmore, direktur rumah sakit, melangkah mendekat. Setelan jasnya rapi, senyumnya profesional namun jelas ada keterkejutan di matanya.
“Tuan Vance,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Selamat atas pernikahannya.”
Arru menyambut salaman itu singkat. Tegas. Lalu Leonhard menoleh pada Shima, hendak mengulurkan tangan yang sama.
Namun sebelum jemari itu mencapai tujuan, Arru sudah melangkah setengah langkah ke depan.
“Istri saya,” katanya tenang, tanpa nada kasar, “sedang tidak menerima terlalu banyak kontak hari ini.”
Leonhard tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. Bukan tersinggung justru terkesan.
“Ah,” katanya, mengangguk paham. “Saya mengerti.”
Shima menunduk sopan, senyum tipis terukir di bibirnya. “Terima kasih atas pengertiannya, Tuan Whitmore.”
Leonhard menatapnya lebih saksama, lalu menggeleng pelan.
“Jangan beri saya hormat seperti itu, Dokter Senja.”
Shima terangkat wajahnya, sedikit terkejut.
“Seharusnya,” lanjut Leonhard dengan suara mantap, “akulah yang memberi hormat padamu. Rumah sakit kami berdiri di atas dedikasi orang-orang sepertimu dan suamimu adalah pemilik rumah sakit kita.”
Arru melirik Shima sekilas. Ada kilat kepuasan yang cepat menghilang dari matanya.
“Kau dengar itu?” ucapnya rendah. “Dunia akhirnya melihatmu seperti yang seharusnya.”
Shima menelan napas. “Saya hanya melakukan pekerjaan saya.”
“Dan aku,” jawab Arru, suaranya tenang namun dalam, “tidak pernah salah memilih.”
Kata-kata itu tidak keras. Tidak dramatis. Tapi cukup membuat Leonhard tersenyum lebar dan cukup membuat Arya, dari kejauhan, menggertakkan rahang.
Laura memalingkan wajah.
“Berhentilah melihatnya seperti itu,” katanya dingin. “Kau membuatku muak.”
Namun matanya sendiri tak bisa berbohong iri itu terlalu jelas.
Di tengah aula yang berkilau, di antara pujian dan bisik-bisik, Arru tetap berdiri setengah langkah di depan Shima. Sebuah posisi sederhana, nyaris tak disadari orang lain namun cukup untuk menyatakan satu hal dengan jelas:
Shima Lyra Senja bukan lagi wanita yang bisa disentuh sembarang orang.
Ia adalah istri Arru Vance.
Dan dunia suka atau tidak harus menerima itu.
Suara resepsi semakin meninggi. Musik live mengalun memenuhi aula biola, piano, dan denting gelas yang saling bersahutan. Tawa dan obrolan bercampur jadi satu, menciptakan suasana yang hangat dan hidup. Hari itu benar-benar terasa seperti hari bahagia bagi semua orang.
Lampu kristal di langit-langit diredupkan perlahan, berganti cahaya keemasan yang lembut. Seorang pembawa acara mengumumkan sesi dansa. Pasangan-pasangan mulai memenuhi lantai dansa, bergandengan tangan, tertawa, menikmati momen.
Arya menggenggam tangan Laura lebih erat dari biasanya. Ada senyum puas di wajah Laura saat ia menarik Arya ke tengah lantai dansa. Gaunnya berkilau, langkahnya percaya diri dan matanya, sengaja, mencari satu sosok.
Shima.
Laura berdansa dengan sengaja. Gerakannya intim, jaraknya dekat, tawanya dibuat sedikit berlebihan. Ia yakin, Shima akan melihat. Ia ingin Shima melihat. Ingin mantan sahabatnya itu tahu bahwa Arya kini miliknya.
Arya ikut berdansa, tapi matanya tanpa ia sadari terus melirik ke arah lain.
Ke arah Shima dan saat itulah Arya membeku. Arru telah membawa Shima ke lantai dansa.
Tidak tergesa. Tidak pamer. Tapi setiap langkah Arru tenang dan penuh kendali. Tangannya diletakkan di pinggang Shima dengan posisi yang sangat dekat terlalu dekat untuk sekadar formalitas. Jarak mereka nyaris tak ada.
Shima sedikit menegang saat Arru menariknya lebih dekat. Napasnya tertahan.
“Tuan…” bisiknya pelan.
Arru menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Shima. Dari luar, itu tampak seperti bisikan mesra.
“Tersenyumlah,” ucapnya rendah. “Semua mata sedang melihat kita.”
Shima menelan ludah, lalu tersenyum senyum yang lembut, anggun, sempurna.
Arru memimpin dengan mudah. Setiap putaran terasa halus, setiap langkah terukur. Ia tidak pernah melepas Shima, bahkan sedetikpun. Tangannya tetap di sana, seolah mengunci.
“Kau baik-baik saja?” tanya Arru pelan, suaranya terdengar hangat di telinga siapa pun yang melihat.
“Hanya… sedikit gugup,” jawab Shima jujur, masih tersenyum untuk dunia.
Arru terkekeh lirih. “Ingat posisimu, Dr. Senja.”
Ia mendekatkan wajahnya sedikit lagi. “Hari ini, kau adalah istriku.”
Shima terdiam.
“Istriku,” ulang Arru lebih pelan, lebih dalam. “Dan di lantai ini… kau milikku.”
Jari Arru menekan sedikit di pinggang Shima bukan kasar, tapi cukup untuk membuat pesan itu jelas. Shima menarik napas, lalu mengangguk tipis.
“Aku mengerti.”
“Bagus,” jawab Arru. “Sekarang nikmati saja. Biarkan mereka berpikir kita saling mencintai.”
Dari kejauhan, Laura mulai menyadari ada yang salah.
Ia melihat cara Arru menundukkan kepala ke arah Shima. Cara Shima tertawa kecil bukan tawa palsu, tapi ringan. Cara tubuh mereka bergerak seirama, terlalu selaras untuk sekadar sandiwara.
“Kenapa dia tidak melihat kita?” Laura berbisik kesal.
Arya tidak menjawab. Dadanya terasa seperti diremas.
Di hadapannya, Shima tidak menunjukkan sedikit pun kecemburuan. Tidak ada tatapan terluka. Tidak ada raut kalah. Yang ada hanyalah seorang wanita anggun yang berdansa dalam pelukan pria yang jauh lebih kuat lebih berkuasa daripada dirinya.
“Arru itu… terlihat seperti benar-benar mencintainya,” gumam Arya tanpa sadar.
Laura menoleh tajam. “Apa?”
“Tidak,” Arya segera menepis. Tapi matanya tak bisa berbohong.
Di lantai dansa, Arru memutar Shima perlahan lalu menariknya kembali ke dalam pelukannya. Senyum Shima tetap terjaga, tapi jantungnya berdetak tak beraturan.
“Kau melakukannya dengan baik,” ucap Arru. “Dunia puas.”
“Dan kau?” tanya Shima lirih.
Arru menatapnya sejenak tatapan yang sulit dibaca. Lalu ia berkata, nyaris berbisik,
“Aku hanya memastikan tak ada seorang pun yang lupa… siapa pemilikmu sekarang.”
Musik terus mengalun. Cahaya berkilau di sekitar mereka. Dan di tengah kebahagiaan palsu itu, satu hal menjadi nyata:
Shima tidak lagi berdiri sendirian.
Dan Arru Vance dengan caranya yang dingin dan menguasai telah mengklaimnya di hadapan semua orang.
Musik berakhir dengan tepuk tangan panjang. Pasangan-pasangan perlahan meninggalkan lantai dansa, kembali ke meja masing-masing dengan wajah puas dan tawa ringan. Bagi banyak orang, malam itu sempurna.
Tapi tidak bagi Arya.
Tangannya masih menggenggam Laura, namun sentuhannya kehilangan makna. Tatapannya tertinggal di tengah ruangan tepat pada sosok Shima yang baru saja dilepaskan dari pelukan Arru. Gaunnya jatuh sempurna di tubuhnya, senyumnya masih terpasang, seolah tidak ada satu pun yang mengguncangnya malam itu.
Seolah Arya tak pernah berarti.
“Sayang?” Laura menarik tangan Arya. “Kamu kenapa dari tadi melamun?”
Arya tidak langsung menjawab. Dadanya naik turun, napasnya terasa sempit. Ia melihat Arru meraih pinggang Shima sekali lagi, hanya sebentar, sekadar memastikan ia berjalan di sisinya. Gestur kecil itu ringan, nyaris tak terlihat justru menghantam Arya lebih keras dari apa pun.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.