NovelToon NovelToon
Obsesi Cinta King Mafia

Obsesi Cinta King Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: dina Auliya

Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.

Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.

Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api Dalam Dada

Leonardo berdiri lama di samping ranjang, matanya menatap wajah Aruna yang tertidur. Tangannya yang berotot bergetar halus, mencengkeram secarik kertas lusuh dengan tulisan halus yang menusuk lebih tajam daripada peluru.

"Jika kau ingin bebas, jangan kembali."

Kata-kata itu berputar di kepalanya, seperti mantra jahat yang ditulis oleh iblis.

Aruna bergumam dalam tidurnya, menggeliat gelisah. Leonardo ingin membangunkannya, ingin menuntut jawaban, tapi ia menahan diri. Ia tahu, jika ia melakukannya malam ini juga, ia mungkin tak akan mampu menahan amarah yang menggelegak.

Ia melangkah keluar kamar, menutup pintu pelan. Rokok menyala di bibirnya, asap mengepul ke langit-langit koridor. Di dalam dirinya, dua sisi bertarung: cinta yang ingin melindungi, dan kegelapan yang ingin menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh wanitanya.

---

Di ruang kerjanya, Leonardo duduk berhadapan dengan Marco. Wajahnya dingin, tatapannya menusuk.

“Marco,” ucapnya lirih, namun mengandung ancaman. “Seseorang menyelinap masuk ke kamar Aruna. Seseorang meninggalkan pesan untuknya. Itu berarti ada pengkhianat di dalam lingkaran kita.”

Marco menahan napas. Ia sudah menduga sesuatu seperti ini akan terjadi sejak Aruna pergi malam itu. Tapi mulutnya terkunci.

“Siapa yang kau curigai, Bos?” tanyanya hati-hati.

Leonardo mengembuskan asap rokok perlahan. “Semua orang. Termasuk kau.”

Marco menegakkan tubuh, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu kesetiaan pada De Santis tak boleh goyah, tapi ia juga tahu bahwa Aruna sudah muak dengan semua ini.

Leonardo mencondongkan tubuh, suara rendahnya nyaris berbisik. “Aku ingin kau menyelidiki siapa yang berani menyentuh Aruna. Jika kau gagal… maka mungkin kaulah pengkhianat itu.”

---

Pagi harinya, Aruna bangun dengan mata sembab. Ia merasakan kejanggalan dalam cara Leonardo menatapnya saat sarapan. Tidak ada senyum, tidak ada belaian—hanya sorot tajam penuh rahasia.

“Tidurmu nyenyak?” tanya Leonardo datar.

Aruna menelan ludah. “Lumayan.”

“Mimpi buruk?”

“Tidak… hanya lelah.”

Leonardo mengangguk pelan, tapi matanya tidak lepas darinya, seakan sedang membaca setiap gerakan tubuh, setiap kedipan mata.

Aruna menggenggam sendok terlalu erat. Ia merasa terpojok. Ia tahu Leonardo sudah mencium sesuatu.

Dalam hati, ia berdoa: Tuhan, jangan biarkan dia tahu aku pergi malam itu.

---

Sementara itu, di Napoli, Don Moretti menerima laporan dari utusannya yang menemui Aruna di gereja.

“Dia datang, Tuan,” kata pria itu dengan suara penuh kemenangan. “Tapi ia masih ragu. Aku rasa, sedikit dorongan lagi, ia akan patah.”

Don Moretti tersenyum puas. “Bagus. De Santis mungkin punya pasukan, senjata, dan uang, tapi yang kita incar hanyalah satu: hatinya. Jika Aruna menjauh darinya, Leonardo akan buta oleh amarah. Dan saat itu tiba, kita tikam jantungnya.”

Ia menyalakan cerutu, kepulan asap menari di udara. “Teruskan. Buat dia merasa bahwa kebebasan hanya ada di tangan kita.”

---

Elena Varga duduk di markas rahasia Interpol cabang Roma. Ia menerima laporan yang sama—Aruna sudah keluar, sudah bertemu Moretti.

“Bagaimana reaksi De Santis?” tanya seorang agen.

Elena menyilangkan kaki, wajahnya dingin. “Belum ada yang meledak. Itu justru lebih berbahaya. Jika ia sudah tahu, ia akan menunggu momen untuk menghantam balik. Dan ketika De Santis membalas, akan ada darah di mana-mana.”

“Apa kita harus menarik Aruna keluar sekarang?”

Elena menggeleng. “Tidak. Biarkan dia tetap di dalam. Dia adalah kunci. Jika kita keluarkan terlalu cepat, kita kehilangan kesempatan emas. Biarkan ia sendiri yang membuka pintu kandangnya.”

---

Malam itu, Aruna duduk di balkon kamarnya, memandangi laut gelap di kejauhan. Angin membawa aroma asin, tapi juga dingin yang menusuk tulang.

Leonardo datang diam-diam, menyampirkan jaket di pundaknya. “Kau akan sakit kalau terus di luar.”

Aruna tersentak. “Aku hanya ingin udara segar.”

Leonardo menatapnya lama. “Apa kau tidak bahagia di sini?”

Pertanyaan itu menusuk. Aruna menunduk, tidak sanggup menatapnya. “Aku hanya… merasa terkurung.”

Leonardo meraih dagunya, mengangkat wajahnya agar menatap matanya. “Aku mengurungmu bukan karena aku ingin kau sengsara, tapi karena dunia di luar sana ingin merenggutmu dariku.”

Air mata Aruna mengalir. “Tapi Leo… aku juga manusia. Aku butuh kebebasan. Aku tidak bisa hidup hanya dengan ketakutan dan penjagaan.”

Leonardo terdiam, rahangnya mengeras. Ia mencium kening Aruna, lalu berbisik dengan suara yang lebih seperti ancaman daripada penghiburan. “Kebebasanmu adalah ketika semua musuhku mati.”

---

Di ruang bawah tanah vila, Marco duduk sendiri, minum anggur dengan wajah murung. Kata-kata Leonardo siang tadi terus menghantui: “Termasuk kau.”

Ia telah bersumpah setia pada De Santis sejak muda, tapi hatinya goyah melihat penderitaan Aruna. Wanita itu tidak pantas terjebak dalam perang mafia.

Seorang anak buah masuk, memberi laporan. “Tuan Marco, ada pergerakan aneh di luar Palermo. Sepertinya orang Moretti.”

Marco mengangguk pelan. “Biarkan aku yang mengurus.”

Namun dalam hatinya, ia berbisik: Sampai kapan aku bisa melindunginya dari dua sisi sekaligus—dari Moretti, dan dari Leonardo sendiri?

---

Tengah malam, suara tembakan mengguncang sisi barat vila. Pasukan kecil bersenjata berat mencoba menerobos pagar besi.

Leonardo turun tangan sendiri. Dengan senapan otomatis di tangan, ia memimpin perlawanan. Peluru menghujani, tubuh-tubuh jatuh, darah membasahi tanah.

“Bunuh mereka semua!” teriaknya, matanya merah membara.

Aruna menutup telinga di dalam kamar, tubuhnya gemetar. Ia mendengar teriakan, dentuman, bau mesiu yang menembus dinding. Air matanya jatuh tanpa henti.

Ketika subuh tiba, halaman vila penuh mayat. Leonardo berdiri di tengahnya, tubuh berlumur darah, tapi sorot matanya tetap dingin.

“Moretti sudah melampaui batas,” gumamnya. “Sekarang aku yang akan memburu mereka.”

---

Setelah serangan itu, penjagaan vila dilipatgandakan. Aruna bahkan tidak bisa lagi berjalan di taman tanpa dua pengawal mengikuti langkahnya.

Ia merasa napasnya semakin sesak. Pesan Moretti, tatapan Elena, semua berputar di kepalanya.

Di cermin, ia melihat wajahnya sendiri—pucat, mata sembab, seperti tawanan.

“Aku bukan boneka…” bisiknya, suaranya parau. “Tapi kenapa aku hidup seperti boneka?”

Tangannya mengepal, hatinya penuh tekad. Aku harus keluar. Apa pun risikonya.

---

Malam itu, Leonardo duduk sendirian di ruang kerja. Di mejanya, secarik kertas dengan tulisan rahasia masih tergeletak. Ia menatapnya lama, lalu meremasnya dengan tangan gemetar.

Marco masuk pelan. “Bos, anak buah Moretti sudah kita kejar. Tapi sepertinya mereka punya sekutu di luar negeri.”

Leonardo mendongak, matanya merah. “Aku tidak peduli sekutu mereka siapa. Aku hanya peduli pada satu hal: siapa yang menyentuh Aruna.”

Marco menelan ludah. “Mungkin Aruna tidak tahu apa-apa.”

Leonardo menghantam meja dengan tinjunya, kayu retak. “Dia tahu! Dia pasti tahu!”

Marco terdiam. Ia tahu, sejak menemukan pesan itu, Leonardo tidak lagi berpikir jernih. Obsesi dan amarah sudah menguasainya.

---

Beberapa hari kemudian, Aruna kembali menemukan secarik kertas di bawah pintu kamarnya.

"Jika kau ingin bebas, pintu masih terbuka. Jangan percaya siapa pun. Jumat depan, dermaga tua."

Aruna menggenggam kertas itu dengan tangan gemetar. Ia tahu itu Moretti. Ia tahu bisa jadi jebakan. Tapi hatinya sudah tidak tahan lagi.

Ia ingin kabur. Meski hanya sebentar.

---

Leonardo akhirnya memutuskan untuk memberi pesan pada dunia. Ia menghubungi koneksi internasionalnya, mengatur serangkaian serangan brutal pada markas Interpol di Eropa Timur.

Ledakan mengguncang gedung di Warsawa, data rahasia hilang, agen-agen elit tewas. Berita itu menyebar ke seluruh dunia: De Santis menantang hukum internasional secara terang-terangan.

Elena menatap layar berita dengan rahang mengeras. “Ini sudah bukan perang mafia lagi. Ini perang pribadi.”

---

Malam Jumat tiba lagi. Aruna duduk di kamarnya, tubuhnya gemetar hebat. Pesan Moretti di tangannya terasa seperti bara api.

Haruskah aku pergi?

Ia menatap Leonardo yang tertidur di sofa, wajahnya letih tapi tetap menakutkan. Luka di bahunya masih basah, namun ia tidur dengan pistol di genggamannya.

Air mata Aruna mengalir. “Maafkan aku, Leo…”

Dengan langkah pelan, ia mengambil mantel, lalu menyelinap keluar.

---

Di dermaga tua, kabut tebal menyelimuti. Aruna melangkah hati-hati, jantungnya berdegup kencang.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari belakang.

“Aruna.”

Ia membeku. Suara itu terlalu dikenalnya.

Leonardo berdiri di ujung dermaga, wajahnya gelap, matanya merah menyala. Di tangannya, secarik kertas dari Moretti yang ia temukan di kamar Aruna.

“Jadi ini caramu membalas cintaku?” suaranya serak, penuh luka sekaligus amarah. “Dengan berlari ke pelukan musuh?”

Aruna terperangah, tubuhnya lemas. “Leo… aku—”

“Diam!” teriak Leonardo, suaranya bergemuruh seperti badai. “Aku melawan dunia untukmu. Dan kau malah menusukku dari belakang.”

Air mata Aruna jatuh deras. “Aku hanya ingin bebas, Leo… aku ingin bernapas…”

Leonardo menatapnya lama, lalu tersenyum getir. “Kau sudah memilih. Dan aku juga akan memilih.”

Kabut semakin tebal, suara langkah lain terdengar dari balik gelap—orang-orang Moretti mulai muncul.

Dan di kejauhan, Elena Varga mengintai dengan senapan, matanya fokus pada satu titik: Aruna.

---

Di dermaga yang dingin itu, tiga dunia bertemu: cinta yang hancur, pengkhianatan yang terbongkar, dan musuh yang menunggu untuk menusuk.

Leonardo berdiri di antara Aruna dan kegelapan, wajahnya penuh badai. Aruna menangis, tubuhnya gemetar. Moretti tersenyum puas dalam bayangan.

Dan Elena, dari kejauhan, menarik pelatuk perlahan.

1
🇬‌🇦‌🇩‌🇮‌🇸‌🇰‌
n
🇬‌🇦‌🇩‌🇮‌🇸‌🇰‌
Yang udah diringkas nya naskah nya ini?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!