Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. SAKIT
Pelukan itu begitu tiba-tiba, membuat Lucia sempat kaku. Gelas di tangannya ia letakkan perlahan di meja dapur, takut kalau refleks tubuhnya membuat air tumpah. Napas Evan terasa hangat di lehernya, dan genggaman tangannya begitu kuat seakan ia tak ingin melepaskan.
Lucia tersenyum samar, sedikit menoleh, suaranya lembut.
"Evan, kau membuatku hampir tersedak air barusan. Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Lucia.
Alih-alih menjawab dengan penjelasan panjang, Evan hanya menggumam pelan, "Aku sedang menenangkan diriku sendiri."
Lucia mengangkat alis, geli sekaligus bingung. "Dengan memelukku dari belakang?"
"Ya," jawab Evan singkat, nadanya datar, tapi jujur sekali.
Lucia tidak bisa menahan tawa kecilnya. Ia merasa aneh melihat sisi pria itu yang biasanya tegas, dingin, dan penuh wibawa, kini berubah jadi seseorang yang nyaris kekanak-kanakan. Seperti seorang anak lelaki yang cemburu karena mainannya dipinjam orang lain.
"Jadi benar kata Clara," kata Lucia, setengah bercanda. "Kau cemburu padanya."
Pelukan Evan semakin erat. "Aku tidak suka melihatmu terlalu dekat dengannya. Dia menyentuhmu terlalu sering dibandingkan aku."
Lucia terkekeh, lalu menoleh hingga wajahnya bisa menatap sekilas wajah Evan. "Bagaimana bisa kau cemburu pada Clara, sahabat perempuan kita sendiri. Dia perempuan bukan pria dan kau tetap cemburu?"
Evan menatap Lucia lama, seolah mencoba membaca kebenaran dari sorot matanya. "Mungkin. Tapi tetap saja ... aku tidak suka berbagi waktumu dengan orang lain."
Lucia menghela napas lembut, hatinya bergetar karena kalimat sederhana itu. Ada kepemilikan dalam kata-kata Evan, tetapi bukan dengan nada mengekang, lebih mirip ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga.
Lucia mengangkat tangannya, menyentuh lengan Evan yang melingkari pinggangnya. "Seperti anak kecil saja kau ini."
Evan diam sejenak. Lalu, tanpa melepas pelukan, ia menurunkan dagunya hingga menyentuh bahu Lucia. Ada keheningan nyaman yang tercipta, hanya diisi suara detak jam dinding dan dengung pendingin udara.
Beberapa menit berlalu begitu saja. Hingga akhirnya Lucia berbalik, membuat Evan harus melepaskan pelukannya. Ia menatap pria itu dengan senyum kecil, seakan ingin menertawakan namun juga menenangkan.
"Kau tahu, wajahmu barusan benar-benar lucu. Kau menatap Clara seperti singa kelaparan," canda Lucia.
Evan mendengus pelan, menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. "Dia terlalu menguji kesabaranku. Dan sengaja mengambilmu dariku."
Lucia menutupi mulutnya dengan tangan, tertawa kecil. "Padahal Clara hanya ingin membuatmu jengkel. Dan ternyata berhasil semudah itu."
Evan menatapnya tajam, tetapi tatapan itu dengan cepat luluh saat Lucia mendekat, menyentuh dadanya dengan lembut.
"Jangan khawatir. Aku senang Clara ada di sisiku. Dia membuatku merasa lebih bebas. Tapi itu tidak berarti aku akan melupakanmu, Evan," kata Lucia.
Kalimat itu membuat napas Evan tertahan sejenak. Matanya melembut, dan senyum samar akhirnya muncul di bibirnya, jarang sekali Lucia melihat senyum yang begitu tulus darinya.
"Tetap saja aku haus perhatianmu, Love," kata Evan seraya mencium gemas pipi Lucia.
Lucia menatapnya lama, lalu tertawa kecil. "Benar-benar seperti anak kecil," katanya.
Hening kembali turun, namun kali ini bukan hening yang canggung. Lebih mirip kehangatan yang menyelimuti keduanya.
Malam itu mereka duduk di ruang tengah. Evan membuka beer kaleng dan cemilan untuk mengobrol berdua. Lucia menyesap sedikit, tidak ingin mabuk karena terlalu banyak minum beer.
"Evan?" panggil Lucia, sambil memutar kaleng beer di tangannya.
"Hmm?"
"Kau tidak benar-benar marah pada Clara, kan?" tanya Lucia asal.
Evan menatap kosong ke arah jendela besar yang memerlihatkan gemerlap lampu kota. "Tentu saja tidak. Aku hanya ... merasa dia terlalu sering mengalihkanmu dariku."
Lucia tersenyum lembut. "Sejak kapan kah jadi posesif seperti ini, huh?"
Pertanyaan itu membuat Evan menoleh, memandang Lucia dengan tatapan yang dalam. Ada sesuatu yang tak terucap di matanya, perasaan yang tak ia tunjukkan dengan kata-kata, tetapi jelas terasa.
"Sejak dulu. Terutama setelah tahun-tahun tanpa melihatmu," jawab Evan
Lucia merasa jantungnya berdegup kencang. Ia mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Untuk sesaat, ia merasa seperti gadis remaja yang salah tingkah di depan seseorang yang ia sukai diam-diam.
Hari-hari berikutnya berjalan hampir serupa. Clara tetap datang, membawa gelak tawa dan energi berlebih. Deren pun ikut serta, sesekali menggoda Evan dengan komentar tentang 'wajah masamnya' saat Clara terlalu dekat dengan Lucia.
Namun, anehnya, justru suasana itu membuat hubungan mereka semakin erat. Clara sering menjahili Evan, tapi selalu dengan cara yang membuat Lucia tertawa. Deren menjadi penengah, sementara Evan, meskipun sering menggerutu tapi selalu ada di sisi Lucia, memastikan tidak ada yang membuatnya merasa tidak aman.
Lucia mulai terbiasa dengan 'kebebasan' yang Clara dorong: berani berjalan sendirian di taman atap penthouse, memilih pakaian tanpa takut dihakimi, bahkan mulai menuliskan kembali mimpi-mimpinya di sebuah buku catatan.
Dan setiap kali Lucia melangkah maju, Evan selalu ada, kadang dalam bentuk pelukan hangat, kadang hanya tatapan lembut yang penuh kebanggaan.
Malam tertentu, setelah Clara dan Deren pulang lebih cepat, Lucia dan Evan kembali berdua di penthouse yang sunyi. Menikmati waktu berduaan mereka.
Lucia duduk di dapur, meminum teh hangat. Evan masuk diam-diam, lalu tiba-tiba memeluknya dari belakang, kebiasaan baru yang entah sejak kapan menjadi rutinitasnya.
Lucia terkekeh, mengguncang kepalanya. "Kau benar-benar sudah kecanduan memelukku dari belakang, ya?"
"Ya," jawab Evan singkat, tanpa malu.
"Dan itu hanya terjadi setiap Clara pulang," tambah Lucia menggoda.
Evan menunduk, berbisik di telinganya. "Karena saat itu aku merasa waktuku kembali sepenuhnya milikku."
Lucia terdiam. Hatinya mencair oleh kalimat sederhana itu. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan Evan, menyadari bahwa di balik semua cemburu kekanak-kanakan, ada ketulusan mendalam yang tidak bisa disangkal.
Namun tiba-tiba, suasana berubah.
Lucia terdiam, tangannya yang memegang gelas bergetar. Ia meletakkannya tergesa di meja, lalu menyentuh kening. Wajahnya pucat, butiran keringat bermunculan di pelipis.
"Lucy?" suara Evan merendah, penuh waspada ketika melihat perubahan pada diri sang wanita.
Lucia mengusap lehernya, napasnya terengah. Keringat dingin menyelimuti tubuhnya.
"Perutku ... sakit," ucap Lucia.
Tangan Lucia refleks memegang perut bagian bawah, tubuhnya membungkuk, rasa sakit merayap cepat.
"Lucy?!"
Evan segera berjongkok di hadapan Lucia, panik. Ia menyentuh dahi Lucia, terkejut mendapati kulitnya dingin seperti es, sementara tubuhnya gemetar hebat.
"Tidak, tidak, ini tidak normal," gumam Evan, wajahnya pucat.
Lucia mencoba tersenyum, tapi gagal. Rasa sakit itu terlalu menyiksa. "Aku tidak apa-apa. Mungkin hanya-"
"Tidak, kau tidak baik-baik saja!" potong Evan tegas, nadanya bergetar. Ia menahan tubuh Lucia yang hampir jatuh dari sofa. "Bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang juga."
Tanpa pikir panjang, Evan mengangkat tubuh Lucia dalam gendongan. Jantungnya berdebar keras, seakan setiap detik adalah perlombaan dengan waktu. Ia berjalan cepat menuju lift pribadi, menekan tombol dengan tangan gemetar.
"Bertahan, Love. Kumohon, jangan pingsan," bisiknya panik, menatap wajah Lucia yang makin pucat.
Napas Lucia berat, keringatnya membasahi leher dan pelipis. Ia mencoba membuka mata, menatap samar wajah Evan. "Maaf ... merepotkanmu."
"Jangan bicara begitu!" Evan hampir berteriak, nadanya tajam karena ketakutan. "Kau tidak pernah merepotkanku. Kau penting bagiku. Sangat penting."
Lucia menutup mata, tubuhnya lemah. Evan menggigit bibir, hampir kehilangan kendali. Ia bukan pria yang mudah panik, tetapi melihat Lucia seperti itu membuat semua ketenangan yang selama ini ia banggakan runtuh.
Begitu lift terbuka, Evan berlari ke parkiran bawah tanah. Menuju mobilnya berada.
Evan segera membuka pintu, masuk dan mendudukkan Lucia di kursi penumpang, kemudian Evan berjalan memutar dan duduk di kursi pengemudi.
"Tetaplah sadar, Love. Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Evan panik.
Mobil melesat, suara mesin meraung. Jalanan kota yang masih ramai terasa panjang dan mencekam. Evan menatap wajah Lucia tanpa henti, tangannya mengusap rambutnya, berusaha menenangkan.
"Bertahan, Sayang. Sebentar lagi kita sampai," pinta Evan, meski hatinya sendiri dilanda kepanikan.
Lucia menggeliat pelan, merintih. Tangannya menggenggam bajunya erat, seolah mencari pegangan. "Evan ... sakit," ucap Lucia nyaris tak terdengar.
"Aku di sini. Jangan khawatir. Kau akan baik-baik saja," kata Evan yang lebih ditunjukkan untuk dirinya sendiri agar tenang.
Malam itu, Evan tidak pernah tahu kalau kepergiannya ke rumah sakit justru mengantarkan Evan dan Lucia ke sebuah masalah yang tidak bisa mereka hindari.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih