Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 35 ] Masakan Mas Suami
"Kenapa, ishhh... jangan diliatin begitu," geram Olivia sambil melotot ke arah Maalik. Pipinya sedikit bersemu merah karena merasa malu diperhatikan terus-menerus.
Maalik hanya terkekeh pelan. Ia duduk bersandar di kursi seberang meja makan, matanya tak lepas dari sosok istrinya yang tengah menikmati hidangan sederhana. Malam ini, ia hanya sempat memasak nasi dengan telur balado. Bukan karena ia tak ingin memasak yang lebih, tetapi waktunya terlalu sempit. Yang terpenting bagi Maalik hanyalah memastikan Olivia segera makan.
Dan kini, melihat Olivia benar-benar menyuap makanannya dengan lahap, hati Maalik terasa hangat, seperti ada bunga yang bermekaran di dalam dadanya.
Beberapa minggu terakhir, ia sudah berusaha keras membuat jamu khusus untuk Olivia. Awalnya, sang istri begitu sulit makan. Setiap suapan terasa seperti pertempuran. Namun, sedikit demi sedikit, jamu racikannya mulai menunjukkan hasil. Olivia mulai mau makan tanpa harus dipaksa. Bagi Maalik, ini adalah awal yang sangat baik.
Sambil tersenyum lembut, Maalik bertanya, "Gimana? Enak, nggak?"
Olivia berhenti sejenak. Pipinya yang mungil tampak menggembung karena nasi yang belum ditelan. Ia mengunyah cepat lalu menatap Maalik dengan ekspresi datar. "Biasa aja," jawabnya singkat, meski dalam hati sebenarnya ia ingin memuji masakan suaminya.
Padahal, rasa telur balado itu benar-benar pas di lidahnya. Gurih, pedas, dan nikmat, seakan membawa rasa nyaman yang sulit diungkapkan. Namun gengsinya terlalu besar untuk sekadar mengakui.
Maalik tersenyum gemas melihat tingkah Olivia. Baginya, menyaksikan sang istri lahap makan saja sudah menjadi anugerah yang tak ternilai. Ia bahkan merasa ini lebih berharga daripada apa pun yang ia miliki.
---
Setelah makan malam selesai, mereka berdua duduk bersila di ruang tengah. Maalik sudah menyiapkan buku Iqro' di hadapan Olivia. Sang istri tampak memasang wajah masam, seperti anak kecil yang sedang dipaksa belajar.
"Ja... ha..." suara Olivia terdengar pelan dan ragu.
"Ja... a... ha..." Maalik membenarkan pelafalannya dengan sabar, intonasinya tenang seperti guru yang membimbing murid.
"Ha... ha... tsa..." lanjut Olivia, kali ini sedikit lebih mantap.
Maalik mengangguk penuh semangat. "Bagus. Terus, ya."
"Ha... ja... ta..."
"Ba... ha... tsa..."
"Ja... ha... ta..."
"A... ha... ba..."
"Ja... a... tsa..."
"Ha... a... ha..."
"Tsa... ba... ha..."
"Ta... a... ha..."
"A... ja... ja..."
"A... ha... ha..."
"A... ba... ta... tsa... ja... ha..."
Suara Olivia terdengar tersendat-sendat, kadang benar, kadang salah. Maalik terus mendampingi dengan penuh kesabaran, meski beberapa kali harus menahan tawa karena tingkah istrinya yang suka manyun setiap kali ditegur.
Akhirnya, setelah membaca hingga akhir halaman, Olivia menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Shodaqollahul 'adzim," sambil menutup buku Iqro'-nya.
"Alhamdulillah," ucap Maalik penuh syukur. Ia tersenyum, lalu tangannya terulur memperbaiki mukena Olivia yang sedikit bergeser, menutupi helai rambut yang keluar dari penutup kepala. "Makin pinter istrinya Mas, nih," pujinya hangat.
Olivia hanya mendengus pelan, pura-pura tak terpengaruh. "Hmph."
Padahal, dalam hati, ia merasa sedikit bangga. Namun tentu saja, gengsinya kembali menghalangi untuk mengungkapkan perasaan itu.
Belajar mengaji bersama Maalik tidak pernah mudah. Butuh ancaman kecil dan rayuan manis agar Olivia mau duduk tenang membaca Iqro'. Salah satu ancamannya, misalnya, tidak akan memeluk Olivia saat tidur
Ancaman itu sukses membuat Olivia manyun seharian. Namun pada akhirnya, ia tetap datang juga, duduk di hadapan Maalik, dan membuka Iqro' dengan wajah cemberut. Dan sekarang, melihatnya sudah mampu membaca meski terbata-bata, hati Maalik terasa dipenuhi rasa syukur yang tak bisa ia sembunyikan.
Bagi Maalik, kebahagiaan sederhana seperti ini sudah lebih dari cukup. Melihat Olivia makan dengan lahap dan perlahan-lahan semakin dekat dengan Al-Qur'an adalah hadiah terindah dalam hidupnya.
aku nungguin terus kelanjutan ceritanya
udah GX sabar bgt..
beberapa bab cuma ngomong gitu doang