Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34. Baby Queena
Sehabis shalat Isya berjamaah, Arslan dan Nayaka duduk di teras, ditemani sepiring kacang goreng dan jagung rebus yang masih mengepulkan uap. Malam itu angin berhembus pelan, membawa suasana tenang.
“Sayang,” tanya Arslan sambil memecahkan kulit kacang, “kenapa ya banyak yang suka baca, tapi jarang banget ninggalin komentar atau ulasan?”
Nayaka menoleh sambil tersenyum kecil. “Entahlah, Mas. Mungkin mereka nggak nyangka kalau komentar itu penting banget. Padahal buat penulis, satu kalimat dukungan aja rasanya udah bikin hati hangat. Mak Daeng itu selalu bilang, komentar itu ibarat seteguk air di tengah haus, bikin semangatnya balik lagi.”
Arslan mengangguk pelan, lalu menatap langit malam. “Kalau mereka tahu betapa berartinya, mungkin mereka nggak akan ragu buat nulis satu-dua kalimat. Kita doakan aja, semoga makin banyak yang hatinya tergerak biar Mak Daeng bisa terus nulis dan kita semua bisa terus menikmati ceritanya.”
Nayaka tersenyum sambil mengaminkan, “Amin ya rabbal alamin.”
Malam tetap tenang, tapi di hati mereka, ada harapan sederhana bahwa setiap pembaca yang lewat, mau meninggalkan jejak kecil yang berarti besar.
Beberapa bulan kemudian…
Angin malam terasa dingin ketika motor sport merah itu melaju membelah jalan sepi. Arslan duduk tegak, pandangan lurus ke depan, sedangkan Nayaka di belakangnya bersandar sambil menguap kecil.
“Kita kayak pasangan di drama-drama gitu ya, pulang larut habis nyelamatin nyawa orang,” ucapnya sambil memeluk pinggang suaminya erat.
“Beda, ini bukan drama, ini kerja,” jawab Arslan datar.
Nayaka terkekeh. “Ya ampun, bisa nggak sih sekali aja jawabnya manis, kayak ‘iya sayang’ gitu?” godanya.
“Fokus pegang pinggang, jangan ngoceh,” imbuh Arslan tanpa menoleh.
Belum sempat Nayaka membalas, cahaya lampu motor menyorot sesuatu di tengah jalan. Arslan spontan menarik rem, motor berhenti mendadak. Di depan mereka, seorang perempuan tua tergeletak di aspal, tubuhnya lemah sambil memeluk bayi mungil.
“Ya Tuhan, Mas, itu nenek bawa bayi,” seru Nayaka panik sambil turun dari motor.
Arslan ikut turun, cepat memeriksa napas wanita itu. “Masih ada denyut, kita bawa sekarang,” ucapnya tegas.
Mereka berdua bergegas membopong nenek dan bayinya ke motor. Nayaka menggendong si kecil, sedangkan Arslan mengangkat tubuh nenek itu ke depan. Perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti balapan melawan waktu.
Namun, nasib berkata lain. Sesampainya di IGD, tim medis berusaha keras, tapi perempuan itu mengembuskan napas terakhir. Nayaka terdiam, menatap tubuh yang sudah tak bernyawa.
“Identitas nggak ada,” ujar Arslan setelah memeriksa.
“Terus kita yang urusin pemakamannya?” tanya Nayaka pelan.
“Tidak ada pilihan lain,” jawabnya singkat.
Sementara itu, bayi mungil yang selamat langsung dibawa ke ruang perawatan khusus. Arslan memastikan semua fasilitas terbaik dipakai.
Keesokan harinya, kabar itu sampai ke telinga Audra. Lelaki tinggi berseragam itu masuk ke ruang dokter dengan langkah mantap. “Kalian yang nemuin korban tabrak lari semalam?” tanyanya tegas.
“Iya, dan kita sudah lapor,” jawab Arslan sambil menyerahkan berkas laporan awal.
Audra menatap Nayaka yang sedang mengelus kepala bayi di inkubator. “Kamu yang pegang waktu di jalan?” tanyanya.
“Iya, dia mungil banget, kayak bisa muat di satu tangan,” jawab Nayaka sambil tersenyum tipis.
Audra mengangguk. “Kasus ini bakal gue tangani langsung. Gue janji pelakunya bakal ketangkep.”
Arslan hanya menatap tanpa ekspresi, namun tangannya sedikit mengepal. “Pastikan cepat,” ucapnya datar.
Suasana ruangan hening sejenak, hanya terdengar suara alat monitor bayi. Nayaka menatap suaminya lalu berkata pelan, “Kita nggak bisa biarin dia sendirian, Mas.”
Arslan menoleh sekilas. “Aku tahu,” jawabnya singkat, tapi sorot matanya cukup untuk membuat Nayaka yakin malam itu mereka bukan hanya menyelamatkan nyawa, tapi mungkin juga memulai kisah baru yang tak mereka rencanakan.
Tiba-tiba Nayaka menoleh, matanya berbinar seperti anak kecil melihat mainan baru, “Boleh nggak aku mengadopsi bayi cantik ini?” ujarnya pelan namun penuh harap, jemarinya yang mungil menyentuh pelan kain selimut bayi itu.
Arslan menatapnya sekilas, lalu menghela napas pendek. “Kalau itu yang kamu mau, aku setuju,” katanya tanpa jeda, seolah sudah tahu jawabannya sejak awal.
Nayaka langsung tersenyum lebar, pipinya memerah, “Serius nih? Jangan sampai kamu tarik ucapan ya, dok,” godanya sambil sedikit mencondongkan tubuh.
“Kalau aku bilang iya, berarti iya,” ucap Arslan datar, namun sudut matanya melunak.
Nayaka mengusap lembut kepala bayi itu, lalu menoleh lagi pada suaminya, “Liat tuh, dia kayak ngerti kita mau jadi orang tuanya matanya manis banget, kayak kamu, tapi bibirnya kayak aku,” serunya dengan nada bangga.
Arslan hanya menggeleng, “Dia baru sebulan, Nay. Jangan asal cocokologi,” balasnya singkat.
“Biarin, yang penting aku udah jatuh cinta sama dia,” katanya mantap, lalu meraih tangan suaminya dan menaruhnya di atas selimut bayi. “Mulai sekarang, kita bertiga, ya.”
Suara monitor detak jantung di ruangan itu terdengar stabil. Di luar, hujan rintik membasahi kaca jendela. Arslan menatap lama bayi itu, lalu kembali memandang Nayaka yang senyumnya tak pernah hilang malam itu.
Ketegangan masih menempel di udara. Ruangan bayi itu sunyi kecuali suara mesin inkubator yang berdetak pelan.
Nayaka berdiri di sampingnya, jemarinya menyentuh kaca bening sambil menatap wajah mungil yang masih tertidur pulas. Arslan di belakangnya, bersandar pada dinding, masih dengan jas dokter yang belum sempat dilepas.
“Kalau kamu yakin mau rawat dia, aku nggak akan larang,” ujar Arslan datar tapi suaranya mengandung ketegasan yang hangat.
Nayaka menoleh, senyum tipisnya muncul, “Aku nggak cuma yakin, tapi udah jatuh hati,” katanya sambil mengedip jahil walau matanya sembab.
Suasana itu terpotong saat pintu ruangan terbuka cukup keras. Audra masuk dengan langkah panjang, wajahnya setengah panik setengah kesal.
“Seriusan kalian nemuin bayi malem-malem gini? Gue kira berita tabrak lari tadi tuh kasus biasa,” serunya sambil melepas topi polisi yang langsung dilempar asal ke sofa kecil di pojok.
Nayaka mendengus, “Ya kalau biasa nggak mungkin kita bawa sampai sini, Pak Komandan,” ucapnya menggoda.
Arslan hanya melirik tanpa komentar, kebiasaannya kalau sudah malas menanggapi ocehan.
Belum sempat Audra membalas, pintu kembali terbuka. Aylara muncul dengan jas dokter putihnya, wajahnya yang cantik tapi tegas langsung melunak saat melihat bayi itu.
“Ya ampun cantik banget. Dan kalian nemu dia di jalan?” tanyanya, nadanya campuran terkejut dan iba.
Nayaka mengangguk cepat, “Udah resmi jadi anak angkat aku,” ujarnya bangga.
Audra menoleh cepat, “Eh? Kok langsung resmi? Perasaan nggak ada rapat keluarga dulu.”
“Kalau aku tunggu rapat keluarga, bisa-bisa anak ini keburu masuk berita hilang, Bang,” imbuh Nayaka dengan nada nyeleneh yang bikin Aylara menahan tawa.
Aylara melangkah mendekat, menyentuh bahu adiknya lembut. “Kalau kamu serius, aku dukung. Tapi siap-siap ya, ini tanggung jawab besar.”
“Gue siap banget, apalagi kalau ada tim backup kayak kalian bertiga,” sahut Nayaka sambil melirik Arslan yang cuma menghela napas panjang.
Audra menepuk pelan kepala Nayaka, “Dasar bar-bar, tapi gue suka semangatnya.”
Mereka saling pandang, lalu tawa kecil pecah di tengah ruangan. Ketegangan yang tadi menyesakkan kini perlahan memudar, terganti rasa hangat yang sulit dijelaskan.
“Mas, kita kasih nama Nayana Shaqueena Arselia. Biar orang tahu dia putri kecil kita,” ujar Nayaka sambil menepuk pipi gemas bayi mungil yang meringkuk di pelukannya.
Arslan hanya menatap sebentar, lalu mengangguk tipis. “Terserah kamu, asal jangan gonta-ganti,” katanya singkat.
Malam itu, meski seharian penuh di ruang operasi dan UGD, wajah Nayaka tetap cerah. Tangannya sigap mengganti popok, mengusap kepala bayi yang sesekali rewel. Di kursi sebelah, Arslan duduk tenang, sesekali membantu merapikan selimut si kecil.
“Mas, kalau Queena udah sehat, kita bikin aqiqahan ya,” ucap Nayaka sambil melirik suaminya.
“Apa kamu sanggup jaga bayi, ngurus aku, dan kerja di rumah sakit?” tanyanya Arslan sambil memeluk dari belakang.
“Insya Allah sanggup. Tapi kayaknya aku cuti kerja dulu deh. Nggak apa-apa kan?” jawab Nayaka sambil mengedip.
Keesokan paginya, kabar adopsi itu sudah beredar di lingkungan rumah sakit dan keluarga. Beberapa dokter dan perawat berbisik, mempertanyakan asal-usul Queena.
Bahkan Bu Wana dan Bu Retno, tante Arslan, mengaitkannya dengan masa lalu sang keponakan dokter Arslan Han Mahardika yang sempat impoten.
“Mirip bayi Timur Tengah, kulitnya kayak orang Korea,” komentar salah satu perawat yang lewat.
“Siapa tahu anak haram,” bisik lainnya.
Di rumah, Bu Dina menepuk bahu anaknya. “Biarin aja orang ngomong. Yang penting niat kamu baik,” ujarnya lembut.
Bu Selma mendengus kesal, “Kalau ada yang singgung Arslan lagi, Mama yang maju.”
Pak Erdem hanya menambahkan pelan, “Abaikan saja. Kita tahu kebenarannya.”
Sementara itu, Aylara dan Audra datang ke ruang bayi.
“Giliran aku gendong!” seru Audra sambil membuka tangannya.
“Nggak bisa, ini jamnya tidur. Jangan dibangunin,” kata Nayaka sambil menghalangi.
Aylara tertawa kecil, “Baru juga sebentar, kamu udah posesif.”
“Aku ibu angkatnya, jadi aturannya dari aku,” imbuh Nayaka tegas.
Belum reda suasana, Bu Selma masuk membawa kabar baru. “Malam ini Elvina pulang dari Inggris,” ujarnya.
“Elvina? Serius?” Audra menaikkan alis.
“Si model cantik itu? Wah, rumah bakal rame,” sahut Aylara.
Nayaka tersenyum miring, “Kayaknya bakal ada drama baru nih.”