Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Hembusan angin laut yang sepi menyambar kulit yang sudah kedinginan. Suara ombak terdengar menghampar keras daratan.
Seorang gadis bertubuh ramping, memakai dress selutut. Ia berlari di pinggiran laut lanpa mengenal lelah. Ia tertawa namun entah ke mana suaranya, ia bernyanyi namun entah di mana penontonnya.
Brugh!
Ia tertabrak pada tubuh seorang pemuda. Namun, ia kembali berlari seakan ia hanya menabrak sebuah pohon. Tangan kekar meraih-Nya, membawa tubuh itu ke dalam dekapan yang sangat erat.
Bibir mungilnya nampak tertawa namun air matanya mengalir deras bagaikan air terjun tanpa batas.
"Separuh dari kamu telah hilang."
Wajah gadis itu menegang serta mulai memukul-mukul keras dada bidang pemuda yang berkata demikian.
Di sisi lain tangan Araya mulai bergerak, sebutir air mata mulai menetes dengan napas yang tercekat. Irdan yang merawat gadis itu selama seharian ya merasa terkejut dan segera berlari memanggil dokter.
Dokter yang masuk mulai menangani Araya, mengecek keadaan gadis itu.
Semuanya terasa samar dan tidak terlalu jelas, Araya perlahan-lahan membuka matanya. Saat pandangannya sudah kelas ia tetap menatap awan-awan ruangan rawat. Air mata kembali menetes seakan rasa sesak di dadanya semakin tercekat.
Sedangkan di sisi lain, Irdan terharu matanya ikut berkaca-kaca, ia berjalan keluar ruangan dan menghubungi teman-teman Araya.
"Pasien sudah sadar."
Dokter yang sudah memeriksa keadaan Araya mulai keluar dari ruangan. Irdan dengan ragu masuk, ia berjalan ke arah Araya yang masih menatap lurus.
Perlahan mata gadis itu melirik ke arah Irdan yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu kembali lengingat kejadian di mana Rasti dan Irdan berdebat—dan... mengingat bahwa pria itu sudah melakukan kesalahan besar serta ia adalah anak haram yang tidak diinginkan Ayahnya sendiri.
"A-araya, bagaimana keadaanmu?" tanya Irdan, suaranya bergetar meski ada rasa takut di dalam dirinya pria itu tetap berusaha membuka suara.
Araya diam tidak menjawab, ia menutup matanya sejenak sebelum akhirnya kembali menatap lurus seakan kehadiran Irdan hanyalah angin yang berlalu.
"Ehm, Ayah sudah—"
"Ayah?" Putus Araya lirih begitu saja.
Irdan diam. Tidak lagi membuka suara. Ia pun merasa dirinya sudah tidak beres menyebut dirinya sebagai seorang Ayah padahal peran dan tanggungjawab nya tidak ada.
"Apa anda tidak malu menyebut diri anda sebagai seorang Ayah?" lanjut Araya seakan menerbangkan panah ke tubuh Irdan.
"Maaf. S-saya benar-benar pria yang memalukan," ucap Irdan mengaku salah.
"Anda tidak hanya memalukan." Araya melirik ke arah Irdan dengan tatapan penuh kebencian. "Tapi menjijikkan."
Hati Irdan berdesir dalam nyeri yang dalam. Ia benar-benar dalam dosa besar yang sulit diampuni.
Ceklek!
Pintu ruangan terbuka menampilkan Rifan yang langsung berjalan ke arah Araya.
"Raya," panggil Rifan lirih.
Araya melirik ke arah Rifan, ia merasa senang karena Rifan masih bersamanya. "Rifan." Gadis itu berusaha membangunkan tubuhnya, ingin menurunkan kakinya namun...
Mata gadis itu berkedip dengan cepat sekaan mendapatkan kejanggalan pada dirinya. "R-rifan, kenapa kakiku sulit di gerakkan." Gadis itu menatap Rifan.
Rifan terdiam, ia benar-benar tidak bisa mengatakan bahwa kaki gadis itu patah dan mungkin ia harus terapi sehingga bisa berjalan dengan normal lagi.
Araya mencoba lagi namun kakinya benar-benar tidak memberi reaksi, gadis itu memegang lengan Rifan dengan mata berkaca-kaca.
"Rifan... kenapa... kaki aku kenapa, Rifan? Kenapa, kenapa sulit untuk digerakkan!"
Tanpa menjawab Rifan memeluk Araya dengan erat. Pemuda itu benar-benar tidak ingin menghancurkan Araya ketika ia tau. "Sekarang kamu istirahat dulu, hm?" ucapnya lembut.
Araya menggeleng, tangisnya tak terbendung. "Tidak! Ini tidak bisa digerakkan, Rifan!" Ia memberontak membuat Rifan tidak tega sehingga ia ikut dalam kesedihan.
"Kaki kamu mengalami kelumpuhan sementara, Araya," ucap Irdan membuat Rifan melayangkan tatapan tajam pada pria itu.
Hening sesaat sebelum akhirnya ruangan itu di penuhi dengan teriakan serta isakan yang menggema.
Rifan semakin mengeratkan pelukannya, agar Araya merasa tenang. "Raya, hanya lumpuh sementara bukan berarti kamu tidak biss lagi berjalan," ucap pemuda itu.
Araya menggeleng seakan tidak terima kenytaan bahwa kakinya mengalami kelumpujan sementara. "Tidak, tidak, tidak! Aaa..." tangan gadis itu menjambak rambutnya semakin membuat Rifan khawatir.
Pemuda itu menenggelamkan wajah Araya ke dalam dadanya, sangat dalam agar tangannya tidak bisa melukai kepalanya sendiri. Namun, Rifan yang terkan cakaran dari gadis itu.
"Kenapa anda mengatakan di waktu tidak tepat!" bentak Rifan pada Irdan.
"Kalau pun tidak dikatakan, Araya akan tseus bertanya," Jawabnya membuat Rifan jengkel.
Pintu ruangan terbuka menampilkan ketiga teman Araya yang segera menghampiri.
"Ara kenapa, Rifan?" tanya Ruby nampak khawatir.
"Ara..." lirih Lala, suaranya bergetar tidak tega.
"Raya sudah tahu kalau dia mengalami lumpuh sementara," ucap Rifan.
Araya yang menangis tanpa mengingat diri terbayang dengan kejadian kecelakaan bersama ibunya. Gadis itu mulai melirik ke sana ke sini. " Dimana, Mama?" tanyanya sesegukan.
Semuanya terdiam dan ini adalah hal terberat yang harus mereka ungkapkan.
Irdan sudah menangis, ia berjalan mendekat. "Maafkan aku, Araya! Ini semua salahku!" ucapnya benar-benar menyesal.
Araya menggeleng dengan pelan tidak mengerti. "AKU BERTANYA DI MANA, MAMA! KENAPA KALIAN DIAM!"
Raisa ikut mendekat. "Ara...." Ia ikut menangis.
"Kenapa, Raisa, kenapa? Rifan, Rifan, ke mana, Mama? Mama baik-baik saja kan? Dia nhga luka kan, iya, kan?" tanya gadis itu tergesa-gesa.
Rifan menangkup kedua pipi gadis itu, air matanya ikut terjatuh, menggigit bibir bawahnya terasa berat untuk mengungkapkan.
Melihat teman-temannya menangis membuat Araya semakin terpukul dan semakin terisak.
"Jawab aku... apakah Mama baik-baik saja?" ucapnya mulai terdengar pasrah kelelahan.
Irdan sujud di bawah lantai. "RASTI SUDAH MENINGGAL, ARAYA! DIA... DIA TELAH PERGI DENGAN TENANG!"
Seakan dunia tidak lagi berpihak padanya, Araya terasa linglung mendengar apa yang Irdan katakan. Gadis itu melirik salah satu temannya, memberi tatapan bahwa yang Irdan katakan tidaklah benar.
"I-itu ngga benar, kan? A-aku kok masih hidup, sih? Itu bohong kan?" ucapnya berusaha tersenyum ingin tertawa, menganggap bahwa yang Irdan katakan sebuah lolucon—yang membuatnya takut.
Rifan meggeleng. "Araya, jangan seperti ini, hm? Semuanya sudah menjadi takdir yang harus kamu terima."
Pecah!
Araya menutup matana sejenak sebelum akhirnya ia berteriak, wajahnha memerah, urat-urat pada wajahnya terlihat jelas.
Seluruh teman Araya mendekat dan memeluk Araya yang tengah hancur. Rifan berdiri ia menjauh, membiarkan ketiga teman Araya mengambil alih.
Sedangkan Irdan menangis dalam keadaan sujud. Pria itu benar-benar telah membangun hubungan yang hancur, telah membuat seseorang sengsara dan itu anaknya sendiri.
"Ara...."
Araya menggeleng seprtti anak kecil. "Tidak mungkin Mama-ku meninggal. Aku... Aku belum membuktikan bahwa aku bisa menjadi eornag dancer yang aku tantang dari kecil! Aku... aku..."
Araya terjatuh tidak sadarkan diri.