bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jodoh yang terlaksana
Tubuh Amira melayang di udara, terjun bebas menuju dasar jurang. Sebagai mantan agen terlatih, ia tahu cara bertahan. Namun, peluru yang menembus pundaknya membuatnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya menghantam dahan dan ranting pohon sebelum akhirnya jatuh keras ke tanah.
“Buk!”
“Heh… aku Amira… tak gampang mati…” gumamnya lemah, darah merembes dari bahunya.
Dengan sisa tenaga, ia merogoh token kecil di balik jaketnya—penghubung langsung ke sistem Black Cat. Ia menekannya sebelum pandangannya gelap.
Di ruang IT markas Black Cat, lampu merah menyala.
“Ketua dalam bahaya,” bisik Eva, sang pengendali informasi.
“Lokasi dekat markas cabang Purwakarta,” lapor Jefri.
“Oke. Lakukan operasi senyap,” perintah Eva.
Ponselnya berdering.
“Eva, ketua dalam bahaya!” suara Ronal terdengar panik.
“Kami sudah bergerak, bos. Tenang.”
“Jangan beri tahu Pak Budi dulu.”
“Nanti jantungnya kambuh,” tambah Ronal.
“Siap, bos,” ucap Eva tegas.
Tiga kendaraan taktis meluncur tanpa suara, menyusuri jalanan hutan Purwakarta yang sepi. Di dalamnya, tim elit Black Cat mengenakan seragam hitam legam dan peralatan malam. Jefri memimpin tim darat, sementara Eva mengawasi koordinat dari layar tablet.
“Koordinat terakhir 20 meter ke arah barat,” bisik Eva lewat earpiece.
Jefri mengangkat tangan, memberi aba-aba berhenti. Tim menyebar, menyusup di antara pepohonan. Lampu senter inframerah menyorot semak belukar—lalu tubuh tergeletak terlihat.
“Target ditemukan!” bisik salah satu agen.
Amira terbaring, wajah pucat dan bahunya berlumuran darah. Jefri mendekat, memeriksa denyut nadi. Masih hidup.
“Stabilkan dia. Kita evakuasi diam-diam.”
Tanpa suara, dua agen mengangkat Amira ke tandu ringan. Di sisi lain, satu agen menanam alat pengacak sinyal untuk menghindari pelacakan musuh.
“Heli medis standby 800 meter dari sini,” lapor Eva.
Dengan kecepatan dan ketelitian tinggi, mereka bergerak mundur, membawa Amira melewati jalur tersembunyi. Setiap langkah dijaga ketat, tanpa satu pun suara peluru atau teriakan.
Begitu sampai di titik evakuasi, helikopter tanpa tanda terbang rendah dan membuka pintu samping.
“Masuk! Cepat!”
Begitu Amira dinaikkan, heli langsung lepas landas, menghilang dalam kabut malam. Operasi senyap: berhasil
Di ruang kerja markas utama, Alesandro berdiri mematung. Matanya tajam menatap ke arah pintu.
“Periksa kamar Rio,” perintahnya dingin.
Beberapa anak buahnya langsung bergerak. Pintu kamar Rio didobrak, dan mereka mengacak-acak isinya. Tak lama, salah satu dari mereka kembali dengan sebuah map tebal.
“Tuan, saya menemukan ini.”
Alesandro meraihnya dan membuka dengan cepat. Di dalamnya, hasil tes DNA. Matanya membesar saat melihat tulisan: 99% cocok – Helena & Amira.
Tangan Alesandro bergetar. “A… Amira… anakku…”
Tubuhnya limbung sejenak sebelum matanya tertuju pada sebuah foto yang terselip di dalam map. Foto dirinya bersama Tuan Wijaya saat masih muda—masa pelatihan bersama Pratama.
Ia membalik foto itu. Di baliknya tertulis dengan tinta merah: “Kalian dan keluarga kalian harus mati.”
Alesandro mengernyit, lalu menemukan foto lain—usang, nyaris robek. Seorang pria dewasa bersama dua anak kecil. Ia menyipitkan mata.
“Ini… Ricardo?”
Kenangan menyerbu. Dulu, ia dan Tuan Wijaya menggempur kelompok perdagangan manusia pimpinan Ricardo. Dialah yang menembak Ricardo hingga tewas… atau begitulah yang dikira.
“Ada hubungan apa Ricardo dan Rio?” gumamnya curiga.
Tiba-tiba seorang anak buah masuk dengan napas memburu. “Tuan, dari tim pencarian Amira ditemukan bekas roda kendaraan dan jejak helikopter di dekat lokasi jatuhnya Amira.”
“SIALLLL!!” teriak Alesandro, membanting map.
“Cepat kejar siapa pun yang membawa Amira! Hidup atau mati!” perintahnya garang.
.....
Di markas Felix, suasana tegang menyelimuti ruang rapat rahasia.
“Bagaimana bisa Alesandro mencium jejakmu, Rio?” tanya Felix dingin.
Rio menunduk. “Semua ini gara-gara Helena dan Alecia, Ayah. Mereka terlalu banyak tahu.”
Felix menghela napas, matanya menyipit. “Helena memang selalu sulit diprediksi. Wanita itu licik sejak dulu, berbeda dengan Alesandro yang mudah terpancing emosi.”
Rio menatap ayah angkatnya penuh cemas. “Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Kamu harus operasi plastik dan mengganti identitasmu. Setelah itu, tugasmu adalah mengawal Bagus, kakakmu. Dia akan kita jadikan pewaris tunggal Wijaya Grup,” jawab Felix dengan tenang namun licik.
“Lalu bagaimana dengan Alesandro?” tanya Rio, masih gelisah.
“Kita akan jadikan Andika sebagai peluru untuk menghabisi Alesandro. Perlahan tapi pasti,” jawab Felix dengan senyum dingin.
“Haha, menarik. Jadi, Andika akan membunuh ayah mertuanya sendiri,” kata Rio sambil tertawa sinis.
Felix mengangguk. “Sekarang, pergilah ke Jepang. Ganti identitasmu. Setelah itu, kembali ke sini. Aku akan urus pemakaman Viona terlebih dulu.”
Rio bangkit dan mengangguk. “Baik, Ayah. Segera kulaksanakan.”
---
Di sebuah ruangan rahasia yang tersembunyi di balik dinding perpustakaan tua, Budi tampak gelisah. Ia mondar-mandir dengan dahi berkerut, sementara Rahayu duduk di kursi, menggenggam tangannya erat.
“Pak, apakah Bapak merasakan hal yang sama seperti saya?” tanya Rahayu pelan.
Budi berhenti melangkah, menatap istrinya. “Iya. Aku juga memikirkan Amira. Rasanya hati ini tak tenang.”
Tiba-tiba, pintu berderit terbuka. Andika masuk dengan ekspresi tegas namun cemas.
“Pak… apakah Bapak yakin ingin melakukan ini?” tanyanya hati-hati.
“Tidak ada pilihan lain,” jawab Budi mantap. “Aku dan ibu harus menyusup ke kantor Nyonya Viona untuk menaruh chip penyadap.”
“Felix pasti sudah memperketat keamanan,” ujar Andika ragu.
“Hehe… buat orang lain mungkin itu sulit, tapi tidak untukku,” jawab Budi dengan senyum percaya diri.
Andika mengangguk. “Kalau begitu, besok kita mulai operasinya.”
“Tenang saja, Dika. Kita pasti bisa,” ucap Budi menepuk bahu menantunya.
“Terima kasih, Pak.”
“Dika,” panggil Budi sebelum Andika berbalik.
“Ada apa, Pak?”
“Kalau kamu bertemu Amira… bisakah kamu menjaganya?”
Andika tersenyum miris. “Bukan aku yang menjaga Amira, Pak. Justru aku yang merasa dijaga olehnya. Tanpa dukungan kalian… aku bukan siapa-siapa.”
Budi tersenyum bangga. “Kalau begitu, jadilah suami yang baik.”
Andika mengangkat bahu. “Aku nggak yakin, Pak. Bapak tahu sendiri… tiap malam bisa-bisa aku digigit Amira.”
Budi tertawa. “Tenang saja, Amira anak baik.”
...
Di ruang medis bawah tanah markas Black Cat, suasana sunyi dipenuhi suara alat monitor yang berdetak stabil. Tubuh Amira terbujur di atas meja operasi, wajahnya pucat dan berpeluh dingin. Beberapa dokter berseragam hitam dengan logo kucing hitam di lengan mereka bekerja cepat dan sigap. Sebuah peluru tertanam di punggung Amira, dekat dengan tulang belakang—lokasi yang sangat berbahaya.
“Tekanan darahnya turun,” ujar salah satu dokter.
“Stabilkan! Kita tidak boleh kehilangan dia,” perintah dokter utama sambil memfokuskan pandangan ke layar sinar-X.
Di balik kaca ruang observasi, Eva berdiri tegang. Tubuhnya menegang, jemarinya mencengkeram pagar besi tipis yang membatasi ruangan. Tatapannya terpaku pada Amira.
“Dia kuat… dia pasti bisa,” gumam Eva, meski nada suaranya terdengar gemetar.
Pintu di belakang Eva terbuka. Jefri masuk, membawa laporan kecil.
“Eva, semua jalur komunikasi aman. Lokasi kita tidak terdeteksi.”
Eva mengangguk pelan. “Bagus… kita harus jaga ketat. Kalau musuh tahu Amira di sini, habis kita semua.”
Sementara itu, di ruang operasi, peluru berhasil diangkat. Darah terus mengalir, namun dokter mulai menjahit luka dengan cepat. Monitor berbunyi stabil.
“Dia selamat,” ujar sang dokter dengan lega.
Eva menutup matanya sejenak, menghela napas panjang. “Terima kasih, Tuhan…”
Namun Eva tahu, bahaya belum selesai. Musuh pasti sedang memburu.
Dan Amira belum bangun.
....
Alesandro berjalan lunglai menyusuri lorong markas, seolah nyawanya dicabut paksa. Matanya nanar, menatap kosong lantai yang tak menjawab kegelisahannya. Di ujung lorong, ia melihat Helena duduk memegang tangan Alecia yang masih lemas. Hatinya makin tercabik. Ia merasa semua ini salahnya—kecerobohannya, amarahnya, ambisinya.
“Tenanglah, Alesandro. Amira pasti selamat,” suara Renata memecah keheningan.
Alesandro menoleh, matanya merah. “Kenapa kamu begitu yakin?”
Renata tersenyum tipis. “Karena dia adalah menantuku.”
“Apa?” Alesandro terbelalak.
“Iya. Bukankah dulu kamu dan Pratama sepakat kalau anak-anak kita akan dijodohkan? Amira menikah dengan Andika,” jawab Renata tenang.
Alesandro terdiam. Hatinya seketika bergetar. Sebuah janji lama, kini jadi kenyataan di tengah kekacauan ini.
kena jebakan sendiri nih...
felix ini yang jadi tangan kanan oma viona yang berusaha menyingkirkan keluarga wijaya dan bagus akan dijadikan pewaris....
wah, keren nih ceritanya 👍 makin seru
lanjut dong thor...
dipihak allesandro ada si rio....
jadi ini semua adalah jebakan mereka yang pasti ada dalang utama nya... membuat dua kubu saling berselisih paham, semoga cepat terbongkar...
kira2 siapa ya ? apa jangan2 yang disebut ayah oleh si bagus .....
lanjut dong thor❤️
allesandro tidak tahu kalau amira anaknya, tanpa disadari hasil TEs DNA sudah di sabotase....
alecia selidiki lebih lanjut tentang amira,,,
coba tes Dna ulang kembali pasti 99,9%.
siapa yang disebut bagus adalah ayah???
setiap kesalahan yang mengenai oma viona pasti dicuragai allesandro....
benarkan sudah disabotase hasil Tes DNA milik amira....
semoga secepatnya terbongkar kebusukan mereka....
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya