NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 - Pasal Tiga, Aturan Utama

Yuni mengambil pulpen itu.

Rasanya berat di tangannya.

Dingin. Logam solid.

Dia menatap draf kontrak di atas meja.

Dua cangkir kopi. Satu map cokelat. Dua rangkap kertas yang akan mengikat nasibnya.

Pikirannya tertuju pada Dika. Pada Ibunya. Wajah mereka yang lelah.

Lalu pikirannya tertuju pada Pasal 3.

"Dilarang baper."

Dia menatap Juan.

Si populer. Si kaya. Yang, harus diakui, cukup tampan.

Banyak gadis di kampus ini yang rela membayar untuk posisinya.

Dan dia... dibayar untuk tidak menyukainya.

Sebuah ironi yang sangat sastrawi.

Dia bisa menulis esai tentang ini.

"Pasal tiga," kata Yuni. Suaranya pelan.

"Ya?"

"Poin tiga. Tentang larangan... perasaan."

"Bagaimana cara Anda... mengukurnya?"

"Bagaimana Anda tahu jika salah satu pihak melanggar?"

Juan bersandar.

Dia menatap Yuni lama.

Tatapan yang membuat Yuni merasa sedang dianalisis.

"Itu pertanyaan bagus," kata Juan.

"Pasal itu tidak untuk ditegaskan secara hukum. Itu mustahil."

"Lalu untuk apa?"

"Itu adalah pengingat," kata Yuni. Untuk kita berdua."

"Ini adalah pekerjaan. Jangan membuatnya rumit."

"Perasaan hanya akan merusak segalanya. Merusak tujuan saya, dan merusak tujuan kamu."

"Anggap saja itu jangkar. Agar kita tetap di daratan. Agar kita ingat kenapa kita melakukan ini."

"Kamu butuh uang," katanya blak-blakan. "Saya butuh... solusi."

"Kita berdua punya tujuan. Perasaan hanya akan mengaburkan tujuan itu."

"Bisa?"

Yuni menatap mata Juan.

Dia tidak melihat arogansi di sana.

Hanya tekanan. Sama seperti dirinya.

Dia mencari tanda-tanda kebohongan. Dia tidak menemukannya.

"Bisa," kata Yuni. Suaranya lebih mantap sekarang.

"Saya di sini untuk uang."

Juan mengangguk. "Bagus. Saya juga."

Meskipun Yuni tahu, "uang" bagi Juan artinya sangat berbeda.

Dia menyodorkan pulpen itu ke arah Yuni.

"Silakan dibaca sekali lagi. Terutama Pasal Tiga."

Yuni menarik napas panjang.

Udara beraroma kopi dan pastry terasa berat.

Dia mengambil pulpen itu.

Dia membuka halaman terakhir.

Ada dua garis kosong untuk tanda tangan.

Pihak Pertama. Pihak Kedua.

Dia memposisikan pulpen di atas garis "Pihak Kedua".

Dia berhenti.

Ini adalah titik di mana tidak ada jalan kembali.

Menandatangani ini berarti dia setuju untuk berbohong.

Setuju untuk menipu.

Tapi menolak... berarti Dika berhenti kuliah.

Ibunya hancur.

Di antara dua pilihan buruk, ini adalah satu-satunya yang menawarkan solusi.

"Oke," batinnya. "Hanya pekerjaan."

Dia menggoreskan tanda tangannya.

Yuni.

Tulisannya rapi, terkendali, dan jelas.

Sama seperti dirinya.

Tinta hitam itu meresap ke kertas. Terasa final.

Dia meletakkan pulpen itu.

Sekarang giliran Juan.

Juan mengambil pulpen itu tanpa ragu.

Dia menarik kertas rangkapnya.

Menandatanganinya dengan satu gerakan cepat dan tegas.

Tanda tangan Juan besar, miring ke kanan, dan nyaris tidak terbaca.

Penuh percaya diri.

Kontras sekali dengan tanda tangannya.

"Selesai," kata Juan.

Dia mengambil rangkap yang ditandatangani Yuni.

Dan menyodorkan rangkap yang dia tandatangani ke seberang meja.

"Ini milikmu," katanya.

Yuni mengambilnya. Kertas itu terasa hangat.

Dia melipatnya dengan hati-hati.

Dia tidak tahu harus menyimpannya di mana.

Menyimpannya di tas... terasa berbahaya.

Menyimpannya di kamar kos... juga berbahaya.

"Ada masalah?" tanya Juan.

"Tidak." Yuni memasukkan kertas itu ke dalam tas ranselnya.

Rasanya seperti ada batu di dalam tasnya.

"Baik," kata Juan. "Tahap pertama."

Dia mengeluarkan ponselnya.

Ponsel terbaru. Tipis dan berkilau.

"Nomor rekeningmu."

Yuni sudah menyiapkannya.

Dia tidak mau terlihat kikuk.

Dia mengeluarkan secarik kertas kecil dari sakunya.

Kertas catatan yang disobek rapi.

Dia menuliskannya tadi malam.

Dia menyodorkan kertas itu.

Juan mengambilnya.

Dia mengetik dengan cepat.

"Atas nama Yuni..."

"Ya."

Beberapa ketukan lagi.

"Oke," kata Juan. "Sudah."

"Satu jam?" tanya Yuni, teringat ucapan Juan.

"Tidak," kata Juan. "Baru saja."

"Saya pakai transfer prioritas."

Tepat saat dia berkata begitu, ponsel Yuni yang layarnya retak, bergetar di atas meja.

Getarannya terdengar nyaring di kafe yang sepi itu.

Sebuah notifikasi SMS dari bank.

Notifikasi Transfer.

Telah masuk ke rekening Anda...

Mata Yuni terpaku pada angka itu.

Jumlahnya persis seperti yang dia minta.

Angka untuk UKT Dika.

Napasnya tercekat.

Uang sebanyak itu.

Lebih banyak dari yang pernah dia pegang seumur hidupnya.

Masuk begitu saja.

Dari seorang laki-laki asing.

Mata Yuni terasa panas.

Dia ingin menangis.

Bukan karena sedih. Karena lega.

Lega yang begitu mendalam hingga terasa menyakitkan.

Beban seberat gunung baru saja terangkat dari pundaknya.

"Lunas," batinnya. "Dika aman."

Dia menunduk. Mengedipkan matanya cepat.

Dia tidak boleh menangis.

Pasal Tiga. Dilarang baper.

Itu pasti termasuk menangis di depan klien.

Dia menarik napas. Menenangkan dirinya.

Dia mengangkat kepalanya.

Matanya mungkin sedikit merah, tapi kering.

"Uangnya sudah masuk," katanya. Suaranya stabil.

"Terima kasih."

Juan mengangguk. Dia tampak lega.

Misinya selesai. Setidaknya, bagian pertamanya.

"Bagus," katanya. "Sekarang, pekerjaan kita dimulai."

Dia mengambil Lampiran Skenario dari map-nya.

"Skenario Latar Belakang. Versi 1.0," katanya.

Yuni mengambil kertas itu. Tiga lembar, diklip jadi satu.

"Hafalkan ini. Nanti malam."

"Saya tidak mau kita gagap saat ditanya."

"Keluarga saya... mereka detail."

"Oma saya akan bertanya hal-hal spesifik. Makanan kesukaanmu. Film terakhir yang kita tonton."

"Semua ada di situ?"

"Garis besarnya. Sisanya kita improvisasi. Karena itu saya pilih kamu," kata Juan.

"Saya akan mengetesmu besok."

"Tes?"

"Tentu saja. Besok, kita akan kencan pertama kita."

Yuni tersedak. "Besok? Secepat itu?"

"Kita punya waktu satu bulan," kata Juan.

"Tapi kita tidak bisa muncul di acara keluarga saya tiba-tiba."

"Kita harus membangun 'kisah' kita. Kita harus terlihat meyakinkan."

"Teman-teman saya harus melihat kita bersama."

"Harus ada 'bukti' digital."

Maksudnya foto? Yuni bergidik.

"Jadi," lanjut Juan, "Besok. Jam makan siang."

"Di Kantin Teknik."

Wajah Yuni memucat.

"Kantin Teknik?"

"Itu... tempat Anda."

"Tentu saja," kata Juan. "Itu intinya."

"Semua orang di sana mengenal saya."

"Saya harus muncul dengan 'pacar baru' saya."

"Kantin Sastra terlalu sepi. Tidak ada dampaknya."

Yuni membayangkan dirinya berjalan ke kantin yang berisik itu.

Sarang singa.

Duduk di meja bersama Juan.

Semua mata akan tertuju padanya.

Menganalisisnya. Menilainya.

"Mereka akan melihat... saya," kata Yuni pelan.

"Mereka akan melihat baju saya. Cara saya makan."

"Mereka akan membandingkan saya... dengan gadis-gadis yang biasa bersama Anda."

Dia benci jadi pusat perhatian.

Juan menatapnya. Kali ini, tatapannya tidak dingin. Hanya... praktis.

"Itulah intinya, Yuni."

"Maksudmu?"

"Kamu berbeda. Itu poinnya."

"Oma saya benci gadis manja yang hanya bisa belanja. Dia benci tipe-tipe yang mengejar saya."

"Kamu... sukarelawan perpustakaan. IPK tinggi. Dari Sastra. Kamu antitesis dari mereka."

"Kontrasnya bagus. Itu yang membuat 'cerita' kita meyakinkan."

"Justru karena kamu bukan tipe saya, itu akan membuat mereka percaya."

Logika yang... aneh. Tapi masuk akal.

"Saya... tidak yakin," katanya.

"Kamu sudah tanda tangan," kata Juan dingin. "Pasal Dua. 'Sesuai arahan wajar'."

"Dan ini wajar."

Yuni terdiam. Dia benar.

Dia sudah dibayar.

"Baik," kata Yuni. "Jam berapa?"

"Jam 12 tepat. Saya tunggu di pintu masuk."

"Satu lagi," kata Juan.

"Kita butuh nomor HP masing-masing."

"Untuk koordinasi."

Yuni menyebutkan nomornya.

Juan mengetiknya di ponselnya.

"Nama?"

"Yuni."

"Oke. 'Yuni'."

Ponsel Juan berdering pelan di atas meja.

Nama Yuni muncul di layarnya.

"Itu nomor saya," kata Juan. "Simpan."

Yuni menyimpannya.

Dia mengetik... 'Juan'.

"Jangan 'Juan'," kata Juan, seolah bisa membaca pikirannya.

"Maksud saya, jangan simpan 'Juan Kontrak' atau semacamnya."

"Simpan 'Juan' saja. Yang normal."

Yuni menghapus dan mengetik 'Juan'.

Rasanya aneh.

"Saya ada kelas," kata Juan, melihat jam tangannya yang mahal.

Dia berdiri.

Dia memasukkan rangkap kontraknya ke dalam tas ranselnya yang terlihat kasual namun bermerek.

"Baca skenarionya, Yuni. Saya tidak mau ada kesalahan."

"Besok, jam 12."

"Tampil biasa saja. Seperti... kamu."

"Seperti... sukarelawan perpustakaan," katanya.

"Itu bagian dari 'cerita' kita."

Dia berbalik dan berjalan keluar kafe.

Meninggalkan Yuni sendirian.

Dengan secangkir kopi yang sudah dingin.

Satu rangkap kontrak gila.

Dan sejumlah uang yang mengubah hidup di rekening banknya.

Yuni duduk di sana selama sepuluh menit.

Hanya menatap cangkir kopi Juan yang masih setengah penuh.

Dia menatap ponselnya.

Dia membuka aplikasi bank.

Angka itu masih di sana. Nyata.

Dia memindahkan uang sejumlah UKT Dika ke rekening Ibunya.

Jemarinya gemetar saat menekan tombol "Konfirmasi".

Terkirim.

Dia mengetik pesan.

"Bu, sudah Yuni transfer. Untuk UKT Dika. Lunas."

"Bilang Dika semangat belajarnya."

Dia menekan kirim.

Satu masalah selesai.

Ponselnya langsung berdering. Ibu.

Yuni menolaknya.

Dia tidak bisa bicara sekarang. Dia akan menangis.

Dia mengetik pesan lagi: "Lagi di kelas, Bu. Nanti Yuni telepon."

Bohong.

Kebohongan pertama dari rangkaian kebohongan panjang.

Dia mengambil tasnya.

Kontrak di dalamnya terasa seperti batu bata.

Dia melihat ke luar jendela.

Juan sudah menghilang.

Dia mengambil kontraknya.

Membaca Pasal Tiga sekali lagi.

"Dilarang mengembangkan perasaan romantis sungguhan."

Yuni mendengus.

Dia menyesap kopinya yang dingin. Pahit.

"Tidak akan sulit," batinnya.

"Dia sombong, dingin, dan penuh perhitungan."

"Dia... klien."

Yuni berdiri.

Dia mengambil lampiran skenario itu.

Dia membacanya sambil berjalan keluar kafe.

Skenario: Latar Belakang Hubungan (V.1.0)

Pertemuan Pertama: Perpustakaan Pusat. Tiga minggu lalu.

Alasan Interaksi: Juan mencari buku langka (sebutkan judul buku teknik yang rumit). Yuni (sukarelawan) membantunya.

Kesan Pertama (Juan): Terkesan dengan kecerdasan Yuni dan pengetahuannya soal sistem arsip.

Kesan Pertama (Yuni): Menganggap Juan berbeda dari mahasiswa teknik lainnya, lebih serius soal belajar.

Yuni berhenti berjalan.

Dia tertawa pelan.

"Berbeda? Serius soal belajar?"

"Ini... benar-benar fiksi."

Pekerjaannya baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!