Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Al dan Rindu
Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan pagi untukku dan gadis itu. Dua gelas susu serta dua porsi nasi goreng lengkap dengan telor ceploknya telah tersaji di atas meja makan. Hanya satu yang kurang, Adelina.
Sejak bangun tadi, gadis itu seperti menghindariku. Mungkin ia masih kesal dengan jawabanku semalam. Ia memintaku untuk mencintainya seperti aku mencintai Anaya. Hah, ngimpi!
Tidak ada lagi ruang di hatiku untuk mencintai seseorang. Buang-buang waktu.
"Sarapan dulu," ucapku saat ia keluar dari dalam kamar.
Tak ada sahutan. Matanya yang sembab menatapku datar. Aku tahu, sulit untuknya menerima segala kenyataan yang ada. Apalagi jika dia tahu jika pernikahan yang terjadi adalah bagian dari rencanaku. Dia pasti kecewa dan entah, aku tak mau itu terjadi.
Cukup lama dia menatapku sebelum akhirnya memutuskan kontak mata kami lalu bergegas untuk meninggalkan rumah. Aku bangkit dan segera mengejarnya. Gak tau kenapa, tapi aku tidak menyukai jika dia mendiamkanku.
Dia berhenti saat aku berhasil meraih tangannya. "Masih marah sama saya?" tanyaku.
Dia berbalik, perlahan tangannya melepas cekalan tanganku. Dengan kaca-kaca di sudut mata, ia menatapku. "Gak ada hak untuk aku marah, Mas," jawabnya.
Aku tak lagi mengejarnya. Kubiarkan gadis itu pergi meninggalkanku dengan isak tangis yang kembali ke luar dari bibir ranumnya. Mataku menatap pungung berbalut seragam SMA yang semakin menjauh itu. Aku tahu, dia butuh waktu sendiri saat ini.
Dalam sunyi aku menghabiskan sarapanku. Sambil sesekali menatap sepiring nasi goreng yang masih utuh tak tersentuh. Senyum manis gadis itu tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku. Aku segera mengenyahkan pikiranku yang tiba-tiba melayang padanya.
Harus kuakui, hampir satu bulan hidup bersamanya membuat hariku banyak berubah. Keceriaan yang selalu dia tunjukkan selalu mengingatkanku pada Keyla. Bukan hanya wajahnya yang mirip, tapi sifat cerianya pun sama. Aku seperti melihat Keyla dalam dirinya.
...🍉🍉...
Segelas penuh jus jeruk nyaris tak tersisa, tapi belum ada sedikit pun tanda dimulainya perbincangan pada siang ini. Napasku terembus pelan, geram menatap pemuda di hadapanku yang terbalut rasa gugup.
Berkali-kali ia membuka lembar demi lembar dalam proposalnya, meneliti kata demi kata yang tersusun di sana. Aku hanya mengamatinya yang tampak takut padaku. Padahal aku hanya memintanya menyerahkan proposal skripsi yang akan diajukannya, bukan ingin mengulitinya hidup-hidup.
"Bagaimana?" tanyaku ketika ia telah sampai pada lembar terakhir proposal itu.
Dia menyerahkan proposal itu padaku dengan hati-hati. Aku menerimanya lantas mengeceknya. Entah, ini sudah proposal pengajuan skripsi ke berapa yang dibuatnya. Aku menganggukkan kepala membuatnya menghembuskan napas lega.
"Oke, siap-siap untuk seminar proposal."
"Baik. Terima kasih, Pak," sahutnya seraya tersenyum cerah.
Aku bangkit berdiri setelah mengembalikan proposal itu padanya. Langkahku terhenti saat seorang mahasiswa lain tiba-tiba berdiri di hadapanku.
"Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar?" Aku mengangguk kemudian mengikutinya ke sebuah meja di ujung kantin.
"Ada apa?" tanyaku.
"Saya hanya ingin menanyakan kabar Adelina, adik saya. Apa ia baik-baik saja?" tanya Satya.
Aku menatap matanya, terlihat jelas ketulusan seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya. Rasa yang pernah aku miliki untuk Keyla.
"Dia baik-baik saja," sahutku.
Senyuman lega mengembang di bibirnya setelah mendengar kabar adiknya. "Boleh saya menjenguknya?" tanyanya lagi.
"Saya hanya menikahinya bukan mengambilnya dari kalian. Jadi, tidak ada yang melarangmu untuk melakukannya," jawabku kemudian pergi meninggalkannya.
Kulirik jam di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul dua siang. Kulajukan mobilku meninggalkan area kampus menuju ke sebuah sekolah menengah atas yang kini mulai akrab denganku.
Ramai para siswa yang keluar dari gerbang sekolah yang menjulang dengan pongah. Mataku tak lepas untuk terus mengawasi satu per satu siswa yang keluar. Menunggu seseorang yang mulai hapal dalam pandangan.
Dapat!
Gadis dengan rambut yang terurai itu keluar dari gerbang dengan dua gadis di sampingnya. Dalam canda tawa yang mengiringi langkah mereka, aku menatapnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan mereka.
Satu di antara mereka masuk ke dalam mobil itu, sementara Adelina dan satu temannya lagi melambaikan tangan ke arah gadis di dalam mobil yang mulai berjalan itu. Tak lama, sebuah motor matic berhenti di depan mereka dan membawa gadis yang satunya lagi. Tinggalah Adelina sendiri di depan gerbang.
Ia menengok ke kanan dan ke kiri, entah mencari apa. Aku keluar dari dalam mobil, tapi langkahku terhenti saat seorang pemuda tiba-tiba menarik tangan Delina. Mereka saling tatap, dalam.
Entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi setelah beberapa menit larut dalam obrolan, akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan sekolah. Bersama.
Pemuda itu menaiki motor ninjanya lantas memberikan helm untuk Delina. Pemuda itu nampak gemas saat Delina kesulitan mengunci helmnya. Layaknya seorang pemuda sejati, ia pun segera membantu Delina mengenakan helm. Wajah mereka begitu dekat, sementara wajahku memanas di sini.
Selesai dengan helm sialan itu, dengan hati-hati Delina menaiki motor lalu perlahan pemuda itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Mereka pergi meninggalkan sekolah, terkhusus meninggalkanku dengan rasa entah yang meradang.
Cemburu? Gak mungkin!
Mataku menatapnya datar. Ada rasa aneh yang merayap ke hati saat melihat Delina dengan pria lain. Memangnya kenapa jika ia bersama pria lain? Apa hakku untuk melarangnya? Apa karena aku suaminya? Memang pantas?
Aku mengenyahkan pikiran aneh yang berusaha masuk dalam otakku, kembali memasuki mobil dan melaju di jalanan dengan kecepatan lumayan tinggi.
...🍉🍉...
Baby, take my hand
I want you to be my husband
'Cause you're my Iron Man
And I love you 3000
Lagu dari Stephanie Poetri itu mengalun dengan merdunya lewat speaker hapeku. Lagu yang sering dinyanyikan Delina saat kami sedang berdua di dalam kamar. Aku yang sibuk dengan kerjaanku, sedang dia yang sibuk dengan live streamingnya di instagram.
Pernah aku menegurnya setelah selesai live streaming.
"Suaramu fals," komenku saat itu.
"Biarin, yang penting aku bahagia," sahutnya seraya mengerucutkan bibirnya.
Lucu. Itu yang selalu kutangkap darinya saat sedang kesal.
Dari jendela kaca yang mulai mengembun akibat rinai hujan di luar sana, aku menatap langit hitam yang perlahan menurunkan tangisnya. Udara dingin dari luar seakan merasuk ke dalam jiwaku, membuat hatiku yang dingin lebih membeku.
Mataku menerawang, mencoba mencari jawaban lewat awan hitam. Ke mana Adelina pergi dengan pemuda itu? Apa ia sudah pulang sekarang? Atau malah nggak pulang?
Beberapa kali aku bolak-balik membuka hape, memeriksa aplikasi berwarna hijau. Tapi, nihil, tak ada satu pun pesan yang kuterima.
Padahal, biasanya Delina akan terus mengirimi pesan-pesan singkat yang membuat hapeku tak berhenti bergetar. Apalagi saat aku telat pulang, tak hentinya ia meneleponku hanya untuk bertanya kapan aku pulang.
Saat itu aku merasa begitu kesal dan terganggu, tapi sekarang justru aku ingin dia melakukannya. Lagi.
"Lo kenapa sih liat hape mulu?" Ardan-sahabatku datang seraya membawa dua cangkir hangat americano.
Ia meletakkan dua cangkir americano itu di atas meja.
"Al!" Ardan berteriak cukup kencang di depanku.
"Gak usah teriak juga, bego!" geramku seraya melempar kentang goreng ke arahnya.
Ia berdecih seraya memutar bola matanya malas. "Ck. Lagian lo ditanyain malah diem," sahutnya seraya memakan kentang goreng yang kulempar tadi.
"Berisik lo!"
"Mulut diciptain buat ngomong, Al, bukan buat berak. Lagian lo kenapa sih, gak biasanya lo uring-uringan kayak gini. Lagi datang bulan lo, ya?" tuduhnya.
Lagi, aku melemparnya dengan kentang goreng. "Mulut lo ya," kesalku.
Heran. Kenapa juga aku bisa sahabatan sama laki-laki bermulut lemes seperti dia.
Aku menyumpal telingaku dengan earphone agar tak lagi mendengar ocehan-ocehan yang keluar dari mulut lemes Ardan.
Asw! Gak tau orang lagi rindu.