Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 ACICD - Bertemu Lagi
Ruby kini memasuki lobi mewah sebuah gedung tinggi di pusat kota. Dia mendekat ke arah meja resepsionis. Di sana seorang wanita elegan berseragam rapi terpaku beberapa detik begitu melihatnya, tapi segera Ruby disambut ramah.
"Selamat sore, selamat datang di Yoseviano Tower, ada yang bisa dibantu?"
"Selamat sore, saya Ruby dari Golden Media Group, saya ada janji temu dengan CEO Shariel Tech."
"CEO Shariel Tech, Pak Adriel?" Tak sadar resepsionis itu bertanya untuk memastikan. Pasalnya dia tahu kalau CEO dingin itu tidak pernah mau bertemu dengan orang-orang media.
"Benar."
"Baik, mohon tunggu sebentar, saya konfirmasi jadwalnya terlebih dahulu."
Resepsionis itu kemudian mengangkat gagang telepon, berbicara sebentar dengan sopan lalu menutup telepon.
"Terima kasih sudah menunggu, mohon dibantu dengan tanda pengenal, yah, untuk kami melengkapi data tamu."
Segera Ruby merogoh dompet dalam tas selempangnya, lalu menyerahkan KTP pada wanita bersanggul rapi di balik meja marmer.
"Baik, mohon tunggu sebentar, Miss August."
Ruby mengulas senyum tipis.
"Bisa dibantu dengan kontak aktifnya juga."
Langsung Ruby menyebutkan nomor kontaknya. Tidak lama, resepsionis itu memanggil salah satu sekuriti berseragam hitam.
"Pak Tommy, silakan antarkan Miss August ke lift, lantai 52, yah, Pak."
"Siap, Bu."
Selanjutnya Ruby mengikuti Pak Tommy menuju area lift. Tidak menunggu lama, pintu berlapis baja dan kaca reflektif terbuka dengan bunyi ding yang lembut. Ruby melangkah masuk. Pelan.
"Terima kasih, Pak Tommy," kata Ruby.
"Sama-sama, Miss August," ujar Pak Tommy setelah menempelkan kartu dan menekan lantai 52.
Begitu pintu menutup. Dunia luar lenyap. Ruby sendirian. Ternyata tidak ada karyawan lain atau staf yang bersamanya. Tiba-tiba, wanita cantik itu meremas pegangan kecil di samping panel kontrol. Ujung jarinya dingin, napasnya pendek.
Suara mesin lift terdengar halus, tapi jantung Ruby memompa kuat. Matanya tertuju pada angka digital merah yang berubah satu demi satu.
16… 17… 18…
"Lantai 52 masih jauh, yah," gumamnya, lalu menutup mata.
"Tidak terjadi apa-apa, Ruby, ini hanya sementara… ini lift…"
Ruby memang memiliki trauma terhadap ruangan sempit. Dia tidak ingat tepatnya kenapa bisa memiliki trauma seperti itu. Yang dikatakan padanya, Ruby pernah dikurung dalam lemari dan disiksa oleh ayahnya saat masih kecil.
Dia mulai menangani trauma itu pelan-pelan saat dia mengikuti pelatihan Crimson Lilies. Bahkan sudah menaklukkan trauma itu sebelum menjalani misi internasional pertamanya saat berusia 18 tahun. Walaupun dengan bantuan pil yang selalu diberikan ibu angkatnya. Hanya saja, dia merasakan ketakutan lagi tiba-tiba.
"Padahal waktu menaiki lift sendiri menuju penthouse Tuan Satrya aku aman-aman aja."
Sepertinya karena akhir-akhir ini dia memang selalu telat meminum pilnya.
Ruby terus meremas pegangan di samping panel kontrol dan menutup mata hingga akhirnya bunyi ding terdengar lagi.
Liftnya sudah berhenti di lantai 52.
Ruby menghela napas panjang sebelum melangkahkan sepatunya keluar dari lift. Cahaya lembut dari koridor atas menyambutnya. Dia memperbaiki posisi lanyard hitam yang menggantung di lehernya dan mengatur napas.
Sementara itu, di meja resepsionis lantai 52, terlihat seorang laki-laki muda berparas tampan mengenakan setelan jas abu-abu gelap, sedang mengobrol dengan dua wanita di balik meja.
Yap, siapa lagi itu kalau bukan Hougan. Dia memang laki-laki yang ramah dan suka menyapa semua orang. Sembari menunggu kedatangan tamu atasannya, di menyempatkan diri berbincang dengan dua resepsionis bernama Lara dan Tania.
Namun, begitu Ruby menghampiri mereka…
"Permisi, saya Ruby dari Golden Media Group," ujar Ruby.
Ketiganya bersamaan menoleh pada sumber suara, lalu terpaku di tempat. Bagaimana tidak?
Wanita di hadapan mereka itu begitu cantik. Lihat saja rambut cokelat bergelombang yang jatuh di samping bahunya, berpadu dengan blus biru muda berpita yang memberikan kesan lembut.
Meski, wajahnya dibingkai kacamata, tapi kecantikannya tidak tertutupi sama sekali. Kilau bening kulitnya seakan menghipnotis setiap orang yang memperhatikan.
Tapi, bukan cuma kecantikan Ruby yang membuat Hougan terdiam. Melainkan, wajah dan aura wanita itu benar-benar sangat mirip dengan Drasha, mendiang istri atasannya.
Ya, Hougan pertama kali melihat Drasha saat masih berpacaran dengan Adriel. Waktu itu Hougan berusia 12 tahun dan mereka datang ke panti asuhan tempat tinggal Hougan.
Dia juga sudah pernah melihat beberapa wanita yang wajahnya dioperasi mirip Drasha lima tahun silam. Awalnya, Hougan pikir mungkin Ruby melakukan hal yang sama untuk mendekati tuan mudanya. Tapi… melihat wanita ini secara langsung benar-benar membuat Hougan tak berkutik.
"Pantes aja Pak Adriel penasaran sampai mau diwawancarai padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu media manapun." Hougan membatin, tapi segera dia menyunggingkan senyum ramah untuk menyapa Ruby.
"Selamat sore,Nona Ruby, saya Hougan, asisten pribadi Pak Adriel," dia menoleh sebentar pada dua resepsionis. "Ini Lara dan Tania."
Dua wanita itu menunduk sekilas menyapa Ruby. Entah kenapa aura Ruby itu seperti nona muda keluarga terpandang, sehingga mereka tidak ragu untuk menunduk.
Ruby mengangguk kikuk. "Selamat sore, salam kenal."
"Kalau begitu, mari, Nona Ruby, saya antarkan ke ruangan Pak Adriel," ucap Hougan, berbalik dan mulai melangkahkan sepatunya.
Ruby sendiri menarik napas sebelum menyusul. Sekarang yang memenuhi pikirannya adalah Adriel. Apakah lelaki itu sengaja mengatur wawancara ini untuk menangkap Ruby karena mencuri cake cokelat?
Tapi, itu kan salah Adriel. Kenapa coba harus menutup sky lounge tiba-tiba?
Eh…
Pertemuan dengan Adriel semalam itu sangat singkat. Mungkin juga dia tidak ingat wajah Ruby kan?
Atau apa jangan-jangan Adriel tahu kalau Ruby itu aslinya assassin?
Wanita cantik itu menggeleng pelan. "Tidak, tidak, Ruby, tidak usah overthinking, sekarang kamu harus menjalankan peran sebagai reporter GMG, jadi ayo semangat!" batinnya penuh tekad.
Ruby lalu mengikuti Hougan memasuki ruangan transisi yang terhubung dengan ruangan CEO di depan sana.
Selanjutnya, Hougan mendorong salah satu pintu kayu besar ganda yang berdiri kokoh. Tampak tebak dan mahal, kontras dengan dinding putih di sekitar.
"Silakan masuk, Nona Ruby… Pak Adriel sudah menunggu di dalam," kata Hougan ramah.
Ruby menatap Hougan sekilas sebelum melangkahkan sepatunya masuk ke dalam.
Sungguh, Ruby sangat deg-degan. Apa efek dari trauma yang tiba-tiba muncul masih tersisa? Tapi, Ruby rasa bukan.
Dia terus melangkah pelan sampai ruangan kerja modern dan luas menyambutnya. Jendela kaca lebar menampilkan panorama gedung-gedung tinggi di luar sana.
Kemudian, langkah sepatu Ruby melambat dan akhirnya berhenti begitu iris honey ambernya terfokus pada sosok lelaki berjas gelap yang duduk tenang di balik meja kerja besar, sedang menatap layar monitor. Ya, sudah pasti itu Adriel. CEO yang akan diwawancarainya sebentar lagi.
Wajahnya tampan…
Begitu memikat…
Bibir Ruby yang dipoles lipbalm pink terbuka tipis. Tidak ada kata yang keluar, hanya helaan napas gugup.
Remasan pada tas beige kecilnya menguat saat netra Ruby bertemu dengan tatapan dingin Adriel di sana.
Ruby merasakan debaran aneh lagi dalam dadanya. "Kenapa dia bisa bikin aku kayak gini…"