Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlindungan dari Badai Hening Hingga Menusuk Dalam Pengabaian Hidup.
.
.
Flauza terus menatap sang gadis yang masih tampak sibuk sendiri dengan benda tua dan sudah tidak berbentuk itu lagi, rambut hitam miliknya itu di ikat dan di gulung asal tinggi di atas kepalanya. Alat-alat sepeti tang, pemotong kawat dan obeng berbagai ukuran yang di pinjamkan karyawan Cleaning Servis dari kotak perkakas mereka.
Dokumen yang sendari tadi ada di tangan pria itu, terlihat terabaikan oleh sosok Tuan Evangrandene yang terus mematai setiap gerakan, tindakan apa yang sedang gadis itu lakukan.
Ting
Suara alat-alat yang berdenting itu kembali menggema di ruangannya.
Mungkin tidak terlalu besar, bahkan itu sangat pelan karena gadis itu bergerak selambat mungkin seakan agar semua yang dia lakukan tidak mengeluarkan suara yang terlalu besar dan mengganggu.
Namun bukan itulah masalahnya.
Dia tidak mempermasalahkan sedikit kebisingan kecil di ruangan ini jika itu berasalah dari gadisnya itu.
Tidak masalah sama sekali.
Tetapi yang menjadi masalah adalah......
Sudah beberapa hari belakangan ini setelah mendapatkan mainan tua itu......
Gadis itu tampak lebih sibuk akan dunianya sendiri, di bandingkan dengan memerhatikan dirinya yang bahkan ada di sini, di satu ruangan yang sama dengan gadis miliknya.
Sekilas ada terdapat notifikasi email yang masuk pada layar komputer yang ada di atas meja kerja sang Tuan Evangrandene. Dengan Iris kecokelatan miliknya yang menatap sejenak pada hal itu sebelum kembali kepada sosok gadis di depan itu, kini sosok berambut hitam itu tengah menunduk, menghentikan semua pekerjaannya pada mainan tua itu, dan dia bisa melihat fokus sang gadis yang berada benda kecil persegi panjang yang tampak memutarkan sebuah video dengan suara video itu terdengar dari earphone yang dia pasang pada ponsel lusuhnya.
Lihatlah betapa seriusnya ekspresi wajah gadis itu!
Sial...!
Saat dirinya mengatakan dia tidak terlalu suka melihat gadisnya yang begitu sibuk dengan hal-hal tidak berguna seperti ini.
Dia benar-benar tidak menyukainya saat melihat perhatian gadisnya untuk tidak terfokus pada dirinya.
Sangat tidak menyukainya.
Sudah beberapa kali dia menawarkan kepada gadis itu untuk membeli baru saja mainan itu dan membuang benda usang itu, atau membiarkan orang lain saja yang memperbaiki benda sialan itu agar fokus gadisnya tetap kepada dirinya.
Namun....
Tetap saja gadis itu menolaknya dengan mengatakan jika dia bisa mengerjakan hal ini.
Sial....!
Benar-benar sialan!!!
Ingin dia membuang benda itu, menghancurkannya atau membakarnya untuk memusnahkan apa pun, siapa pun yang telah berani mengambil perhatian gadisnya itu darinya.
Gadis itu....
Gadis bernama Revander Syahril itu adalah miliknya....
Hanya miliknya seluruhnya, sepenuhnya!
Dia mengira sudah mengalah agar tidak memaksa kepada gadis itu dan memberikan jarak secukupnya untuk gadis itu takut kepada dirinya.
Mengikuti semua permainan dan keinginan kecil dari gadis itu.
Dan.....
Tetap saja ini semua terasa tidak pernah cukup.
Dan tidak akan pernah cukup!
“Hmmm....” dia dapat mendengar gumaman pelan dari bibir merah mudah gadis itu, yang masih menatap serius entah video apa yang sedang di tontonnya sekarang pada ponsel lusuh itu.
Sekilas dia menatap kembali kepada gitar tua yang sudah terbagi beberapa bagian, mengambil salah satu bagian kecil yang dia sendiri tidak tahu apa itu.
Pria itu meletakkan lembaran dokumen yang ada di tangannya kembali ke atas meja kerjanya.
Bangkit dari kursi kerjanya itu dan mendekat kepada ke arah gadisnya dengan langkah seperti langka seekor predator, pria itu berjalan pelan tanpa hening tanpa suara dan siap memangsanya yang masih belum sadar akan ancaman dari mata cokelat madu yang kini bersinar-sinar tajam dan berbahaya.
“My Revander.” Dengan pelan Flauza melepaskan kedua earphone dari telinga sang gadis yang sedikit melompat terkejut pada duduknya.
“F-Flauza!”
“Hmmm....”
“A-ada apa Flauza?” kedua tangan pria itu perlahan melingkar lembut kepada pinggang dan perut sang gadis dari arah belakang hingga punggung gadis itu bersentuhan lembut pada dadanya.
Flauza meletakkan ujung dagunya pada pundak Revander dengan lembut. “Kamu terlalu sibuk dengan mainan rusak itu.” lirih Flauza berusaha menarik perhatian gadis itu.
Dia dapat mendengar helaan nafas yang cukup kuat dari gadisnya itu sebelum Revander benar-benar menyandarkan tubuhnya kepada dadanya.
“Aku hanya sedang memperbaiki ini sedikit, apakah aku terlalu berisik sampai mengganggumu dalam bekerja?”
“Hhmmm....” salah satu tangan gadis menyentuh lengan kekar yang masih memeluk erat dirinya.
Sejenak dia menutup mata merasakan rasa hangat yang menyerbak lembut dari tubuh yang jauh lebih kecil dari dirinya.
Hangat....
Harum....
Dan lembut....
“Hmm....”
Revander hanya terdiam.
Dia bisa merasakan hembusan nafas hangat pria itu pada bagian belakang telinganya, secara pelan, teratur, lembut namun terasa berat....
Seperti awan putih indah yang melayang tenang di atas langit yang mulai menghitam dengan kita petir saling bersahutan tanpa suara.
“B-bisakah kamu melepaskan aku sebentar Flauza....? A-aku akan menyusun benda-benda ini t-terlebih dahulu.... A-agar ruanganmu T-tidak tampak berantakan.” Lirih sang gadis dengan suara gugup yang selalu dia nikmati, di sertai debaran jantung pada dada gadisnya yang semakin terasa kuat.
“Hhmmm...... kamulah orang yang telah membuat ruanganku berantakan, My Revander.” Flauza membuka matanya perlahan dan di ikuti dengan senyuman khasnya.
Sentuhan lembut dari tangan sang gadis juga berubah menjadi sebuah remas kuat tak berhasil menyakiti sang Tuan Evangrandene.
Ohh.....
.
.
.
Lihatlah gadis ini, berusaha kuat untuk melawan dirinya, agar keluar dari genggaman kuat dirinya.
Begitu kuat namun juga lemah karena dia tidak tahu akan apa yang dia lakukan untuk melawannya.
Hanya bisa mengepakkan sayap-sayapnya dan membuat bulu-bulu indah lebat nan lembutnya semakin terlepas semakin banyak, tetapi tidak terlihat akan habis.
.
.
.
“Kamu terlihat lebih suka benda tua itu, di bandingkan oleh diriku, My Revander.” Dengan lembut bibir Flauza mencium leher sang gadis dengan kulit putih kemerahan yang semakin hari semakin terlihat jelas dan juga semakin banyak pula itu tersebar.
“uhh....Flauza..... a-akukan sudah mengatakan, a-aku hanya....—“
“Aku tidak menyukainya.” Bisik pria itu lagi antara menciuman lebih dalam leher sang gadis. “Aku tak pernah menyukainya saat dirimu tidak memerhatikanku, entah itu kamu sibuk dengan benda tua itu, sibuk dengan teman dan keluargamu, dan sibuk dalam pemikiranmu sendiri. Aku tidak pernah menyukainya.”
“kamu.... marah?”
Diam.
Kali ini pria itu memilih untuk diam sedikit lebih lama.
Lalu dia tertawa kecil dengan wajah yang masih tenggelam di antara leher dan bahu sang gadis.
Ahh.....
Gadis ini benar-benar membuatnya menjadi setelah gila hanya dengan pertanyaan, pernyataan dan gerakan-gerakan kecilnya.
Apakah ini yang di rasakan pria tua itu kepada ibunya?
Flauza kembali tertawa lagi.
Pelukannya semakin mengerat namun sekuat mungkin dia menahan diri untuk tidak sampai menyakiti makhluk berambut hitam ini.
“ya...” suara itu akhirnya keluar.
Pelan seperti hembusan angin dan sedikit dingin menusuk di tengah musim gugur mendekati turunnya salju.
Gadis itu kembali menghela nafas panjang dan pada akhirnya dia dapat merasakan tubuh dalam dekapannya itu sedikit melemas pelan.
Apakah gadis itu telah menyerah?
Tidak....
Tentu saja tidak....
Gadis itu tidak pernah tampak menyerah atau tidak melawan, walaupun dia selalu lebih banyak diam.
Dia masih terus melawan tapi tidak dengan hal-hal seperti mereka pada umumnya.
Dan itu sedikit banyak adalah hal yang jauh lebih sulit untuk dirinya taklukan di bandingkan oleh para orang-orang itu.
Kebanyakan para laki-laki yang mendekati dia hanya ingin mendapatkan kekuasaan dan harga yang tinggi untuk di banggakan dari mereka.
Lalu para perempuan yang mendekati dirinya juga melakukan hal yang sama untuknya, menggoda dan merayu untuk berusaha mendapatkan perhatian dan merasa spesial atas dirinya.
Itu adalah hal-hal yang membosankan.
Sangat membosankan.
Tapi gadis ini?
Apa yang dia cari dari dirinya?
Tidak....
Itu bukanlah pertanyaan yang benar untuk di tunjukkan kepada sosok Revander Syahril.
Tapi.....
Apa yang dia cari untuk dirinya sendiri?
What she want indeed...
Not with wealth.
Not with luxury.
And also not with freedom.
What she want indeed...
.
“Aku sedang tidak ingin mengerjakan pekerjaanku hari ini.” Gumam Flauza pada akhirnya menjawab pertanyaan sang gadis beberapa menit yang lalu tanpa melepaskan dekapannya.
“Bukankah..... itu adalah hal-hal yang begitu penting?”
“Hmmm....”
Kepala gadis itu sedikit terangkat ke belakang seakan berusaha melihat dirinya dari ujung mata itu, remasan pada lengannya kini berubah menjadi elusan lembut dan sangat nikmat untuknya.
Sangat nikmat....
Hingga itu berhasil membuat rasa tidak senang yang sendari tadi memenuhi dalam tubuhnya itu, menghilang bagaikan uap air terkena sinar mentari hangat.
“ingin melakukan sesuatu yang lain?” gadis itu kembali bertanya.
“Kamu tidak akan memaksaku untuk kembali bekerja?”
“Apakah kamu ingin kembali bekerja?”
Flauza kembali tidak menjawab pertanyaan gadis itu.
Dan Revander kembali menghela nafas panjang dan lebih keras lagi.
“Mungkin..... kamu hanya sedang jenuh dengan pekerjaanmu, dan tidak ada salahnya pula jika mengambil sedikit waktu untuk bersantai di tengah-tengah pekerjaan yang belum selesai itu.” dia dapat mendengarkannya dengan jelas itu lagi.
Nada suara lirih dan jauh seperti rasa yang sama yang dia rasakan selama ini.
Rasa yang jauh.....
Begitu jauh, sunyi dan sepi.
Dan dia tidak mengerti akan apa makna dari hal itu.
“Jadi menurutmu tidak masalah untuk mengabaikan sedikit mengabaikan sesuatu yang penting yang seharusnya kamu perhatikan?”
Kali....
Kali ini gadis itulah yang tertawa kecil ketika dia mendengar pertanyaannya.
Suara tawa bagaikan dentingan lembut sebuah bel kecil tertiup angin musim semi yang sedikit lebih panas.
“Apakah menurutmu itu terlihat seperti seorang yang tidak bertanggung jawab dalam pekerjaannya?” elusan tangan sang gadis sejenak berhenti pada lengannya itu. “Kurasa...... tidak. Seorang yang hanya sedikit mengambil waktu untuk dirinya sendiri di tengah pekerjaannya itu, mungkin saja ingin pekerjaannya itu tetap sempurna dan menghasilkan hal yang terbaik untuk keduanya.”
“Hhmmm...?”
Revander masih tertawa kecil.
“Mungkin… seseorang itu hanya sedang mencoba menenangkan pikirannya. Terlalu banyak hal yang berserakan di dalam dirinya saat dia bekerja… dan tanpa sadar, satu per satu kesalahan kecil mulai muncul.”
Revander menarik napas perlahan sebelum melanjutkan, suaranya tetap lembut.
“Jadi dia memilih untuk berhenti sebentar. Menarik napas dalam-dalam, membiarkan badai itu lewat perlahan… sebelum kembali bekerja dengan kepala yang lebih tenang, dan hati yang sedikit lebih teratur.”
Flauza terdiam.
Benar-benar terdiam saat mendengar kembali sudut pandang yang sangat berbeda dari sang gadis berambut hitam ini.
Lalu.....
Dia tidak dapat menahan rasa sudut bibirnya mulut tertarik tipis, membentuk sebuah seringai khas miliknya dengan wajah tampan itu masih tenggelam di posisi yang sama.
Revander Syahril.....
Oh My Revander Syahril....
Kamu.....
Kamu benar-benar pandai dalam berkata-kata di balik diammu itu.
Dan di karena kan itu pula orang-orang di sekelilingmu keluargamu akan langsung memaksamu untuk diam, kamu terlalu pandai untuk mereka.
Di karena kan cara melihatmu dalam diam itu terasa begitu asing, berbeda dan tidak sama dengan apa yang mereka mau.
Dengan apa yang dia mau.
Tetapi.....
Dia bukanlah mereka untuk gadis itu bukan?
Tidak.
“Jika kamu berpikir My Revander, saat ini ada sebuah badai yang tengah terjang di antara seseorang itu...” bisiknya, dengan suara rendah yang nyaris menggelitik telinga gadis itu. “bagaimana seseorang itu melewati badai yang tengah di terjangi itu, di saat tempat yang seharusnya menjadi tempat pelindungnya itu malah sibuk dengan hal-hal rusak dan tidak berguna seperti ini, Hmm....?”
Bagaimana dirimu yang seperti ini?
Dengan segala hal yang terus kamu pendam?
Kamu sembunyikan, dan kamu abaikan namun tetap bergemuruh kuat di dalammu?
Dan tetap memaksamu pada luar lingkaran bergaris tipis itu?
Bibir dingin Flauza kembali mengecup lembut kulit kemerahan pada leher Revander.
Revander menarik napas panjang, tubuhnya masih diam dalam pelukan hangat dan menekan itu, kembali berusaha melirik kepada pria itu dengan kepala yang kembali sedikit miring agar dia bisa melihat dari sudut matanya lebih jelas.
“Flauza....” akhirnya Revander memanggilnya. “Kamu tidak ingin kembali bekerja bukan? Bagaimana..... jika kita pergi ke suatu tempat atau mungkin..... menikmati makan siang di luar?” Kini dia seakan berusaha mengahlikan pembicaraan mereka.
Itu berhasil membuat Flauza mendengus kecil. “Ke mana kamu ingin membawaku My Revander?”
Tangannya menyentuh jemari Flauza yang melingkar di pinggangnya, menekannya lembut seperti sebuah ajakan tanpa paksaan. “Kita bisa... berjalan ke.... I... don’t know to where...—“ suara itu perlahan menghilang pada nada ke tidak yakinkannya sendiri. “T-Tapi.... hanya.... K-kita berdua, d-dan sebuah kencan?”
Flauza mengangkat kepalanya pelan dan menatap ke arah wajah gadisnya yang masih menatapnya pula dengan mata hitam indah dan menghipnotis itu.
Lalu dia memutar tubuh itu dengan lembut dalam sekali gerakan lembut agar dia sendiri dapat melihat sepenuhnya ekspresi sang gadis yang biasanya selalu terlihat datar dan hampa.
Namun mata hitam pekat itu selalu berbicara lebih banyak di bandingkan ekspresi wajah sang pemiliknya.
Lalu dia kembali tertawa.
Tertawa lebih kuat di bandingkan beberapa waktu yang lalu.
“Baiklah My Revander, jika itu yang kamu ingin kamu lakukan untuk sekarang, dan aku akan mengabulkan itu.”
.
Suara gemercik air dingin mengali dari keran itu terdengar menggema pada ruangan kecil yang biasanya dia gunakan untuk melakukan hal-hal seperti ini, jika dia tidak ingin kembali di kediamannya.
Sebuah ruangan sedang yang terhubung langsung pada kantor pribadinya di gedung ini.
Iris mata kecokelatan itu menutup sejenak, sebelum kembali terbuka dan menatap lurus ke bawah pada lantai marmer putih dan biru yang di sinari oleh lampu terang dan hangat.
Setelah keinginan dan tawaran kecil dari gadis itu yang berhasil membuat sedikit banyak menarik perhatian dirinya sepenuhnya.
Maka dia bersiap, dengan membersihkan dirinya segera dan memerintahkan Tobito untuk mengutus seseorang membantu gadis itu bersiap dan menyuruh seseorang lainnya merapikan sedikit ruangannya yang berantakan karena ulah sang gadis dari mainan gitar tuanya itu.
Bahkan dia sempat sekali lagi menawarkan gadis itu untuk membuang benda itu, dan membelikan benda yang lebih baru.
Dia tahu gadis itu akan menolak dengan kuat di balik arti iris hitam pekat menatapnya lama dan dalam, hanya ada tatapan keterkejutan, rasa takut dan sedih itu lagi lah yang dia dapatkan.
Tentu saja.....
Flauza tidak ingin menekan gadis itu lebih jauh lagi, yang bisa membuat semua hal yang telah dia bangun untuk sosok berambut hitam itu menjadi hancur dalam sekali tekanan saja.
Sial...
Sialan.....
Dia benar-benar tidak bisa melakukan tindakan apa pun yang lebih jauh untuk benar-benar membuat gadis ini tidak lari menjauh atau menghilang dalam sekejap dari dirinya.
Flauza mematikan keran air itu perlahan, dan mulai melangkah keluar dari tempat membuka sebuah lemari berukuran cukup besar dan mengambil satu kaos hitam berlengan panjang dan celana panjang kain kasual untuk dia kenakan untuk hari ini.
Menyisir lembut rambutnya ke belakang, lalu memberikan sedikit parfum mahal berwangi lembut sebagai penutupannya.
Menatap sekilas dirinya sendiri pada cermin besar yang ada di sana, memastikan semua hal yang dia kenakan sempurna dan tidak ada hal yang salah.
Dia tersenyum puas.
Sempurna, semuanya harus sempurna untuk di lihat oleh gadisnya itu.
Saat dia kembali ke kantor pribadinya, di sana juga sudah ada sang gadis berambut hitam di gerai dan sudah tersisir rapi, menggunakan baju putih yang sedikit kebesaran untuk tubuhnya yang kembali duduk di sofa tempat biasa dia duduk diam di ruangan ini.
“My Revander?” Panggil Flauza mendekat ke arah sang gadis yang tampak sedikit terkejut, dan langsung bangkit dari duduknya.
“F-Flauza? S-sudah selesai?” tanya gadis itu lagi-lagi penuh kegugupan efek dari dirinya sendiri tenggelam dalam tempat yang benar-benar tidak bisa dia gapai untuk mengetahui apa pun tentang gadis di depannya ini.
“Hmm....” langkahnya berhenti tepat di hadapan Revander yang kini sedikit menadah ke atas untuk dapat melihat langsung ke wajahnya. Dan dia sedikit membungkukkan tubuhnya, membuat aroma yang begitu lembut dan menenangkan memenuhi indra penciumannya.
Ini adalah wangi khas gadisnya.
Wangi yang lembut dan menenangkan khas milik gadisnya.
“S-Semuanya sudah siap?” tanya gadis itu lagi.
“Sudah.”
“Uuhh....” Flauza seperti dapat merasakan debaran jantung sang gadis begitu kuat dengan kegugupannya yang semakin lama semakin kuat.
Semakin kuat rasa gugup itu terjadi di karena kan dirinya.
Dan memang seharunya seperti itulah hal yang harusnya terjadi untuk gadis itu.
Semua ini....
Semua hal yang terjadi sekarang ini.....
Hanya terjadi karena dia, dan gadis harus menerimanya.
Tapi dia memilih hanya tersenyum biasa dan menikmati semua gerak-gerik itu, sebelum dia menggenggam tangan Revander dengan lembut.
“Ayo berangkat, ini sudah hampir jam sebelas siang.” Gumam Flauza pelan, dan Revander hanya mengangguk pelan dan mengikuti pria itu dalam diam keluar dari ruangan kantor pribadinya menuju lift utama, menuju lobi utama gedung ini.
Seperti dejavu.....
Seperti pertama kalinya, di hari pertama mereka bertemu saat sekitar satu bulan setengah lebih yang lalu.
Mereka berdua berjalan bersama ke tempat yang sama dan itu adalah ajakan Flauza untuk makan siang bersama dengan gadis ini.
Revander itu menerimanya dengan enggan dalam diam tetapi tidak berkata apa-apa lebih dalam lagi.
Dan kali ini....
Gadisnyalah yang mengajak dirinya, mengatakan sebuah kencan, dan makan siang berdua di luar.
Dan dia menerima tanpa ragu, dalam diam dan tidak berkata apa-apa lebih dalam lagi.
Sungguh sebuah cerita yang benar-benar sama dan irony yang berbeda pula.
.
Ketika mereka berada lantai dua, di lobi utama.
Tanpa sengaja dia melihat sebuah ekspresi tegang dan tidak biasa yang terukir jelas dalam sorot ekspresi datar pada sosok tangan kanan kepercayaannya itu.
Sosok itu adalah Tobito, telah berdiri tegap langsung membungkukkan tubuhnya memberi hormat dengan di belakangnya terdapat berapa yang juga mengikuti gerakannya.
“Mister Flauza.” Ucap pria pirang itu, tidak di jawab apa pun olehnya.
Dia bisa merasakan sedikit rasa terkejut, tidak nyaman gadis itu kembali saat melihat orang-orang sialan itu.
Meremas lembut tangannya pada genggaman mereka berusaha yakin dengan hal ini dan menerima hal asing ini dari mereka untuk dia.
Flauza membalas remasan itu dengan mengelus punggung tangan gadisnya menggunakan jemarinya sepelan mungkin, dan tampaknya itu cukup berhasil menghilangkan keterjunan gadisnya.
Bagus.
Baguslah.
Di halaman depan lobi itu juga sudah terparkir mobil merah tua mengkilap bersih dengan mesin yang telah di menyalah bersuara lembut, hanya menunggu sang pemilik untuk masuk dan mengendalikannya ke mana pun tujuan mereka.
Tobito yang juga mengikuti langkah kedua Tuan dan Nona mereka di samping belakang itu, langsung membuka kursi penumpang depan untuk gadisnya, mempersilakan dan menuntun lebih gadis itu untuk masuk, duduk dengan nyaman di dalam sana sebelum menutup pintu penumpang itu.
Setelah itu, Flauza berjalan setengah mengelilingi mobil mewah merah tua itu di ikuti oleh Tobito yang masih setiap di samping belakangnya.
Sebelum pria pirang itu berhasil membuka pintu mobil pengemudi itu.
“What’s it Tobito?” gumam Flauza tidak mengalihkan pandangannya dari mobil merah di hadapannya. “You look different for today.”
Pria pirang itu kembali menegang.
Tetapi Flauza tidak bereaksi apa pun lebih lanjut. Hanya menunggu sebuah penjelasan dari sang tangan kanan dengan semua hal yang ingin dia katakan kepadanya.
“Mister Flauza, an email from the central government about what you asked them. And they accepted the condition, the Malacca Strait port access has been successfully achieved by you, Mister Flauza.” Ucap Tobito dengan suara yang lebih pelan di bandingkan biasanya.
“Ohh…. Faster than I expected, but that’s not a bad thing. So when will they come?” Flauza sedikit mengerakahkan tubuhnya ke arah Tobito.
“They also expect you to keep your word and immediately do what you have offered them to open and invest in some of this country's companies.”
“To reduce the unemployment rate which is soaring yada.... yada... yada... I know that Tobito, but I'm not their subordinate nor do I need them for all this, have you forgotten that?” potong Flauza tidak terlalu peduli dengan sebuah omong kosong yang tengah di ucapkan oleh sang tangan kanannya itu.
“Just tell me, when?”
"They said in less than two weeks it will finish, frankly they still need time to reorganize the document data and the signatures of several heads and leaders concerned."
Hah!
Dua minggu?
Apa mereka bercanda?
“No, take four or five days. Have some you people make it, and also make a meeting place.” Titah pria itu dengan senyumannya semakin melebar.
Dia tidak akan membiarkan manusia-manusia bodoh itu bernafas dengan berpikir mereka telah berhasil menjebak dirinya mengeluarkan jumlah yang cukup besar kepada mereka dan bisa mereka ubah sesuka hati mereka.
Ohh....
Tidak akan.
Ini adalah permainannya.
“Flauza?” suara panggilan kebingungan yang terdengar sayup berasal dari dalam itu berhasil membuat Flauza dan Tobito kembali menoleh kepada mobil merah tua itu.
Dengan samar dia melihat sang gadis kesayangannya itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke tempat kursi pengemudi, menatap bingung ke pada dirinya dan Tobito yang masih saja berdiri di luar sana, di karena kan pembahasan singkat mereka.
“Flauza.... ada apa? Apa telah terjadi sesuatu?” ulang Revander kini tangannya menyentuh kaca jendela mobil itu.
Pria itu sedikit membungkuk dengan salah satu jari telunjuknya menyentuh kaca hitam itu juga. “Tidak ada, My Revander. Hanya sedikit laporan yang ingin Tobito katakan kepadaku.”
Dia bisa melihat gadis itu mengangguk pelan lalu dengan perlahan memperbaiki posisi duduknya kembali di kursi penumpang.
Lalu Tobito bergerak lebih mendekat kepada pintu mobil merah tua itu berniat untuk membukakan pintu itu untuk tuannya, namun Flauza menahan lengannya dengan tetap tersenyum.
Sejenak kedua Tuan dan pelayan setia itu saling bertatapan sebelum Flauza melepaskan genggamannya pada lengan Tobito, membiarkan sang pria pirang melanjutkan pekerjaannya dalam diam.
Flauza menduduki dirinya pada kursi pengemudi itu dengan elegan seperti biasa, menatap ke arah sang gadis yang juga melihat ke arah dirinya dengan rasa kebingungan tertulis jelas di wajah menggemaskannya itu.
“Ready?” Flauza memasangkan sabuk pengaman penumpang itu ke sekitar tubuh gadis itu dengan lembut.
“Ah.... i-iya...”
“Good.”
Dan ketika pria itu ingin menutup pintu pengemudi mobil ini, dia menghentikan sejenak hal itu, membuat orang-orang di sekitarnya terpaku sejenak akan sesuatu tak kasat mata yang tiba-tiba saja kembali terasa.
“And Tobito, In this game, they are the ones who beg me to save them from their stupid actions, so because of their stupidity, I am the rule of their stupid game. Do you understand?”
“I understand Mister Flauza.” Mendengar jawaban dari sang tangan itu Flauza melanjutkan gerakan untuk menutup pintu mobilnya, dan mulai menjalankan kendaraan mewah berwarna merah tua dengan perlahan meninggalkan gedung tinggi miliknya menuju jalan raya terikut arus keramaian kendaraan di siang hari cukup terik ini.
.
.
.
Tanpa tahu tujuannya.
Namun yang dia inginkan hanya waktu dan perhatian dari gadisnya untuknya seorang, tanpa harus di tarik oleh hal-hal bodoh yang mengganggu dia untuk menikmati apa yang menjadi miliknya ini.
Hanya dia, yang tengah mengabaikan semua hal yang sedang terjadi.
.
.
.
absen dulu aku