Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesal sama Dia
"Ya!" Aira Membalas langsung.
"Kenapa kamu harus ke rumah bapak sihhh?!" Zayyan menekan nadanya, tapi terdengar amarah. Dan, Aira sudah tak mendengar kalimat ini, "Aku khawatir kamu kenapa-napa nanti di sana. Kalo bisa izin dulu sama aku, aku bisa pertimbangin."
"Ini inisiatifku sendiri!" Aira menyela. Aira sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. Nadanya mulai meluap-luap. "Kenapa? Kamu mau marah?! Tapi aku akan terus bicara. Kamu harus tau ini kak!"
"Aiku, pelan-pelan dulu kalo ngomong,"
"Pelan?" Aira memotong, "Aku ke rumah Bapak Dikromo sama Papa dengan niat baik. Aku cuma pingin silaturahmi. Tapi, tapi apa yang aku dapat?!"
"Airaku.. tenang dulu,"
Insting Aira menyala," Aku tahu, aku tahu kamu bakal nggak ngizinin aku ke sana, kan? Tapi, aku tetap kesana. Karena aku percaya, niat baik nggak akan ditolak. Aku ingin bisa punya hubungan baik sama mereka. Tapi apa yang aku dapat?!" Aira mengulangi.
"Aira...."
"Enggak!" Aira tak berhenti. Mulutnya sudah tak bisa di rem. "Aku berusaha bawain mereka bingkisan. Aku coba ramah, aku senyum, aku tahan rasa nggak nyaman itu dan hampir bisa mengambil hati Ibu Sukamti. Ibu sudah bisa sedikit senyum sama aku. Tapi, apa yang aku dapat?!" ulangnya lagi.
Ia menatap tajam ke layar, emosinya kembali meledak. "Bapak Dikromo merusak segalanya!"
"Apa maksudmu?" Zayyan tercekat.
"Bapak Dikromo itu jahat!"
"Jahat?"
"Dia jahat, kak! Dia hampir berani nyentuh aku. Dia lihatin aku dengan tatapan yang nggak pantas. Dan itu bikin Ibu marah. Mereka bertengkar. Mereka bertengkar dan mengungkit masa lalu. Dan, Aku dengar, aku denger nama Kasandra dari pertengkaran Bapak sama Ibu!"
Zayyan benar-benar tertohok.
"Makanya, makanya aku tanyain ke kamu. Aku ingin tahu. Tapi kamu malah, kamu malah nuduh aku yang enggak-enggak sama Harry. Aku udah cukup marah sama mereka, aku juga benci dengan masa laluku tapi kamu malah nambah bikin aku kecewa."
"Aira... Maafin aku..."
Aira berhenti, “Kita udahan dulu, Kak. Aku telat. Dan aku benci sama keluarga kamu." Suaranya datar, kecewa. Ia langsung memutus sambungan tanpa menunggu jawaban.
Dengan langkah cepat hampir seperti berlari, Aira menuruni tangga. Nafasnya sedikit terengah, bukan karena lelah, tapi karena amarah dan luka yang menyesakkan dadanya. Saat mencapai ruang makan, Mama Shania yang sedang menata sarapan menyadarinya.
“Aira, kamu nggak sarapan dulu?” tanya Mama Shania lembut.
“Aku udah kenyang, Mama,” jawab Aira cepat, tanpa sempat menoleh. Ia terus melangkah menuju gerbang rumah, membuka pagar tanpa ragu.
Namun langkahnya terhenti saat melihat seseorang berdiri di seberang jalan.
Harry.
Dengan senyum tipis dan nada santai, dia menyapa, “Aira, met pagi.” Gayanya baru. Seolah sifatnya telah berubah.
Aira menatapnya tak percaya. “Astaga... kenapa kamu muncul lagi?!” Ia celingak-celinguk, khawatir kalau Mama atau tetangga melihat.
Harry menyeringai, “Ayo naik, aku anterin.”
“Astaghfirullah... kita tuh udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Harry.” Tegas Aira. Namun bergetar karena marah dan takut emosi lagi.
“Santai aja kali. Aku tahu kamu lagi ditinggal suami, kan? Nggak papa. Dia nggak bakal tahu. Kamu berangkat sama aku."
Aira membelalak. “Kamu tahu dari mana?!”
“Ada deh. Yuk, naik ke motor aku. Aku anter."
Aira menggeleng keras, lalu mempercepat langkah. Tapi Harry justru menyalakan motor dan langsung memotong jalannya, menghadangnya dengan kasar.
"Apa kamu perlu mobil biar mau aku antar?" Harry membujuk Rayu.
Aira tetap jalan.
“Aira, bundaku lagi sakit… nggak bisakah kamu jenguk sebentar aja?”
Langkah Aira terhenti. Rasa simpatinya sempat menyeruak, tapi langsung menghilang saat mencium aroma tajam dari tubuh Harry. Bau alkohol yang menusuk.
“Kamu jangan bohong, Harry. Gimana bisa kamu bilang Mamamu sakit, tapi kamu bau alkohol kayak habis mabuk semalaman?”
Harry menyeringai miring, suaranya terdengar sinis. “Yah… situasinya emang nggak mendukung. Aku mabuk karena mikirin kamu terus, Aira…”
“Istighfar, Harry. Kita udah nggak ada hubungan lagi. Jangan cari-cari alasan buat deketin aku.”
“Tapi aku cinta sama kamu. Cinta mati! Lihat aku sekarang. Hancur. Aku kehilangan arah…”
Aira menatapnya lurus, “Berhenti menggangguku! Ini bukan cinta, ini obsesi. Kamu menjijikkan!"
Harry pun marah. “Aira! Kalau kamu nggak ikut sekarang, aku bisa paksa.”
“Kamu ini kenapa sih?! Minggir!” Aira menepis tangan Harry, tapi pria itu justru meraih pergelangan tangannya.
Tegang.
Tiba-tiba—
~Telolet telolet!~
Suara klakson yang telah dimodifikasi dari motor tua itu berbunyi nyaring, memecah ketegangan pagi itu.
Seorang pria paruh baya dengan helm butut dan jaket ala-ala detektif menghentikan motornya di sisi jalan. Dengan nada santai dan datar, dia berseru, “Pagi-pagi jangan bikin rusuh, Mas...”
Aira menoleh. Matanya langsung membesar.
“Paman?!”
Pria itu turun dari motornya dan membuka helmnya. Senyum hangat tergambar di wajahnya. “Assalamu'alaikum, gendhukku...” sapanya lembut.
"Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakatuh." Aira langsung mendekat, suaranya memohon, “Paman, tolongin Aira."
"Siap laksanakan!" Paman memberi hormat.
Paman mendekat ke arah Harry, “Istri orang jangan dipaksa. Kalo kamu masih waras, pulang. Sebelum saya panggilin orang satu RT.”
“Gendhuk Aira, kamu berangkat dulu sana. Biar ini jadi urusan paman,” ucap Paman Tukimo sambil melirik tajam ke arah Harry, seolah menantangnya diam-diam.
Aira mengangguk cepat, masih setengah gemetar. “Matur suwun, Paman…” ucapnya sambil buru-buru melangkah menjauh. Hatinya bersyukur. Paman datang di saat yang tepat.
Harry menatap Paman Tukimo dengan pandangan meremehkan. “Elo siapa sih, Pak Tua?! Sok jagoan!”
Paman Tukimo tersenyum santai, malah bersiul kecil sambil menyenderkan badan ke motor Harry. “Aah, saya ini cuma pengelana tua yang kebetulan lewat. Tapi katanya kamu nyari yang mau dibonceng, kan? Ya udah, saya aja. Ayo, gas!”
Dengan sigap, Paman Tukimo duduk di jok belakang motor Harry seperti sedang naik becak.
Harry kebingungan. “Eh, Pak! Ini motor saya! Jangan duduk sembarangan!”
Paman Tukimo malah mengangguk-angguk seperti pelanggan ojek. “Tenang, tenang… Saya penumpang kalem. Jalan aja, nanti saya kasih tips. Lumayan kan?”
Harry mulai panik. Ia terbiasa menggertak perempuan, tapi kalau urusan fisik apalagi dengan orang tua yang tampak eksentrik seperti ini ia tak punya nyali. Tangannya hanya mengepal tanpa arah.
“Dasar nggak waras!” umpat Harry.
Paman Tukimo tetap santai, malah melepas sandal sebelah dan menggaruk kakinya. “Wah, motor kamu keren juga, ya. Tuker boleh donk sama tuyul saya, eh maksudnya prutul saya? Hm? Hm?" Ia tertawa sendiri.
Harry makin kesal. “Terserah, saya pergi!”
“Ya wis, hati-hati ya, Bocah! Jangan suka maksa perempuan, nanti kualat. Dunia ini bundar, lho. Hari ini kamu di atas, besok bisa jatuh ke sawah.”
Harry mendengus dan brum brum cepat menjauh, sementara Paman Tukimo melambaikan tangan dengan gaya ala-ala raja. “Daaah! Jangan lupa kirim undangan kalo udah insaf!”
Setelah Harry hilang dari pandangan, Paman Tukimo menoleh ke arah Aira yang kini sudah naik bus.
“Gendhuk Aira itu harus dijagain... dunia makin gila. Kemarin, bocah kui nekat ngikutin gendhukku sama Papanya ke rumah Dikromo yang kurang ajar itu. Untung saja boloku genbosin ban motornya. Beres kan."
Dinikahi cuma buat status biar nggak kelihatan kayak simpenan. Kasandra disuruh nyusuin anak dari istri sebelumnya, juga. Apes... apes...