“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 20
Doni membopong Mahira ke dalam kamar. Dilihatnya wajah tenang Mahira yang tertidur. Setelah meletakkan Mahira perlahan, Doni mengambil ponselnya dan membaca beberapa pesan yang baru masuk.
“Riko mati bunuh diri di SMK Nusantara, terkenal suka membuli. Salah satu siswa paling ditakuti selain Saras dan Leo.”
“Saras cantik, tapi ketua geng Rembulan. Hanya menerima perempuan-perempuan cantik sebagai anggota.”
“Leo dikenal paling berkuasa. Leo dan Riko bersaing memperebutkan Saras.”
“Riko suka membuli. Hasil autopsi: mati karena jatuh dari lantai tiga. Rekaman CCTV menunjukkan Riko berjalan sendirian menuju lantai tiga lalu menjatuhkan diri.”
Doni terus menggulir layar, membaca data-data itu sambil sesekali melirik Mahira. Ia menelan ludah melihat wajah Mahira yang cantik dan imut.
“Tahan, Don… tahan. Jangan jadi cowok brengsek,” gumamnya kepada diri sendiri.
Tak lama kemudian Doni ikut tertidur di samping Mahira.
Tepat pukul tiga pagi Doni terbangun oleh suara seseorang muntah. Ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Tampak Mahira sedang muntah-muntah sambil memegangi wastafel.
Doni segera menghampiri dan memijat tengkuk Mahira. Mahira kembali muntah.
“Astaga… belum juga malam pertama, masa sudah hamil?” gerutu Doni.
“Orang gila!” ketus Mahira. “Emang gue hamil apa?”
Doni memapah Mahira kembali ke kasur.
“Kenapa kamu sudah mengandung anak kita, sih, Yang?” tanya Doni masih menggoda.
“Lama-lama gue robek juga tuh mulut,” ucap Mahira kesal.
“Kenapa emang?”
“Nuduh terus gue hamil. Aneh banget, sih.”
“Loh, tadi muntah-muntah.”
“Gue mual, bukan hamil.”
“Oh… bukan hamil, ya?” ucap Doni polos.
Tak lama kemudian Mahira kembali ke kamar mandi dan muntah lagi.
Dengan setia, Doni membersihkan sisa muntahan Mahira. Mahira duduk lemas di kasur sambil bersandar pada bantal.
“Ke rumah sakit, yuk,” ajak Doni.
“Enggak usah.”
“Ih, kamu itu muntah terus, Yang. Aku pesan taksi online, ya? Kita ke rumah sakit.” Raut wajah Doni tampak khawatir.
“Enggak usah. Enggak akan sembuh soalnya.”
“Loh, memang kenapa?”
“Hmmm… gue takut jarum suntik,” ujar Mahira pelan.
Doni langsung tertawa terbahak-bahak.
“Beginilah kalau punya suami bocil. Bukannya nolongin malah ngetawain,” ketus Mahira kesal.
“Maaf, maaf, Sayang.” Doni mengusap wajahnya. “Terus gimana dong? Kalau kamu sakit begini biasanya diapain? Biar aku beli obat di warung.”
“Percuma. Enggak akan sembuh.”
“Terus gimana?”
“Di samping rumahku ada Mak Irah. Dia tukang urut. Biasanya kalau aku muntah-muntah, diurut terus dikerik sama dia. Sembuh.”
“Oh, diurut sama dikerik, ya? Kalau itu mah aku ahlinya.” Doni tampak antusias.
Tatapan berbinar Doni membuat Mahira salah paham.
“Ah, palingan lu cari kesempatan aja, kan?”
“Tuh, kan! Serba salah gue. Ajak ke rumah sakit enggak mau. Beli obat enggak mempan. Gue kerikin dibilang mesum. Heran, gue salah terus,” cerocos Doni.
Tiba-tiba terdengar isak kecil dari Mahira.
“Ya ampun… dia nangis lagi,” panik Doni.
“Pergi sana. Biarin gue sendiri. Nanti juga sembuh sendiri,” ucap Mahira lirih.
“Ih, jangan gitu dong, Sayang. Apa mau aku panggilin Mak Irahnya?”
“Lu enggak waras, ya? Ini jam tiga pagi! Ganggu orang aja, lu!” ketus Mahira.
Doni bangkit. “Sebelll gue disalahin terus,” gerutunya.
Ia berbalik menuju pintu.
“Bruk!” Doni membanting pintu kamar dengan keras.
Mahira kembali menangis. “Ternyata aku benar-benar sendiri. Salah gue apa coba? Marah-marah enggak jelas. Istri lagi sakit bukannya diobatin malah marah,” isaknya.
Ia memejamkan mata, berharap mual dan pusingnya hilang. Mahira hampir tertidur, tetapi ia merasakan kepalanya seperti dipijat seseorang. Ternyata Doni sedang memijat kepalanya menggunakan minyak angin. Perlahan pusingnya mereda dan mualnya mulai berkurang.
“ternyata dia tidak pergi meninggalkanku,,dia kembali untuk mengobatiku” ucap mahira dalam hati seketika hatinya menghangat sekaligus merasa bersalah karena sudah berfikiran buruk pada Doni
“Don…” lirih Mahira. Perlahan membuka matanya dan melihat doni sedang memijat kepalanya, aroma minyak angina tercium,,sedikit menghilangkan rasa mual mahira
“Tengkurap,” ucap Doni.
“Don…” suara Mahira gemetar.
“Ayo dong, buka dulu hijab kamu itu.”
“Don, gue…”
“Udahlah. Potong burung gue kalau gue macem-macem. Gue mau mijat sama ngerik kamu,” tegas Doni.
“Tapi Don…”
“Ayo, kita ini suami istri. Jangankan melihat seluruh tubuh kamu, menyentuhnya pun aku berhak,” ucap Doni meyakinkan.
Akhirnya Mahira membuka jilbabnya. Untuk pertama kalinya Doni melihat Mahira tanpa hijab—cantik, seperti boneka barbie.
“Buka bajunya.”
“Aku malu, Don,” ucap Mahira lirih.
“Malu, malu. Nanti juga mau malah. Ayo cepat, mengobati kamu itu tanggung jawabku,” desak Doni.
Mahira pun membuka dasternya. Doni menelan ludah, tetapi ia mengendalikan dirinya. Saat tangan Doni menyentuh betis Mahira, sebuah desiran aneh merambat di tubuh Mahira. Ternyata Doni memang ahli memijat.
Pijatan Doni bergerak dari betis naik ke paha, perlahan ke punggung. Mahira kadang mengaduh, kadang mengerang kecil ketika Doni memijat urat-uratnya yang tegang.
“Don… kok cuma dipijit doang,” ucap Mahira—tentu saja hanya dalam hati.
Setelah mengurut, Doni mulai mengerik punggung Mahira. Kulit putih Mahira langsung dipenuhi garis-garis merah pekat.
“Sering masuk angin, ya,” ucap Doni.
“Hmmm,” jawab Mahira pelan.
“Terlalu banyak pikiran, makan kurang, enggak teratur. Lambung kamu kayaknya bermasalah,” kata Doni.
Tidak terdengar jawaban. Doni menoleh, ternyata Mahira sudah tertidur.
Setelah selesai, Doni membalikkan tubuh Mahira dari tengkurap menjadi terlentang. Ia sempat menelan ludah melihat bagian depan tubuh Mahira, tetapi ia kembali mampu menahan diri. Ia mau, tapi tidak ingin memanfaatkan keadaan.
Mahira tidur dengan tenang. Doni menyelimuti tubuhnya. Tak lama kemudian azan Subuh berkumandang. Doni bergerak ke dapur, merebus air panas, membuat wedang jahe dan bubur. Setelah itu ia melaksanakan salat Subuh, lalu kembali ke kamar. Mahira masih tertidur damai.
Ponsel Doni berdering. Nama “Bunda” muncul.
“Ada apa, Sayang?” ucap Doni.
“Doni ke mana lagi kamu, ha? Baru Mama tinggal sebentar sudah kabur,” omel Lidia, ibu Doni.
“Astagaaa, Mama. Doni ini udah gede. Doni lagi ada kerjaan. Tunggu semua selesai, nanti Doni pulang,” jawab Doni.
“Baik. Tapi ini yang terakhir. Kalau kamu sayang Mama, kamu harus cepat pulang dan menikah dengan Jihan.”
“Ih, kalau pulang oke. Tapi nikah sama Jihan nanti dulu,” ujar Doni.
“Enggak bisa. Kamu harus menikah dengan Jihan.”
“Ya sudah, Doni enggak pulang,” balas Doni.
“Dasar keras kepala kayak bapak kamu. Buka hati sedikit untuk Jihan. Jihan itu anak baik.”
“Iya, tapi Doni enggak suka, Mah. Doni pulang tapi enggak ada pembicaraan soal Jihan. Udah ya, Mah, Doni mau salat Subuh.”
“Astagaaa Doni! Udah jam enam kamu belum salat Subuh!”
Sambungan langsung diputus Doni.
ebenarnya Mahira tidak benar-benar tidur; ia mendengar sebagian pembicaraan Doni. Ternyata dia cuma kasihan sama gue, enggak tertarik. Badan gue aja enggak dia apa-apain, batinnya. Ia menarik napas panjang. Ingat, Mahira. Doni masih bocah. Dia berhak dapat pasangan lebih baik. Kayaknya tadi dia teleponan sama pacarnya…
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh